Douglas Herring, Daryl Watkins, Maxie Esho, Brandon Jawato, Asisten Pelatih Ricky Tauri, fotografer CLS Knights Yoga Prakasita, dan Arif Hidayat tiba di kantor pemasaran Persebaya Surabaya di Surabaya Town Square sekitar pukul 9.30 pagi. Sandy Kusuma bersama istri, menyusul beberapa menit kemudian.

Hari itu, tanggal 9 April 2019, Persebaya Surabaya akan menjalani gim pertama melawan Arema Malang di Final Piala Presiden 2019. Gim pertama akan berlangsung di Gelora Bung Tomo (GBT), rumah Persebaya, pukul 15.30.

“Mana Wei Long?” Tanya saya.

“Wei Long dan Mas Chris ke Jakarta,” jawab Yoga. “Mau syuting ‘One on One’ dengan Augie.”

Maxie Esho terlihat paling “Bonek”, sebutan untuk pendukung fanatik Persebaya. Forwarda berambut gimbal ini mengenakan jersey kuning menyala Persebaya. Lengkap dengan celana pendek dan sepatu lari hitam. Sandy dan istri berbusana kasual. Keduanya kompak mengenakan adidas Gazelle berwarna hijau khas Persebaya. Gaya Sandy dan istri mengingatkan saya ke gaya “Casuals”, para pendukung tim sepak bola yang datang ke stadion dengan gaya harian tanpa banyak pernak-pernik berbau tim yang didukung.

“Kamu mengenakan warna yang berbahaya,” kata saya kepada Douglas Herring.

Di baju Herring tertulis “USA 82” (mungkin merujuk ke Piala Dunia sepak bola di Spanyol, namun AS tak ikut saat itu). Ada gambar bola sepak “Telstar”, bola adidas yang digunakan pada Piala Dunia 1970. Tampilan bola sepak Telstar begitu ikonik hingga seolah menjadi “bentuk baku” ikon bola sepak. Masalahnya, baju Herring dominan berwarna biru. Hanya lengannya yang berwarna merah.

Herring mengangguk-angguk ketika saya sedikit menceritakan rivalitas Persebaya dan Arema. Ia kemudian bertanya, “Apakah Persebaya Store sudah buka?”

Persebaya Store sudah buka. Herring langsung berniat mengganti bajunya yang “berbahaya”. Namun Herring tidak menemukan jersey Persebaya karena sudah terjual habis. Ia dan Watkins memutuskan membeli dan langsung memakai kaus hitam berdesain grafis khas Persebaya dan Bonek.

“Jadi, ini pertandingan final?” Tanya Jawato. “Oh wow! Ini akan sangat menarik.”

Kami sudah akan berangkat. Maxie Esho tidak terlihat. Saya mencarinya sampai ke luar. Esho ternyata sedang menunggu jemputan angkutan daring. “Saya tidak enak badan,” kata Esho sambil menunjuk hidungnya.

Esho pun pulang karena merasa agak demam. Hidungnya tersumbat. Suaranya berat. Padahal Esho yang terlihat paling Persebaya dan Bonek.

Sekitar pukul 11.30, kami berangkat ke GBT menggunakan dua bus. Satu bus berisi rombongan lain, satu bus lagi hanya berisi saya, tim CLS Knights, fotografer lepas Ko Tony dan dua penumpang lainnya. Salah satu penumpang mendaku pernah menjadi Ketua Perbasi Surabaya.

“Saya Arif Afandi,” katanya.

“Saya juga pernah jadi wakil walikota Surabaya.”

Beruntung, Ko Tony menandainya. Kami semua kemudian tertawa.

Mendekati GBT, masih di dalam jalan tol, jalanan sudah mulai macet. Setelah keluar tol, beberapa bonek sudah mulai terlihat bergerak menuju GBT.

Herring dan Watkins yang tertidur sepanjang perjalanan terbangun dan terus memperhatikan aliran bonek yang menuju GBT. Ada rasa takjub di mimik mereka. Terlebih ketika mengetahui dan melihat sendiri empat panser Anoa buatan PT Pindad yang diparkir di depan pintu masuk GBT.

“Para pemain lawan datang dengan ini???” Tanya Herring yang kemudian berfoto bersama rombongan CLS Knights lain berfoto di depan panser.

“Saya tidak mau masuk ke dalam stadion. Ini terlihat seperti akan terjadi pertempuran,” kata Herring yang juga melihat ramainya kendaraan dan personel militer di sekitar panser Anoa.

“Di dalam jauh lebih aman, daripada di luar sini,” jawab saya mengada-ada, yang tentu saja langsung disepakati Herring.

Belakangan, panitia penyelenggara mengumumkan bahwa ada 4.000 personel keamanan yang menjaga keamanan pertandingan hari itu. Jumlah itu tentu untuk mengamankan laga yang dihadiri oleh 50.000 penonton.

Kami naik ke tribun VIP di lantai tiga. Tribun penonton GBT sedang terisi. Tribun Barat, baik di atas maupun di bawah kami sudah terisi penuh. Tribun Utara dan Selatan hampir penuh. Tribun Timur masih agak lengang. Tak heran, karena matahari terik menyoroti Tribun Timur.

Telepon genggam tim CLS Knights terus mengarah ke tribun. “Ini luar biasa!” Kata Jawato yang bergoyang dan berjoget mengikuti musik yang bergema di GBT.

“Brandon! Brandon!” Terdengar suara dari tribun di bawah kami. Beberapa penonton mengajak Brandon Jawato foto bersama. Tiba-tiba ada suara lain lagi, “Doug Herring!”

Herring terperanjat seolah tak percaya. “Saya tidak sangka ada yang kenal saya di sini,” kata Herring yang melambai-lambai ke penonton yang duduk di Tribun Barat agak bawah.

Belum selesai rasa takjub Herring, Watkins, Jawato, Arif, Sandy atas keriuhan GBT sebelum laga dimulai, salah seorang panitia penyelenggara menghampiri kami. “Ayo ke bawah,” katanya. “Kita ke ruang ganti pemain.”

Suasana langsung pecah ketika tim CLS Knights memasuki ruang ganti. Para pemain Persebaya, Kepala Pelatih Djadjang Nurdjaman, hingga Presiden Klub Azrul Ananda semuanya tertawa melihat reaksi para pemain yang melihat pemain CLS Knights, khususnya Daryl Watkins.

“Rendi! Mana Rendi?!” Entah suara dari mana. Yang pasti, suara itu bertujuan mencari Rendi Irwan, salah satu pemain senior Persebaya dengan postur sekitar 160 cm. Tujuannya, apa lagi kalau bukan ingin disandingkan dengan Daryl Watkins.

Foto-foto di bawah menggambarkan keseruan ruang ganti Persebaya ketika CLS Knights berkunjung.

 

Lepas dari ruang ganti, sekitar pukul 15.00 pemain dari kedua tim masuk ke lapangan untuk melakukan pemanasan. Tribun penonton sudah penuh. Saya menunjuk ke arah tim Arema Malang yang mengenakan seragam biru muda untuk pemanasan. “Itu alasan kenapa saya larang kamu memakai baju tadi,” kata saya kepada Herring yang langsung tertawa.

Laga dimulai jam 15.30. Para penonton di GBT seolah tak bisa berhenti bernyanyi dari sepak mula dilakukan. Gemuruh tek terbendung ketika Irfan Jaya mencetak gol pertama bagi Persebaya di menit ketujuh babak pertama. Namun kemudian sunyi sejenak saat Hendro Siswanto membalas gol dan kedudukan menjadi 1-1.

Di babak kedua, Persebaya dan Arema kembali sama-sama mencetak satu gol. Persebaya lewat penalti Lizio di menit 71, dan Makan Konate membalas di menit 78 lewat tendangan bebas. Skor akhir 2-2 membuat atmosfer GBT tak terlalu menyenangkan. Ada kemuraman karena kekecewaan, dan tentu saja tak sedikit kemarahan yang tersalurkan lewat lemparan botol air, api suar, kembang api, bahkan api yang menyala di beberapa sudut GBT.

“Pertandingannya bagus, seru. Bahkan keras. Beberapa mungkin berpikir bahwa ini bukan olahraga keras, tapi saya bisa lihat para pemain berusaha keras dan bermain keras semampu mereka. Saya sangat salut kepada pemain sepak bola yang mampu dan kuat bermain di cuaca sepanas gila ini. Luar biasa. Saya akan dengan senang hati untuk nonton lagi. Saya pernah nonton sepak bola di Amerika. Tetapi fan lebih bergairah dan luar biasa di Indonesia,” kata Brandon Jawato.

Kekaguman Jawato diamini oleh Daryl Watkins. Senter CLS Knights ini larut emosional di beberapa momen pertandingan.

“Saya bisa merasakan energinya ketika baru masuk ke arena. Saya sungguh kaget. Saya tidak mengharapkan ini sebelumnya. Para fan, nyanyian sepanjang pertandingan, kultur fan sepak bola Surabaya, semuanya di luar dugaan saya,” komentar Watkins.

“Ini adalah gim sepak bola kedua yang saya saksikan langsung. Tahun lalu saya nonton Lyon lawan PSG (Paris Saint Germain). Lebih banyak hal yang terjadi di sini. Di Paris jelas tidak segila di sini. Ada botol air beterbangan, dan lain-lain,” tambah Watkins yang pernah bermain di klub Asvel yang berkompetisi liga bola basket tertinggi Prancis.

Watkins antusias menambahkan komentar tentang laga yang berlangsung imbang tersebut. Ia tersenyum melihat botol-botol air beterbangan dan kembang api yang menyala-nyala. “Saya tidak mungkin kena botol air. Karena saya juga sangat ingin melempar botol air seperti yang mereka lakukan. Hahaha. Saya harap kita bisa menang. Tapi pertandingan memang berjalan alot. Seperti kata Brandon, cuacanya panas sekali. Bermain di suasana seperti ini saja sudah sangat luar biasa,” kata Watkins.

Kami meninggalkan GBT sekitar satu jam setelah laga usai. Di gerbang keluar stadion, tidak sedikit bonek yang mengenal para pemain CLS Knights dan terus mengajak mereka berfoto bersama. Daryl Watkins istimewa karena posturnya yang menjulang. Beberapa bonek –yang sepertinya tidak kenal dengan Watkins- mengajaknya berfoto, juga beberapa polisi dan polwan.

“Saya berharap suasana penonton basket Indonesia bisa semeriah ini. Barangkali 10 sampai 15 tahun mendatang. Kalau bisa sekarang, saya akan bahagia bermain di atmosfer seperti ini,” kata Brandon.

CLS Knights Indonesia kini tengah bersiap menghadapi Mono Vampire Thailand. Lawan mereka di semifinal ABL. Dengan sistem "Best of Three", gim pertama akan berlangsung di GOR Kertajaya Surabaya, 21 April. Saya berharap, semangat dan atmosfer Persebaya hari itu bisa ikut menyemangati mereka beberapa hari ke depan.(*)

Foto: Satrio Wicaksono

Komentar