Pendekatan pembagian lima posisi secara konvensional dalam permainan basket masih digunakan oleh sebagian besar pelatih di Indonesia dalam upaya pengembangan atletnya, menetapkan komposisi sebuah tim, dan menetapkan strategi permainan, walau sebenarnya sudah tidak ada manfaatnya. Hal tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia, terutama di kalangan pelatih yang lupa dengan pentingnya penguasaan teknik dasar dan fundamental pada setiap atlet, tidak mempelajari statistik basket, dan tidak mengembangkan diri dengan mempelajari strategi-strategi dasar maupun modern di negara-negara yang maju cabang olahraga basketnya.
Seperti yang telah kita ketahui bahwa sejak periode 2000-an, strategi permainan basket telah mengalami banyak perubahaan di mana lebih mengutamakan mobilitas dan kedinamisan setiap pemainnya dalam memanfaatkan ruang untuk menciptakan kesempatan menembak. Hal tersebut berbeda dengan periode konvensional di mana setiap atlet di lapangan, dengan masing-masing posisinya, memiliki area pergerakan yang lebih terbatas.
Penetapan Posisi Konvensional pada Atlet Usia Dini Mengorbankan Fundamental Basket
Pada prinsipnya setiap pemain basket harus menguasai teknik dasar dan fundamental secara merata sebelum dapat disebut layak untuk berkompetisi. Sedangkan pengembangan atlet dengan cara penetapan posisi konvensional pada usia dini tidak memenuhi prinsip dasar tersebut.
Salah satu contoh yang sangat sering terjadi adalah pemain berlabel C dan PF dengan keterampilan lantun yang buruk dan tidak menguasai tembakan perimeter yang baik karena hanya sering dilatih untuk bermain di sekitar area kunci sejak usia dini, berhubung tubuhnya yang paling tinggi di sebuah tim. Contoh lainnya adalah pemain berlabel PG yang selalu mencari rekan untuk diberikan operan dan memiliki percobaan tembakan (FGA) yang sangat rendah karena telah ditanamkan pemahaman bahwa PG yang baik dinilai dari AST-nya, sehingga fundamental di area kunci tidak dilatih.
Tujuan sebuah tim melatih strategi serangan adalah untuk menciptakan kesempatan menembak dalam durasi waktu tertentu. Dengan demikian setiap pemain di lapangan harus siap menembak saat mendapatkan kesempatan menembak. Pemain yang tidak siap menembak atau memiliki efektivitas tembakan yang rendah menunjukkan bahwa pemain tersebut tidak memiliki nilai yang bermakna untuk mendukung kemenangan sebuah tim. Bagaimana mungkin bisa juara kalau dalam sebuah tim hanya terdapat 1-2 pemain yang siap menembak atau memiliki efektivitas yang tinggi?
Setiap pemain di lapangan harus memiliki kemampuan lantun (dribble) yang baik. Pada saat latihan, setiap pemain harus dapat melantun dan mencapai jarak setengah panjang lapangan pada penjagaan satu lawan satu, dalam waktu 6 detik. Pemain yang tidak memenuhi standar tersebut, maka dapat dikatakan belum layak untuk berkompetisi. Bagaimana mungkin bisa juara kalau dalam sebuah tim hanya terdapat 1-2 pemain yang bisa melantun dengan baik, terlebih lagi bila tim lawan melakukan penjagaan satu lawan satu satu atau setengah lapangan?
Kenyataan yang kita lihat di Indonesia adalah sangat banyak para atlet dengan tinggi lebih dari 190 sentimeter (laki-laki) dan lebih dari 175 senimeter (perempuan) memiliki kemampuan lantun yang di bawah standar karena sejak usia dini diperlakukan dan dikembangkan sebagai atlet yang secara spesifik bertugas di area dalam (PF dan C). Sementara di negara yang basketnya maju, sangat banyak bertebaran atlet dengan tinggi lebih dari 190 sentimeter (laki-laki) dan lebih dari 175 sentimeter (perempuan) dengan kemampuan lantun yang di atas rata-rata para PG di Indonesia. Kejadian nyata untuk kasus ini dapat kita lihat pada Asian Games 2018 yang lalu, di mana pergerakan bola menjadi terhambat ketika PG utama dikawal ketat atau tidak dibiarkan menerima bola, serta banyaknya bola yang tercuri saat melantun.
Dalam hal operan, masih banyak ditemukan para atlet berlabel non-PG yang sering melakukan operan yang tidak akurat. Kasus yang sangat sering terjadi adalah operan ke arah kepala atau di atas kepala. Hal tersebut berakar dari pengembangan para pemain non-PG yang bermental eksekutor atau kurangnya latihan gerakan mengoper yang dianggap remeh karena tidak memahami pentingnya ketepatan operan yang baik dalam menentukan kemenangan sebuah tim. Inilah salah satu faktor yang menyebabkan AST yang rendah di tim basket Indonesia, karena tidak semua para pemain di lapangan yang menguasai dasar cara memfasilitasi rekan, apalagi memiliki visi untuk saling memfasilitasi.
Definisi Posisi Konvensional Tidak Sesuai dengan Peran dalam Permainan Basket Masa Kini
Bila ada pertanyaan untuk Anda sebagai pelatih: “Apakah definisi PG, dan bagaimana karakteristik fisik dan karakteristik permainan yang bisa terlihat dalam stats yang berlaku secara umum dan dapat digunakan untuk mengembangkan atlet muda?” Jawaban paling umum yang bisa ditemukan di internet mengenai PG mencakup poin-poin berikut ini:
Kenyataannya definisi PG secara konvensional di atas tidak sesuai dengan statistik Stephen Curry yang fotonya mendominasi halaman Point Guard di situs Wikipedia dan berbagai situs lainnya yang membahas para PG terbaik sepanjang sejarah di NBA. Curry yang diberi label PG adalah salah satu eksekutor utama GSW dengan FGA tertinggi di tim selama tiga musim dan FGA tertinggi kedua di tim selama satu musim kompetisi NBA, dalam empat musim terakhir. Selain itu, Curry bukanlah kontributor utama AST di tim GSW dalam empat musim terakhir. Artinya Stephen Curry yang dipertimbangkan sebagai salah satu PG terbaik di NBA tidak sesuai dengan definisi umum PG itu sendiri.
Selain itu, konstribusi AST pada sebuah tim sudah tidak melekat pada sosok pemain yang dilabeli PG. Pada daftar Top 20 pencetak AST terbanyak di musim kompetisi NBA periode 2018-2019, terdapat enam atlet yang tidak dilabeli sebagai PG dan dua atlet yang sebelumnya tidak dilabeli sebagai PG pada dua musim kompetisi NBA sebelumnya. Bahkan 4 dari 8 atlet tersebut berada di tujuh urutan AST terbanyak. Terlebih lagi beberapa tim seperti Warriors, Nuggets, Bucks, dan Pistons memiliki pemain-pemain berlabel PF dan C sebagai kontributor utama AST.
Hal-hal di atas merupakan contoh sederhana bahwa definisi PG secara konvensional sudah tidak sesuai dengan kondisi permainan basket di Amerika Serikat saat ini. Ketidaksesuaian definisi konvensional dengan fakta permainan dan statistik tersebut tidak hanya terjadi pada PG, tetapi juga pada posisi lainnya, terutama SF dan PF, yang akan menjadi sangat panjang artikelnya bila dibahas satu per satu.
Munculnya Istilah-istilah Baru yang Semakin Menyesatkan
Apabila seorang pemain basket memiliki permainan yang masih sesuai dengan definisi posisi konvensional, maka nama posisi pemain basket tersebut ditambahkan kata pure atau murni. Misalnya adalah PG murni, SG murni, dan C murni.
Sementara apabila seorang pemain basket memiliki permainan yang tidak sesuai dengan definisi konvensional secara umum atau dapat bermain di dua posisi, maka pemain basket tersebut disebut sebagai tweener. Pemain berkategori ini memiliki istilah uniknya masing-masing, misalnya combo guard (PG-SG), swingman (SG-SF), dan tiga nama lainnya.
Dengan demikian terdapat 10 kategori pemain basket (5 murni dan 5 tidak murni) yang akan semakin membingungkan para atlet muda dan akan lebih membingungkan para pelatihnya lagi bila ternyata suatu hari nanti terdapat anak didik yang secara mandiri mempelajari statistik basket dan menanyakan dasar penggolongan tersebut berdasarkan karakteristik pada statistik dan karakteristik atau keseragaman pola permainan* pada Anda sebagai pelatih.
*Keseragaman pola permainan misalnya adalah keseragaman jalur pergerakan tanpa bola atau dengan bola dan kemiripan peta tembakan dan peta operan.
Perlu dipahami bahwa lima kategori murni dan lima kategori tidak murni tersebut merupakan istilah yang muncul berdasarkan pengamatan para pengamat dan penonton basket, dan bukan pengkategorian yang objektif berdasarkan data pada situasi basket saat ini.
Juara NBA dan NCAA dalam Beberapa Tahun Terakhir Bukanlah Tim dengan Pendekatan Konvensional
GSW merupakan tim yang paling dominan sejak pertengahan periode 2010-an, yang berhasil mencapai final dalam empat musim terakhir dengan tiga gelar juara NBA. Bila dilihat komposisi, strategi, dan pola permainan berdasarkan stats, maka akan terlihat dengan jelas bahwa GSW bukanlah tim dengan pendekatan konvensional. Fasilitator dan kontributor utama dalam hal AST di GSW adalah pemain yang dilabeli PF, yang tubuhnya tidak lebih tinggi dari SF, dan lebih banyak berperan di area luar. Eksekutor utama mereka adalah pemain yang dilabeli PG, yang seharusnya menjadi fasilitator utama.
Selain GSW, pada saat ini sudah banyak tim-tim NBA lainnya dengan pendekatan yang sudah tidak konvensional, dan berhasil menduduki peringkat tinggi di wilayahnya masing-masing. Contohnya adalah Bucks, Raptors, dan 76ers yang mendominasi wilayah timur, dan Nuggets yang mendominasi wilayah barat.
Demikian pula dengan NCAA, di mana terdapat tim basket dengan pendekatan yang tidak konvensional dan ternyata berhasil menjadi juara dalam beberapa musim terakhir. Salah satu contohnya adalah Villanova yang berhasil menjadi juara pada tahun 2016 dan 2018 dengan strategi permainan yang menggunakan 4-5 pemain di area luar.
Siapapun yang menyaksikan tim basket Indonesia yang sedang memetik pelajaran di final SEA Games 2017 dan SEABA 2017 seharusnya telah menyadari bahwa penyebab tim basket Indonesia kalah dari Filipina adalah bukan karena ukuran, melainkan karena strategi tim lawan yang sudah tidak konvensional (dan tidak bisa diantisipasi), selain dari faktor-faktor lainnya, misalnya, masalah kemampuan fisik. Tim basket Filipina menggunakan strategi Dribble Drive Motion yang sudah diperkenalkan di tingkat pelajar di Eropa dan Amerika, dan telah diterapkan secara umum di tingkat senior wilayah Asia. Sementara di Indonesia masih banyak yang tidak tahu apa itu Dribble Drive Motion, apalagi berhasil menerapkan dan mengetahui cara mengantisipasinya.
Penutup
Pada tulisan-tulisan di atas telah dibahas bahwa pendekatan penetapan posisi secara konvesional sudah tidak memiliki nilai yang bermakna, baik dalam mendukung perkembangan atlet muda maupun membentuk tim juara pada masa kini. Bahkan hal tersebut dapat berdampak buruk pada perkembangan atlet-atlet muda, terutama bila mereka telah dilabeli dengan PG, SG, SF, PF, dan C sejak usia dini.
Atas dasar hal tersebut maka penulis merekomendasikan beberapa hal berikut ini:
1. Hapus penetapan posisi secara konvesional (PG, SG, SF, PF, dan C) dalam hidup Anda sebagai pelatih maupun atlet basket. Dengan demikian tidak ada atlet basket usia dini yang dilabeli dengan PG-C oleh pelatih. Demikian pula dengan atlet tingkat senior yang seharusnya sudah tidak perlu dilabeli dengan penetapan posisi konvensional tersebut.
Berdasarkan skenario pertahanan, pembagian peran secara sederhana hanya perlu dibagi dua, yaitu pemain bertahan perimeter ataukah pemain bertahan area dalam.
Berdasarkan skenario penyerangan, pembagian peran secara sederhana hanya perlu dibagi tiga, yaitu spesialis penembak jarak jauh, penyerang area dalam, dan pembawa bola. Semua pemain yang bukan menjadi spesialis penembak jarak jauh dan penyerang area dalam disebut sebagai pembawa bola, yang berarti bahwa pemain yang dapat dikatakan sudah layak berkompetisi adalah yang dapat melantun dengan baik atau dalam batas rata-rata.
2. Semua atlet basket usia dini sampai pelajar tingkat atas dilatih secara merata dalam hal melantun, menembak, mengoper, dan fundamental basket lainnya, tanpa memandang ukuran tubuh.
3. Semua atlet basket usia dini dilatih secara merata untuk menjadi pembawa bola dan penembak jarak menengah maupun jarak dekat. Rekomendasi latihan tembakan jarak jauh adalah usia 15-17 tahun, apabila ototnya sudah cukup kuat untuk melakukan gerakan menembak yang baik dan konsisten dalam suatu jarak tertentu. Tidak memaksakan atlet usia dini untuk berlatih tembakan jarak jauh apabila ototnya belum terlatih, di mana hanya akan menyebabkan kebiasaan gerakan menembak yang buruk.
4. Ajarkan pada para atlet muda secara dini mengenai permainan tim yang dapat memfasilitasi satu sama lain untuk menciptakan kesempatan menembak dengan memanfaatkan ruang, pergerakan tanpa bola, pergerakan memotong, pemanfaatan tembok (screen), serta hanya melakukan sedikit lantun (misalnya setiap pemain hanya dapat melakukan 2-3 lantun) dan lebih banyak operan.
Tanamkan pemahaman bahwa setiap lantun yang dilakukan harus memiliki tujuan, yaitu perpindahan posisi pembawa bola. Dengan demikian tidak ada lantun yang sia-sia dan tak bermakna (tanpa adanya perpindahan dan tidak menciptakan ruang untuk diri sendiri maupun rekan).
Hindari menerapkan kebiasaan permainan isolasi pada usia anak-anak, terutama untuk pemain bertubuh tinggi atau besar di area dalam. Hal tersebut hanya akan membuat murid Anda terlihat hebat secara sementara di antara lawan-lawan yang kurang hebat pada masa pertumbuhan.
Foto: Hariyanto
Baca juga: Rekomendasi Pembagian Peran Pebasket Modern Berdasarkan Statistik dan Mekanika