Arlan Sitorus senang bukan main ketika terpilih menjadi bagian dari Honda DBL Indonesia All-Star 2018 yang terbang ke Amerika Serikat. Ia pun memanfaatkan itu untuk belajar dengan benar. Apalagi ia ingin basket di kampung halamannya di Cirebon maju seperti kota lainnya.

Selama di Amerika Serikat, siswa SMA BPK Penabur Cirebon itu berlatih dengan serius, tetapi tetap menyenangkan. Sebab, ia tidak ingin berlatih dan bermain basket dengan tegang. Para pelatihnya di Amerika Serikat juga mengingatkan itu.   

Mainbasket lantas mewawancarai Arlan tentang perjalanannya ke Amerika Serikat, juga tentang Cirebon. Arlan mengatakan, ia dan lingkungannya semakin termotivasi untuk lebih baik lagi.

Simak wawancara berikut:

Halo! Apa kabar, Arlan? Sehat?

Halo! Sehat.

Setelah pulang dari Amerika ada kesibukan apa, nih?

Pulang dari Amerika paling kesibukannya sekolah.

Belum ada persiapan kejuaraan apa pun?

Belum, belum tahu.

Sebelum masuk ke soal Amerika, kita bicara soal Cirebon dulu, ya. Menurutmu basket Cirebon itu seperti apa?

Hmm, basket Cirebon itu sudah maju. Sudah bisa bersaing sama kota-kota lain—kota-kota besar lain.

Kalau dibandingkan Bandung seperti apa?

Cirebon sudah bisa bersaing sama Bandung. Waktu itu saya bertanding sama Bandung bisa bersaing. Soalnya pemain-pemainnya sudah bagus-bagus juga. Latihannya rajin-rajin. Jadi, basket Cirebon sekarang beda. Dulu buat latihan saja susah cari lapangan. Sekarang cari lapangan banyak. GMC juga lapangannya bisa dipakai 24 jam.

Selama ini latihan di mana saja? Selain sekolah?

Latihan di klub.

GMC, ya?

Iya.

Seperti apa GMC? Dampak keberadaannya kepada basket di Cirebon seperti apa?

Impact GMC di Cirebon itu, kalau kata saya, besar banget. Besar banget impact-nya buat Cirebon. Soalnya pemain-pemain nasional (muda) asal Cirebon itu dari GMC semua.

Di Cirebon ini tidak ada klub yang bisa membina dari kecil. GMC ini satu-satunya klub yang membina dari kecil; sampai besar; sampai kuliah diarahkan.

Kalau keberadaan DBL di sana seperti apa?

Anak-anak sekolah di sini itu pasti kalau ada DBL senang. Kemarin, kan, DBL ada di sini. Itu anak-anak pada senang. Teman-teman saya dari sekolah lain juga senang.

DBL itu sudah seperti event istimewa buat mereka. Buat saya juga. Kalau untuk kompetisi antarsekolah itu targetnya juara DBL.

Akhirnya kamu bisa ikut DBL Camp. Selama di sana apa yang kamu dapatkan?

Yang saya dapatkan di DBL Camp itu banyak. Kalau ingin dapat sesuatu, itu tidak gampang. Sama, di DBL Camp juga begitu. Kalau mau masuk All-Star harus mati-matian latihan. Capek banget itu.

Pelatih juga bisa menilai mana anak-anak yang benar-benar mau untuk All-Star, sama anak-anak yang sudah capek jadi malas. Saya itu ingin banget masuk All-Star. Jadi, setiap apa yang dikasih sama pelatih, saya lakukan dengan maksimal. Itu capek banget.

Benar-benar, mau mendapatkan sesuatu itu gak gampang. Mau masuk ke DBL Camp itu gak gampang. Masuk All-Star itu gak gampang. DBL itu melatih semangat saya terus untuk ke All-Star.

Kira-kira apa yang bisa bikin kamu All-Star akhirnya?

Kemauan saya untuk bekerja keras.

Seperti apa itu?

Kerja kerasnya itu kayak—waktu DBL Camp—saya lihat banyak anak-anak bisa melakukan drill lebih baik. Cuma karena kecapekan, akhirnya malas-malasan. Itu, kan, dilihat sama pelatihnya.

Maksudnya, pemain lain ada yang melakukan itu dengan serius, saya lakukan itu juga dengan serius. Masa ketika mereka melakukan dengan serius, saya tidak? Nanti dia masuk All-Star, saya enggak. Saya lihatnya ke situ. Saya berjuang lebih keras dari yang lain.

Sekarang, kan, sudah berangkat ke Amerika. Di sana latihan apa saja?

Latihannya dapat apa saja, gitu?

Iya, seperti apa? Misalnya latihan dengan James Hunt, seperti apa?

Sama James Hunt itu latihannya bagus. Saya mendapatkan latihan against pick and roll itu harus kayak apa. Dia kasih tahu detailnya: kalau musuhnya begini, kamunya begini. Kalau musuhnya melakukan gerakan ini, kamu bergerak begini.

Dia itu detail. Dia bisa memotivasi anak-anak. Dia pernah bilang begini, “Kalau kamu latihan keras, tapi tidak percaya diri, percuma. Tidak akan keluar dari pertandingan.” Begitu saya dengar itu, pikiran saya jadi terbuka lagi untuk main lebih PD (percaya diri).

Termotivasi?

Iya, seperti termotivasi.

Kalau di Mamba Sports Academy dan Jordan Lawley?

Kalau di Mamba Sports itu pelatihnya asyik. Pelatihnya bilang, “Kamu kalau main basket, jangan terlalu tegang.”

Waktu itu kami cerita ke mereka kalau besoknya ada pertandingan. Mereka menyarankan untuk tidak tegang. Kalau di pertandingan, kita itu harus bersenang-senang. Jangan terlalu tegang. Bermain basket itu seharusnya menyenangkan. Saya juga jadi terbuka lagi pikirannya.

Maksudnya, ketika saya main basket, saya tidak boleh tegang sehigga tidak menikmati pertandingan. Main basket harus dinikmati.

Waktu latihan sama Jordan Lawley, materinya dipelajari dengan senang-senang. Dengan begitu materi yang disampaikan menempel di kepala?

Kalau saya pribadi, sih, nempel. Penyampaiannya Jordan Lawley ke anak-anak itu tersampaikan. Dia bisa kasih tahu kami dengan cara menyenangkan. Kami bisa terima dengan fun. Apa yang disampaikan, tersampaikan semua. Semua drill saya masih ingat sampai sekarang. Dia menyampaikan fun dan bertahap.

Selama latihan di Amerika, terus ikut turnamen, kalian bisa menerapkan semua yang sudah dipelajari tidak? Apalagi kalian tidak hanya latihan di Amerika, tetapi juga persiapan di Surabaya.

Bisa, sih. Kami menerapkan gerakan-gerakan yang sudah dilatih. Setelah latihan sama James Hunt, begitu pertandingan, anak-anak jadi lebih tertuju ketika melakukan pick and roll.

Seperti apa rasanya main sama orang-orang Amerika?

Saya bersyukur. Kalau dilihat, umur mereka lebih muda dari kami. Cuma mainnya bisa jago-jago gitu. Secara tidak langsung, selain dapat pengalaman, dapat juga motivasi.

Apa yang beda dari orang Amerika sama kita? Dari cara latihan atau apa gitu.

Saya enggak lihat cara latihan mereka, tapi kalau lihat dari trainer-trainer mereka, saya kira sudah terbayang. Terus, postur tubuhnya juga jauh. Tinggi seperti big man kita, tapi mainnya kayak small man. Bisa spacing, bisa menembak, bisa main cepat.

Loh, tapi kalian bisa bersaing dengan mereka? Meski dengan perbedaan tinggi itu, kalian tetap jadi tim peringkat dua di turnamen berkelas AAU.

Kami itu main lebih ke tim. Mereka lebih ke individu. Kami main as a team. Kami percaya satu sama lain.

Kami ketika defense juga berkomunikasi. Di sana malah diam-diam. Jadi, kemauan kami juga lebih tinggi. Mereka santai, seolah meremehkan, sementara kami ingin menang. Intinya, kami lebih semangat dan main tim dari lawannya.

Kira-kira anak-anak Indonesia berlatih seperti kalian, meski pun kalah postur, bisa tidak bersaing dengan anak-anak Amerika?

Pasti bisa. Pasti bisa.

Kok, bisa? Apa yang mendasari itu? Alasannya?

Alasannya yang penting kemauan. Kemauan sama hatinya itu. Kalau hatinya kalah, lihat lawan jago-jago langsung down, percuma jadinya. Kita harus bisa main dengan hati. Lebih ke mental, sih, jatuhnya.

Amerika dan Indonesia jelas beda. Sulit dipungkiri. Namun, kita bukan berarti tidak bisa bersaing. Apalagi DBL ini juga sering bawa anak-anak ke Amerika untuk belajar. Nah, apa yang bakal kamu lakukan sebagai salah satu dari anak beruntung itu? Apa yang bakal kamu bagikan?

Saya, sih, berusaha membagikan semuanya. Saya ngomong ke junior-junior kelas 10 dan 11, ke teman-teman seangkatan, soal perbedaan culture di sana sama kita. Metode latihannya seperti apa. Saya jelaskan kepada mereka, seperti apa saya bermain di sana. Saya salah apa di sana. Jangan sampai mereka mengulanginya. Saya sudah kasih tahu ke mereka tentang kamp dan lain-lain.

Untuk tahun depan, bisa tidak adik-adikmu mengikuti jejakmu?

Bisa. Potensinya besar-besar. Di sini anak-anaknya jago semua. Latihannya rajin. Saya kasih tahu ke mereka untuk tidak sombong. Di sini kami bisa menang pertandingan antarsekolah di Cirebon, ya biasa. Belum tentu ke Jakarta bisa menang. Maksudnya, jangan cepat puas. Mereka harus tetap latihan. Stay hungry. Mereka lihat saya ke Amerika, pas pulang ngomong, “Aku lihat kamu ke Amerika. Aku latihan lagi.”

O ya, biar termotivasi lagi. Biar anak-anak Cirebon pada ke Amerika.

Iya, benar. Hahaha.

Habis ini mau lanjut basket?

Lanjut. Soalnya saya mau kuliah karena basket gitu. Saya bisa lepas dari basket juga. Saya ingin terus main basket. Saya masih punya cita-cita di basket yang belum tercapai. Saya ingin capai cita-cita itu dulu. (GNP)

Komentar