Kemampuan dan bakat seorang wasit, dapat diketahui dari jumlah correct call, incorrect call, dan missed call yang dibuatnya. 

Menyikapi keadaan di hadapannya dan timing menjatuhkan keputusan adalah bagian yang tidak kalah penting. Dari "sikap dan timing" tersebut, dapat diketahui apakah ia cukup baik menguasai keadaan yang dihadapi, maupun kesiapannya untuk mengambil keputusan. 

A guy is going in for a drive, another guy is going and climb on his back. Anticipate that there may be a fight. You go in there, stay, separate them, and calm the situation down. Because if you didn't, what you’re going to have is a fight and you will end up throwing both out of the game and administering the Technical Foul. 

Calling the big "T" (Technical Foul) adalah keputusan yang sebaiknya dihindari apabila ingin berorientasi kepada pembinaan. Begitulah kata seorang wasit liga basket mahasiswa Amerika Serikat (NCAA Division 1 Official) di dalam ceramahnya.  

Tidak jelas mengapa peraturan "T" foul di basket kita diserahkan kepada wasit tanpa syarat dan batasan? Pertandingan menjadi sepenuhnya berada di tangan wasit. Padahal, di peraturan FIBA tidak ada petunjuk (guide line) ke situ, kecuali salah dalam menginterpretasikannya. 

Kemudian, "T" foul memang sudah sering digunakan untuk mengancam, menghukum yang dianggap tidak tertib, yang dianggap menyinggung perasaan, dan lain lain yang sebenaraya karena ketidaktahuan wasit sendiri menangani situasi protes sebagai penyebab asal mula terjadinya ketidaktertiban itu. Demikian "T" foul menjadi keputusan yang sangat berisiko kontroversi karena tidak sesuai kapasitas maupun alasannya. 

Sayangnya, hal pengekangan terhadap permainan ini tidak pernah dibahas, menjadi kebiasaan. Akhirnya tidak ada lagi yang mempersoalkan seperti apapun kasusnya. Basket versi sendiri ini tentunya menghambat kreativitas serta pengembangan, dan mengerdilkan wasit sendiri tidak pernah dapat mengerti. 

Ketidakmengertian akan memicu tindakan sepihak dan cenderung tidak sportif. Pembinaan basket harus dibangun berlandaskan sportifitas. Satu saja dari tiga unsur di lapangan, yaitu pemain,  pelatih,  dan wasit, tidak sportif, maka sudah berpotensi menghambat usaha prestasi.

Mungkin wasit menganggap sudah berkomunikasi dengan rekan, dengan pengawas pertandingan, merasa sudah cukup untuk menjatuhkan "T" foul?

Tentu bukan begitu. Yang harus dipikir dan didahulukan adalah, mengapa pelatih/pemain protes? Mengapa ada perbedaan pandangan? Bagaimana meresponnya? Abaikan? Atau…, mainkan bolanya segera, biar waktu segera berjalan dan membuat semua orang berkonsentrasi kembali ke permainan. Bukan menjatuhkan "T"  foul karena pelanggaran ketertiban yang dilakukan pelatih kemudian. 

Seharusnya wasit dan pelatih dapat berkomunikasi. Beri kesempatan kepada pelatih untuk berekspresi dalam memimpin timnya. Berinteraksi, wasit akan dapat masukan atas kekurangannya sendiri. Berdasarkan teori, pelatih adalah motor penggerak kemajuan yang paling tahu harus bagaimana memainkan olahraga ini. Jangan biarkan orang yang disebut pelatih berdiam dan bersembunyi di balik ketidakmampuannya, cuma bisa lempar kursi ketika tidak setuju dengan keputusan wasit.

Masalah ketertiban, sewajarnya sudah disiapkan ketentuannya di Peraturan Pertandingan yang dikendalikan penyelenggara sebelum kejuaraan atau turnamen dimulai. Yaitu, sanksi yang sudah terukur serta disepakati peserta. Berdasarkan itu wasit baru boleh bertindak, dan menjalankan tugasnya dengan terpantau bahwa ada batasan-batasan dan prosedur yang harus ditaati, itu baru benar! 

Versi permainan sekarang pada dasarnya sudah berubah menjadi "dari luar ke dalam". High school basketball (SMA), college basketball (universitas), dan NBA (liga profesional), strategi mainnya sudah mirip-mirip. Hanya power, speed, dan kemahiran yang membedakan mereka. Banyak permainan di luar lapangan telah membuat tugas wasit semakin berat. Karena itu, kita harus berpikir, basket orang lain sudah berubah beberapa kali, mengapa kita tidak? 

"T" adalah untuk menghukum perilaku tidak sportif yang tidak berhubungan langsung dengan permainan, dan tidak ada definisinya. Keberadaannya juga untuk melengkapi unsportsmanlike foul yang berhubungan langsung dengan permainan. Sekali lagi, sportivitas memiliki porsi terpenting di olahraga ini.  

Berdasarkan kulturnya, melanggar sportivitas memalukan. Apalagi berperilaku buruk tidak berkaitan dengan permainan yang bersifat keadaban. Penonton sebaiknya juga harus dapat menahan diri jangan ada cemoohan yang melampaui batas hingga memancing wasit. Karena itu, NCAA ketat dalam persoalan "T", hanya karena dianggap dapat membuat orang malu atau digunakan untuk mempermalukan orang. 

Menjatuhkan "T" tanpa pertimbangan matang atau tidak tepat waktu dan kondisinya merupakan aksi yang naif, arogan, dan tidak dapat dipercaya. "T Power" yang kerap ditampilkan secara demonstratif ini telah membuat komunikasi maupun tradisi hubungan antara pelatih, wasit, dan pemain menjadi tidak berjalan selaras. Banyak kasus yang melibatkan emosi tidak selalu wasit ada di pihak yang benar. Sebab itu, kasus yang melibatkan wasit umumnya selesai dengan "terlupakan" alias tidak ada tindak lanjut. Boro-boro dicatat sebagai pengalaman berharga. 

Belum lagi soal pemahaman yang kurang baik terhadap peraturan, membuat penanganan wasit cenderung "melepas" alias dibiarkan, “no harm no foul” demi menghindari membuat incorrect call. Sampai orang yang menonton melalui video streaming mengatakan, “Basket Indonesia berkembang di jalur olahraga hiburan sang veteran,” serasa ada benarnya. 

Penanganan yang "melepas" itu tidak bertanggung jawab. Membuat permainan jadi melambat atau akan banyak pemain terpelanting dan cedera dalam melakukan aksinya. Akhirnya pemain tidak mau lagi bermain seperti itu, tidak ada lagi semangat untuk melatih keberanian ambil risiko bermain di udara. Main bergumul yang bukan teknik basket itu akan mendorong pemain ke permainan curang, akhirnya tidak tertib. Apakah semua ini bukan karena wasitnya? Betapa pentingnya sportivitas (yang harus ada di jiwa seorang wasit) dalam membangun prestasi olahraga ini. Namun, tanpa memahami peraturan mainnya juga tidak mungkin dapat memahami bolabasket ini apa dan bagaimana sebenarnya. 

Strategi dan cara bermain tentu ada di tangan pelatih. Tetapi, baik buruk jalannya pertandingan, tergantung dari wasit mau "niup"-nya seperti apa. Tidak ada pemain yang berniat berkelahi, tetapi banyak perkelahian antarpemain gara-gara wasitnya gagal membaca keadaan. Kualitas wasit menentukan kualitas pertandingan. Kompetensi dapat membuat pemain dan permainan maksimal. Good officiating bahkan dapat membuat pertandingan buruk/emosional yang negatif berubah menjadi semangat tanding yang positif, tak lain karena pemain percaya kepada wasitnya. 

Wasit perlu menunjukkan kematangan dan kemampuan mengontrol emosi sebagai jaminan mengatasi situasi sulit dan tegang ketika seluruh gedung menjadi panas. Minimal untuk pelatih dari tim tamu yang biasanya kalah banyak pendukungnya. Itu sebabnya, tidak semua beban ketertiban dapat dipikul oleh wasit.

Kembali kepada "kontrol tugas". Bila ingin mendapatkan data "kontrol tugas" yang akurat, unsur "menyikapi keadaan dan timing" seperti yang telah disebut di atas tidak boleh terpisah dari data angka-angka Correct call, Incorrect call, dan Missed call.  Bagaimana menyikapi keadaan yang dihadapi dan timing dalam mengambil keputusan sebenarnya adalah latar belakang dari sebuah keputusan. Dengan demikian, data akan lebih akurat ketika diolah sebagai "manajemen kontrol" untuk menyimpulkan performa seorang wasit. Lebih dari itu, untuk dapat memastikan ada atau tidaknya favoritisme (keberpihakan) dari wasit bertugas kepada salah satu tim.

Incorrect call dan missed call tidak sulit diperbaiki, karena umumnya disebabkan ketidaktahuan. Berbeda dengan favoritisme. Favoritisme adalah kesengajaan yang direncanakan berkaitan dengan tujuan atau keinginan dari orang-orang tertentu. Favoritisme bukan hanya merusak fairness, tetapi mengaburkan akurasi data wasit yang bersangkutan. Tidak perlu bukti, wasit yang diragukan rasa tanggungjawabnya ini, sebenarnya sudah dapat dibebastugaskan sementara. 

FIBA, organisasi basket terbesar ini, peraturannya tidak tepat jika di-copy dan diterapkan langsung begitu saja di kompetisi sebuah Liga, Negara, atau lainnya yang sedang berusaha membangun prestasi. Tidak ada kecuali. Sebab, peraturan FIBA dirancang untuk pertandingan antaranggota di seluruh dunia yang terdiri dari ratusan negara berbeda budaya maupun bahasa. Karena itu, komunikasi dengan lisan di kegiatan FIBA dirancang seminimal mungkin. Dapat dibayangkan, betapa sulitnya berkomunikasi lisan bila pertandingan berlangsung di Jerman. Misalnya, Rusia lawan Angola, diwasiti oleh wasit dari Italia, China, dan Iran, serta pengawas pertandingan dari Jepang. Jangankan aksen Inggrisnya, bahasa tubuhnya saja bisa bikin salah paham.

"T" foul di FIBA misalnya. Bila seorang pemain melakukan protes menggunakan bahasa tubuh yang dianggap oleh wasit  berlebihan, sudah dapat dikenakan "T". Wasit FIBA tidak dianjurkan memberi penjelasan kepada pelatih, pemain yang memprotes keputusannya. FIBA tidak ingin mengambil risiko penyelenggaraannya sampai terganggu karena banyaknya protes. FIBA memilih wasit ambil tindakan tegas lebih dulu. Itu sebabnya kadang lebih mudah bertugas di FIBA yang dapat mengambil keputusan apa adanya, daripada basket pembinaan yang sarat pertimbangan. Keputusan wasit di pertandingan FIBA tidak dapat dikomentari. Selalu benar. 

Apakah benar kita mau menerapkan cara yang persis seperti FIBA itu? Banyak informasi teknik dan peraturan berguna buat pelatih sering datang dari wasit. Memang, tidak sedikit pelatih mengenal peraturan karena berkomunikasi dengan atau memahaminya dari keputusan wasit. Sedangkan wasit tentu ingin pertandingan yang dipimpinnya dapat berjalan lancar dan berakhir sukses memuaskan semua pihak demi reputasi profesinya. Karena itu, wasit harus dapat tampil meyakinkan di depan pemain, pelatih, dan penonton. Pembina harus bisa memberi informasi kepada pelatih bagaimana berkomunikasi dengan wasit, dan mengajari wasit menangani pelatih yang sedang marah. Harap maklum, tim dan gim adalah “nyawa” (livelyhood) bagi pelatih. 

Di bolak-balik, semua menjadi menyulitkan, tak lain karena bidang perwasitan tidak memiliki sistem kontrol kinerja, sehingga tidak dapat mengukur kepatutan wasit kepada tugas yang diberikan berdasarkan bukti data. Adanya kekurangan seperti ini, lantas diberi lagi versi tugas seperti "borongan kerja tahu beres". Wasit yang belum teruji, bagaimana bisa diberi wewenang sebesar itu? Siapa yang mau hasil kerja keras membangun tim bertahun-tahun harus jatuh tersandung oleh satu tiupan konyol di turnamen yang ditunggu-tunggu? 

Manajemen, prosedur, maupun peraturan permainan sudah banyak yang berubah. Tingkat kritis di olahraga ini semakin meningkat dari waktu ke waktu. Bicara hal "T" foul, sejujurnya dapat dikatakan kita masih beruntung, karena pada umumnya pelatih masih kurang familiar terhadap peraturan permainan, dan level prestasi basket kita masih belum seberapa. Sebab itu, menjatuhkan "T" foul tanpa pertimbangan masak pun belum dapat menyulut protes keras, padahal wasit tidak dapat mengubah keputusannya yang berarti, berada di posisi lemah bila terbukti keputusannya salah. Karena itu, lambat atau cepat, sistem "T" yang berjalan sekarang akan berdampak negatif serius, mengundang polemik bagi kelangsungan permainan seiring meningkatnya prestasi di masa yang akan datang. Bila tidak dipikirkan, dipelajari, dan disesuaikan dari sekarang, prestasi jadi bagaimana? 

Kita pikirkan dulu bagaimana dapat membuat peserta/aktivis terdorong melakukan pembinaan jangka panjang karena melihat adanya harapan.

Inilah tujuan utama yang sebetulnya tidak terlalu sulit dicapai karena besarnya potensi yang kian tumbuh. Mencantumkan label "Menggunakan Peraturan FIBA" sebetulnya sama dengan melepas tanggung jawab, hanya untuk rutinitas saja. 

Ada sponsor belum tentu ada penonton. Banyak penonton pasti banyak yang bersedia jadi sponsor. Lebih baik mengedepankan penonton daripada sponsor. Disitulah kualitas pertandingan yang harus angkat bicara. 

Oleh karena itu, penyelenggara harus dapat bikin kompetisi yang pantas atau layak (proper), yang dapat saling menyesuaikan dengan kondisi peserta, mengajak semua pihak berkomitmen pada kesepakatan, mulai dari sedikit hingga di banyak hal. Mungkin mulai dengan demikian baru ada jalan yang dapat memunculkan gairah baru. 

Tidak ada jalan lain. Karena sudah terlanjur berada di ranah hiburan dan rutinitas, bahkan di turnamen tingkat SMA sekali pun, sama saja.(*)

Foto: Hariyanto

Komentar