Pada 2016 lalu, seperti yang sudah diketahui publik se-Tanah Air, sepak bola nyatanya telah mengalami kisruh yang tak berkesudahan. Bahkan sampai mendapat perhatian FIFA yang berujung sanksi tidak boleh berlaganya timnas di kancah internasional. Sebuah kerugian bagi pecintanya, karena dengan begitu sepakbola Indonesia semakin terpuruk.

Konflik kepentingan dua kubu—yang tidak perlu disebutkan itu—berimbas pada munculnya kesedihan-kesedihan yang tak bisa dianggap sepele. Liga berhenti dan klub-klub hampir tidak ada kegiatan. Beberapa di antaranya memutuskan bubar. Bangkrut.

Seiring berjalannya waktu, turnamen-turnamen sepak bola, termasuk tarkam, kemudian hadir sekadar mengisi kekosongan. Beberapa klub yang bubar rujuk kembali. Rasanya itu seperti penawar yang mengobati sakit. Untuk sementara, publik bisa tenang, tetapi turnamen nyatanya bukan panasea (obat/solusi) segala masalah. Sebab turnamen hanya gelaran sebentar yang kadang membuat orang lupa; kita membutuhkan kompetisi yang sebenarnya. Turnamen adalah penawar yang tidak menghilangkan penyakit selamanya.

Pertanyaan, mengapa?

Biar saja nanti dibahas di bawah. Karena kebetulan pula, setahun lalu saya sempat menulis hal itu di suatu media alternatif. Rupanya, tahun ini saya terpaksa menulisnya lagi, tapi dalam ranah olahraga yang berbeda. Entah karena kebetulan atau memang nasib yang malang, bola basket mengalami kondisi yang mirip dengan sepak bola setahun lalu. Dan jujur saja, saya tidak senang menulisnya. Karena hal ini mengindikasikan kompetisi basket di Indonesia sedang tidak baik-baik saja.

Mari kita kilas balik terlebih dahulu!

Semua ini bermula, selepas laga final pada Mei 2016 lalu, Indonesian Basketball League (IBL) tidak juga kedengaran rimbanya. Mereka santer diberitakan tidak memberi kejelasan kapan liga kembali bergulir. Kalaupun ada, kabarnya selalu simpang siur. Bahkan selalu terdengar nada-nada sumbang yang jelas tidak enak didengar.

Salah satu nada sumbang itu adalah rumor soal hak-hak profesional (subsidi/profesional fee) yang belum dibayarkan kepada tim peserta oleh penyelenggara itu sendiri. Mudah-mudahan urusan itu sekarang sudah selesai. Setidaknya yang lalu-lalu harus sudah diselesaikan sebelum liga dimulai kembali. Karena memang sepantasnya demikian.

Singkat cerita, seolah-olah muncul oase di tengah padang pasir yang gersang, kabar soal bergulirnya liga mulai kedengaran.

“Liga tetap berjalan dan akan dimulai bulan Desember ini. Hanya saja jadwal detailnya belum bikin. Saat ini kami akan mematangkan jadwal. Dalam bulan ini kami akan umumkan,” ujar direktur operasional IBL, Wahyu Buana, seperti dilansir detik.com pada Kamis 6 Oktober 2016.

Desember, katanya. Senang sekali mendengar kabar itu. Akan tetapi, janganlah terlalu berharap, penyelenggara rupanya sudah menyiapkan skenario terburuk. Hasan Gozali selaku direktur Starting Five (penyelenggara) menuturkan, boleh jadi liga baru bisa bergulir Januari 2017 nanti. Oase di tengah padang pasir itu masih fatamorgana.

Di tengah ketidakjelasan, segala upaya dilakukan semua pihak. Turnamen-turnamen tarkam yang disulap kelihatan mewah digelar di kota-kota. Turnamen mewah betulan juga ada, bahkan dalam skala nasional. Desember nanti akan ada Jawa Pos Pro Tournament. Sepekan ini, misalnya, ada Perbasi Cup dalam rangka memeringati hari ulang tahun induk bola basket Indonesia. Kemarin acaranya baru dibuka. Turnamen digelar hanya dalam seminggu pada 23-30 Oktober ini di Jakarta.

Peserta Perbasi Cup itu klub-klub elit yang biasa berlaga di liga kasta tertinggi. Tercatat ada 10 dari 12 tim IBL ikut berlaga: CLS Knights Surabaya, Pelita Jaya EMP Jakarta, M88 Aspac Jakarta, Satria Muda Pertamina Jakarta, Stadium Happy 8 Jakarta, Hangtuah Sumatera Selatan, Satya Wacana Salatiga, JNE Bandung Utama, NSH Jakarta, dan Pacific Caesar Surabaya.

Lalu ke mana dua klub lagi? Pertama, Bimasakti Nikko Steel Malang. Klub asal Jawa Timur itu bubar dalam senyap. Tahu-tahu pemainnya pensiun atau dipensiunkan. Ada yang mencari pekerjaan yang layak, ada pula yang masih mencari klub lain. Mungkin juga masih ada yang bertahan, tetapi tidak ketahuan rimbanya. Yang pasti mereka membubarkan diri—salah satunya—karena ketidakjelasan liga. Dan turnamen tidak juga menyelamatkan mereka. Toh, mereka tetap tidak bisa ikut berlaga di Perbasi Cup.

“Saya merasa kecewa dengan keputusan tim saya bahwa saya tidak bisa bermain di Perbasi Cup,” tulis M. Alan As’Adi, shooting guard Bimasakti, dalam bahasa Inggris di akun Instagram miliknya.

Kedua, Garuda Bandung. Siapa yang tidak kenal klub satu ini? Pernah juara ketika masih bernama Panasia. Klub sebesar itu bisa absen di gelaran sebesar Perbasi Cup? Tentu saja bisa. Salah satunya karena—lagi-lagi--ketidakjelasan liga yang berimbas pada finansial klub.

Garuda faktanya juga tidak bisa mengikuti Perbasi Cup. Alasannya sederhana: mereka sudah berkomitmen untuk melakoni tur bertajuk Nusantara Tour ke beberapa kota di Indonesia. Tujuannya adalah melebarkan sayap silaturahmi sekaligus mencari investor baru sambil berjualan produk-produk olahraga. Sebab tidak seperti tim-tim papan atas yang memiliki “sugar daddy”, Garuda justru selalu menjadi tim yang ditinggalkan.

Parahnya, setelah musim lalu ditinggal enam penggawanya, kini Garuda harus kehilangan M. Rizal Falconi dan M. Dhiya’ul Haq. Keduanya terpaksa dilepas ke Satria Muda Pertamina Jakarta untuk menambal rontoknya finansial mereka. Garuda menggunakan uang hasil transfer mereka untuk membayar tunggakan gaji selama tiga bulan kepada pemain lain. Hadirnya turnamen tentu tidak akan menyelamatkan mereka begitu saja, bukan?

Cerita lain yang tidak kalah menyedihkan datang dari Pelita Jaya EMP Jakarta. Meski terbilang mapan, rupanya mereka juga memiliki masalahnnya sendiri. Seperti halnya Bimasakti dan Garuda, akibat ketidakjelasan liga, mereka terpaksa menghentikan kerjasama dengan Kepala Pelatih Benjamin Alvarez Sipin III. Pelatih asal Filipina itu diputus kontrak karena sponsor-sponsor mundur dan memengaruhi anggaran tim.

“Tim tidak lagi mampu mempertahankan saya. Jelas saya kecewa. Sebagai pelatih, saya datang dari Filipina dan telah mengorbankan banyak hal yang seharusnya bisa saya lakukan di sana sebelumnya. Ini bagian dari risiko sebagai pelatih. Tak ada yang permanen,” ujar Benji seperti dilansir Mainbasket, Jumat 21 Oktober 2016.

Adanya turnamen tentu tidak bisa menahan kepergian Benji. Meski pun berat memercayainya, tetapi begitulah faktanya. Kini manajemen Pelita Jaya memercayakan tampuk kepemimpinan tim kepada Johanis Winar. Perbasi Cup akan menjadi ladang pertamanya untuk menggarap olahan.

Dengan begitu, benar apa yang dikatakan di awal: turnamen bukan panasea segala masalah. Ketika liga jadi tidak berjalan sama sekali, malah muncul masalah lain: klub-klub terpaksa membubarkan diri, pemain-pemain terpaksa menjadi pengangguran, penonton kehilangan hiburan, dan kesedihan-kesedihan lainnya yang muncul hampir bersamaan.

Akan tetapi, jangan berhenti untuk berdoa. Mudah-mudahan ada titik terang. Kalau lelah berdoa dan berusaha, kita tahu kepada siapa liga ini bisa jadi bagus lagi. Serahkan saja kepada mereka! (*)

Komentar