Michael Jordan sudah pensiun. Lalu, mengapa ia terus dibicarakan? Jawabannya bisa ditemui di lini sepatu Jordan yang dibuat Nike sebagai bentuk kontrak seumur hidup baginya. Keduanya merajut hubungan pada 1984 dan jadi kerja sama sponsor-pebasket terbesar hingga kini. Meski begitu, mereka bukan yang pertama. Terlepas dari moncernya Jordan, kita harus mengapresiasi pihak pertama yang menginisiasi pembuatan sepatu dengan nama atlet. Mereka adalah Puma dan Walter Frazier.

Majalah Mainbasket edisi Januari 2018 membahas secara mendalam tentang Puma Suede edisi 50 tahun. Secara umum, siluet tersebut adalah sepatu basket keluaran Puma pada 1968, hasil pengembangan Puma Basket yang dirilis lima tahun sebelumnya. Perilisan dua edisi tersebut sekaligus menandakan era pergeseran bahan atas sepatu basket menggunakan kulit. Sebelumnya, selama hampir 40 tahun, sepatu basket lekat dengan penggunaan kanvas seperti pada Converse Chuck Taylor All Star dan Pro Keds Royal.

Iklan Puma Clyde menampilkan Walter Frazier tahun 1974.

Saya bisa berpendapat bahwa tidak akan ada Nike-Michael Jordan, Under Armour-Stephen Curry, adidas-James Harden, dan kerja sama sponsor-atlet lain di ranah basket tanpa Puma-Walter Frazier. Pria dengan nama panggil “Clyde” itu diberi kesempatan memodifikasi sepatu Puma Suede sesuai dengan proporsi kakinya. Oleh karena itu, pada 1973, Walter Frazier mendapatkan sepatu khusus (signature shoes) dengan nama sesuai dengan panggilan akrabnya. Tahun itu sekaligus pembuka dari semua kerja sama atlet-pebasket profesional.

Bisa saja Converse jadi yang pertama ketika mengontrak Charles “Chuck” Taylor sebagai duta pada 1921. Namun, pria yang berprofesi sebagai guru olahraga itu bukan pemain basket profesional. Converse menjadikan namanya untuk siluet Non-Skid karena dianggap berjasa mempopulerkannya seantero Amerika Serikat lewat program pelatihan basket pelajar. Oleh karena itu, siluet sepatu basket dengan menggunakan nama pebasket profesional pertama kali dilakukan Puma dan Walter Frazier.

Puma Clyde dan Puma Suede secara kasat mata tampak sama. Secara proporsi, Puma Clyde dibuat lebih lebar di bagian ujung depan (toe box) mengikuti kaki Sang pemain. Sol sepatu pun dibuat lebih tipis dari Puma Suede agar lebih ringan. Nama “Clyde” pun tersemat di sebelah atas panel samping (Formstripe) tepat di bawah logo huruf Puma.

Frazier tampil untuk GQ edisi Oktober 2016.

Michael Jordan dan Walter Frazier sama-sama mendominasi di lapangan. Baik Chicago Bulls dan New York Knicks memensiunkan seragam tanding keduanya. Jordan dianggap lebih baik karena mampu menyumbang lebih banyak cincin juara. Selain itu, ia dianggap sebagai pebasket NBA sepanjang masa –meski perdebatan itu tetap sengit hingga kini.

Meski begitu, untuk urusan pengaruh di luar lapangan, Frazier layak jumawa. Clyde punya gaya berbusana parlente yang menarik mata jauh sebelum budaya bergaya pragim yang dilakukan pebasket NBA dewasa ini. Jaket berbulu, parka kulit, topi fedora, sepatu berwarna terang, serta celana kulit menghiasi tubuh pria kelahiran 1945 itu. Gayanya diadopsi ke dalam kultur hip-hop dan breakdance masyarakat afro-amerika sehingga membentuk tren gaya berbusana yang bertahan hingga kini.

Tren tersebut semakin menjadi ketika Puma mensponsori film bertema hip-hop dengan judul “Beat Street” yang dirilis pada 1984. Puma Suede, Puma Clyde, jaket, serta celana latihan Puma jadi paket lengkap bagi siapapun yang ingin tampil ala seorang penari jalanan. Tentu kita tidak bisa acuh akan kehadiran adidas Superstar di ranah ini yang dipopulerkan oleh grup hip hop Run DMC. Akan tetapi, penggemar setia gaya berbusana Walter Frazier tetap pada apa yang mereka sukai meski pesaing hadir silih berganti.

Kini, kerja sama sponsor-atlet olahraga sudah sering kita temui. Puncaknya adalah ketika Sang pemain dihadiahi sepatu berlabel nama mereka. Bahkan di NBA, tampaknya setiap pebasket potensial nan berprestasi akan selalu jadi mangsa pabrikan olahraga untuk jadi tombak penjualan. Uang jutaan Dollar AS pun jadi iming-iming Sang pemain, jumlahnya bahkan lebih banyak dari apa yang didapat dari klub.

Sementara di Indonesia, Abraham Damar Grahita berhasil cetak rekor sebagai pebasket pertama yang berada di jajaran elit tersebut. DBL Ardiles percaya pebasket Bangka Belitung itu berpotensi menorehkan prestasi gemilang dan mengundang atensi pada produknya. Alhasil, pada 2019, dikeluarkan siluet AD1 sebagai representasinya di lapangan. Tentu penggawa Stapac Jakarta itu mendapat kucuran bonus yang tidak sedikit setelah berstatus duta DBL Ardiles. Kabarnya, ada bonus di setiap jenjang prestasi di liga. Mulai dari masuk babak playoff, finalis, jadi juara, hingga menoreh gelar pribadi.

Tidak semua pebasket nasional mampu melakukannya. Kebanyakan pemain yang jadi duta untuk merek global hanya diberikan sepatu baru gratis di setiap edisi. Jarang dari merek tersebut memberi bonus berupa uang.

Abraham layak jumawa atas kontrak tersebut. Setelah ini, mungkin akan ada kerja sama pabrikan olahraga dan pebasket nasional. Meski begitu, DBL Ardiles dan Abraham Damar akan selalu diingat sebagai yang pertama melakukannya. Lalu, apakah muluk-muluk bila kita menyandingkan Abraham dengan Walter Frazier? Bisa saja. Walter Frazier adalah yang pertama di Amerika Serikat sementara Abraham adalah yang pertama di Indonesia.

Foto: NBA, Dimitrios Kambouris/Getty Images untuk PUMA, Arsip dari PUMA

Komentar