Proyek kolaborasi DBL Indonesia dan Ardiles tengah menapaki perjalanan yang sangat baik. Visi menyediakan sepatu basket berkualitas sekaligus terjangkau bagi anak-anak Indonesia kian hari kian disorot. Sorotan itu juga datang dari pemerintah. Azrul Ananda, Founder DBL Indonesia, diundang pada gelaran "Makers Talk" yang diinisiasi Balai Pengembangan Industri Persepatuan Indonesia (BPIPI) bekerja sama dengan Universita Kristen Petra Surabaya.

Dalam acara bertema "Challenge Your Creativity", Azrul mengawali paparannya dengan mengangkat sedikit tentang gelaran Honda DBL. “Kami memulai semuanya pada 2004 di GOR Kertajaya, kandang CLS Knights Indonesia. Kami berpindah ke DBL Arena baru pada 2008. Setelah itu, kami berjuang agar bisa menjangkau seluruh Indonesia,” ceritanya.

Pertandingan antar-SMA dan sederajat ini, lanjutnya, kini sudah diselenggarakan di 30 Kota di 25 Provinsi.

Menjalani kompetisi berskala nasional memberi Azrul pemahaman tentang permasalahan yang terjadi dari kalangan peserta: Tidak semuanya mampu membeli sepatu basket bagus lantaran harganya yang cenderung tinggi.

“Ada salah satu peserta Honda DBL yang pergelangan kakinya patah karena berlaga memakai sepatu basket kebesaran. Ukurannya 38 tapi dibelikan ukuran 40. Orang tua sengaja membeli sepatu lebih besar agar bisa dipakai lebih lama oleh anaknya. Keputusan itu justru merugikan karena biaya pengobatannya jauh lebih menguras kantong,” cerita Azrul.

Azrul Ananda berfoto dengan Gati Wibawaningsih (Dirjen IKM dan Aneka Kementerian Perindustrian) dan Prof. Dr. Ir. Djwantoro Hardjito (Rektor Univ. Kristen Petra).

Kejadian tersebut menjadi refleksi untuk menghadirkan sepatu basket yang bisa dijangkau harganya oleh peserta Honda DBL. Tujuannya tentu saja, agar mereka lebih leluasa bermain basket menggunakan sepatu berharga terjangkau namun berkualitas bagus. “Ardiles menerima tantangan untuk memproduksi sepatu berperforma tinggi dengan harga di bawah Rp500.000. Siluet pertama, DBL Ardiles AZA 5, dirilis dengan harga Rp 380.000 dan tersebar hingga ke toko-toko sepatu kecil,” jelasnya.

Kini, kerja sama DBL dan Ardiles sudah menapaki tahun kedua dan sedang gencar menjual tiga siluet baru: AZA6, AD1, dan Pride2. Ketiganya juga dihargai kurang dari setengah juta rupiah. Pride 2 bahkan dihargai kurang dari 400 ribu. Pengembangan desain dan uji kelayakan juga sudah dilakukan untuk memberikan fungsi terbaik juga ketahanan prima. Pihak BPIPI mengkonfirmasi bahwa tiga sepatu yang dipasarkan telah lolos melewati uji ketahanan dan uji bahan di laboratorium mereka.

Di ujung wicara, Azrul turut memberi dukungan pada gerakan membeli produk lokal. Ia sudah membuktikannya melalui produk-produk yang dipakai perusahaan yang dipimpinnya. “Bola kompetisi Honda DBL, Proteam Titanium, itu buatan Indonesia. Persebaya menggunakan seragam tanding hasil produksi dalam negeri. Saya tidak menyetujui pemakaian produk impor selama Indonesia masih mampu memproduksinya sendiri. Toh, merek-merek global banyak yang pabriknya di sini,” tegasnya.

Kehadiran DBL Ardiles diharapkan mampu jadi solusi bagi anak-anak Indonesia yang ingin bermain basket. Semakin banyak yang memakai, semakin banyak pula bakat-bakat basket muncul sehingga basket Indonesia bisa lebih maju. Maka dari itu, ia mengundang segala kalangan untuk tetap berpartisipasi di berbagai gelaran basket. Baginya, partisipasi bisa membiayai prestasi. Sama seperti yang terjadi di negara-negara maju.

Komentar