Februari selalu menjadi bulan yang meriah. Orang-orang, misalnya, sering merayakan sisi romantisnya lewat Valentine di bulan itu. Mereka bisa berbagi kasih sayang bahkan hanya dengan sepotong cokelat. Namun, bagi para pecinta olahraga, Februari selalu berarti kompetisi.

Beberapa kompetisi olahraga tersohor memang sering menempatkan agenda besarnya pada Februari. NFL—liga sepak bola amerika—punya Super Bowl. UEFA—federasi sepak bola Eropa—punya babak 16 besar Champions League. Sementara itu, NBA punya gelaran akbar yang ditunggu-tunggu tiap tahunnya. Gelaran itu bertajuk All-Star Game. Perang para bintang basket sesungguhnya.

All-Star sejauh ini tampak tidak kurang perhatian. Gelaran itu justru menyedot banyak minat dari seluruh dunia. NBA juga mau repot-repot melibatkan para penggemar dalam pemilihan para bintangnya. Mereka bahkan sampai mengakomodasi hal itu dengan menjalin rekanan bersama Google pada 2019 ini. Sebisa mungkin mereka berusaha untuk melibatkan berbagai pihak untuk ikut memeriahkan All-Star. 

Bagi pemain NBA sendiri, masuk ke skuat All-Star juga berarti sebuah pengakuan dan kehormatan. Sebab, tidak semua pemain bisa tampil di sana. Hanya mereka yang berhasil membuktikan dirinya sebagai bintanglah yang akan terpilih. Oleh karena itu, NBA tidak serta merta mengundang seorang pemain tanpa melewati proses pemilihan terlebih dahulu.

Jika menilik pada hasil pemilihannya, All-Star 2019 memiliki beberapa nama baru di deretan para bintang. Ada Nikola Jokic yang berhasil membuat Denver Nuggets menjadi tim papan atas. Ada Ben Simmons, Rookie of the Year 2018, yang menjadi pion penting Philadelphia 76ers. Ada Khris Middleton yang menjadi senjata baru Milwaukee Bucks. Ada Nikola Vucevic yang menjadi senter bawah radar dari Orlando Magic. Ada pula D’Angelo Russell, pemain buangan Los Angeles Lakers, yang kini bersinar bersama Brooklyn Nets. Masing-masing punya kisahnya sendiri menuju jalan bintangnya sebagai pembuktian.

Kendati demikian, tidak semua pemain rupanya melalui proses pemilihan yang sama. Sebab, selain nama-nama baru di atas, NBA juga punya dua nama lama yang dimasukkan secara khusus. Komisioner Adam Silver sengaja menunjuk Dirk Nowitzki (Dallas Mavericks) dan Dwyane Wade (Miami Heat), yang hendak pensiun di akhir musim ini, sebagai pemain tambahan. Hal itu dilakukan untuk menghormati karier keduanya selama di NBA.

Sayangnya, bagi saya, penunjukkan ini tampak seperti pilih kasih NBA terhadap dua veterannya. Wade dan Nowitzki memang pemain hebat, tetapi itu dulu. Mereka tidak sehebat itu musim ini. Keduanya sebatas pemain senior—mentor bagi pemain muda—yang sebentar lagi akan mengakhiri kariernya. Tidak lebih dari contoh nyata berjalannya regenerasi di NBA.

Nowitzki, misalnya, sudah bukan “Nowitzki” lagi musim ini. Penampilannya jauh menurun sejak mengalami cedera tahun lalu. Ia kini hanya pemain cadangan yang tampil sebanyak 21 kali dengan menit bermain sekitar 10,2 menit saja per pertandingan. Ia sudah bukan bintang utama di timnya sejak kedatangan Luka Doncic, pemain asal Slovenia, yang merebut hati generasi baru. Doncic bahkan sempat bersaing di deretan calon All-Star meski pada akhirnya tidak terpilih juga.

Sepanjang musim 2018-2019 saja Nowitzki hanya mencetak rata-rata 4,2 poin dan 1,8 rebound. Perolehan itu menurun dari musim terakhirnya pada 2017-2018 dengan 12 poin dan 5,7 rebound. Jika melihat sekilas pada statistiknya, Nowitzki cenderung mengalami penurunan dalam berbagai aspek. Kondisi fisiknya sudah tidak sehebat dulu lagi untuk mencetak statistik yang fantastis. Ia bahkan beberapa kali tampil tanpa mencetak poin di musim ini.

Wade, di sisi lain, masih memiliki nasib yang lebih baik. Ia bermain sebanyak 41 kali dengan menit bermain rata-rata 25,4 menit. Selama itu, ia mencetak 13,8 poin, 3,7 rebound, dan 4,3 asis per pertandingan. Namun, Heat tidak juga bisa dikatakan sebagai tim papan atas dengan hanya bantuan Wade dari bangku cadangan. Derrick Rose, garda Minnesota Timberwolves, saja masih lebih baik jika menyoal bantuan dari arah yang sama.

Rose bermain sebanyak 39 kali musim ini dengan menit bermain mencapai 28,7 menit. Ia mencetak rata-rata 18,3 poin, 2,8 rebound, dan 4,7 asis per pertandingan. Di luar statistiknya, penampilan Rose mencuri banyak perhatian orang. Bagaimanapun, sebagai seseorang yang diprediksi sudah berakhir, ia ternyata bisa bangkit seperti ini. Ia merupakan kandidat Most Improved Player dan atau Sixth Man of the Year yang mestinya punya kans lebih layak untuk masuk ke skuat All-Star. Namun, NBA rupaya telah memilih jalan untuk membesarkan romantisme nama besar untuk memasukkan Wade, juga Nowitzki, sebagai pemain jalur khusus daripada menyelamatkan Rose.  

Seperti saya bilang, NBA melakukan ini tidak lebih dari sekadar penghormatan untuk musim terakhir Wade dan Nowitzki. Sebab, Wade memang sudah memutuskan bahwa ini merupakan musim terakhirnya di NBA. Ia menyebutnya sebagai Tarian Terakhir (The Last Dance). Sementara itu, Nowitzki—meski belum ada obrolan jelas tentang pensiun—tampaknya akan mengakhiri karier di musim yang sama.

Kendati begitu, jika memang wacana tersebut yang NBA usung, mestinya Vince Carter juga diperlakukan sama. Sebab, Carter tampaknya juga akan mengakhiri kariernya di musim ini. Bagaimanapun, usianya sudah tidak muda lagi. Carter mencapai usia 42 tahun pada Januari 2019 lalu. Namun, soal gelar pemain bintang, mestinya Carter masih memiliki itu dalam dirinya seperti juga Wade dan Nowitzki.

Meski belum pernah menjuarai NBA seperti kedua pemain terpilih, Carter punya karier yang hebat. Sosoknya membangkitkan animo masyarakat Kanada untuk bermain dan mengembangkan basket. Pada awal 2000, misalnya, Carter menjelma fenomena yang membuat nama Toronto Raptors dikenal banyak orang. Dengan penampilannya yang eksplosif, ia bisa menancapkan diri sebagai salah satu pemain bintang pada zamannya.

Dalam salah satu penampilannya di kontes menombok (slam dunk contest) dalam rangkaian All-Star Weekend, Carter juga mengambil bagian dalam memeriahkan acara. Saat itu, ia keluar sebagai pemenang kontes berkat tombokan-tombokannya yang fantastis. Carter bahkan menjadi inspirasi beberapa pemain dalam melakoni kontes yang sama. Musim lalu, Donovan Mitchell berdandan sekaligus menombok ala Carter untuk memenangkan kontes menombok 2018.

Dengan dasar itu, saya pikir NBA juga mesti mengangkat wacana romantis untuk membawa kembali nama Carter ke All-Star. NBA perlu menghormati Carter dengan mengajaknya tampil di perang bintang tahun ini. Jika Wade dan Nowitzki saja yang diajak, saya jadi melihat wacana itu sebagai pilih kasih berkedok penghormatan. Padahal ini bukan Valentine yang mesti berbagi kasih, tetapi perang bintang yang sarat kompetisi. 

Foto: NBA

Komentar