Sepertiga musim Formula 1 2016 telah berlalu. Apa omongan di paddock tentang bintang Indonesia Rio Haryanto?

Catatan dari MONTREAL

Sejarah sudah dicatat. Rio Haryanto sudah menjadi pembalap Indonesia pertama yang berlaga di Formula 1. Sebelum Grand Prix Kanada yang diselenggarakan Senin dini hari tadi WIB (13/6), pembalap kelahiran Solo itu sudah menjalani enam lomba.

Tampil bersama Manor-Mercedes, tim terkecil di F1, memang tidak banyak yang bisa diharapkan dalam hal poin atau hasil kuantitatif lain. Tapi itu bukan berarti Rio tidak bisa menancapkan kesan yang kuat.

Cara mengukur paling mudah adalah dengan membandingkannya dengan rekan setim sendiri. Dan Pascal Wehrlein merupakan alat ukur yang istimewa. Pembalap Jerman itu adalah binaan Mercedes, digadang-gadang sebagai superstar masa depan.

Hasil perbandingannya sangatlah baik untuk Rio dan penggemar F1 di Indonesia. Karena bisa dibilang keduanya relatif imbang. Menjelang GP Kanada, skor kualifikasi keduanya 3-3.

Sayang Rio membuat kesalahan dan terganggu lintasan basah saat kualifikasi di Montreal, sehingga skor menjadi 4-3 untuk Wehrlein setelah tujuh lomba.

Perbandingan kualifikasi ini adalah pertanda kecepatan keduanya tidak berbeda jauh.

Dalam lomba, penilaian jadi lebih susah. Keduanya beberapa kali finis di urutan berurutan, tapi masih di belakang tim lain.

Wehrlein terlihat lebih beringas, lebih meyakinkan. Tapi itu bukan berarti Rio lebih buruk. Karena dia lebih baik dalam konsistensi dan pemakaian ban. Jadi,kedua pembalap sama-sama punya plus minus.

Menjelang musim ini, banyak yang mengira Rio bakal dihancurkan oleh Wehrlein. Seperti dulu Alex Yoong (Malaysia) dihancurkan oleh Mark Webber. Ternyata, Rio dan Wehrlein tidak begitu beda jauh.

Saat jumpa pers resmi para bos tim di Sirkuit Gilles Villeneuve Jumat lalu (10/6), “kejutan” Rio ini sampai ditanyakan langsung oleh moderator utama, wartawan senior Inggris, James Allen.

Kepada Dave Ryan, bos Manor, Allen bertanya: “Apa pendapat Anda tentang para driver? Menarik diperhatikan, Haryanto telah mengalahkan Wehrlein dalam kualifikasi sebanyak tiga kali. Bagaimana Anda mengevaluasi keduanya?”

Sebagai informasi, sebelum lomba ini, Ryan sudah lebih dulu memuji pasangan rookie-nya lewat pernyataan resmi tim.

Justru tantangannya adalah menyediakan mobil yang lebih baik untuk mereka.

Saat ditanya oleh Allen, Ryan menjawab bahwa baik Wehrlein maupun Rio punya masa depan yang menjanjikan.

“Kedua pembalap benar-benar bekerja sangat baik. Setelah enam lomba kualifikasi berlangsung imbang”, jawab Ryan. “Mereka bekerja luar biasa, dan mereka akan terus membaik di kemudian hari”, lanjutnya.

Secara tim, Manor memang suka dengan Rio.Para personel tim menyampaikan kalau mereka sangat senang dengan performa –dan attitude/perilaku-- Rio. Harapan mereka, Rio bisa terus tumbuh bersama tim. Bukan hanya tahun ini, tapi hingga tahun-tahun selanjutnya.

Pujian untuk Rio juga disampaikan kalangan media. Itu disampaikan secara langsung kepada Jawa Pos, yang memang satu-satunya wakil media dari Indonesia di Montreal.

Mereka rata-rata kagum, tidak menyangka Rio bisa mengimbangi Wehrlein. Bahkan menyebut Rio lebih baik dari beberapa nama lain di F1 saat ini.

Di antara para rookie, Wehrlein dan Rio malah disebut lebih meyakinkan daripada Jolyon Palmer di Renault  (“Palmera disaster”, ucap seorang wartawan senior Prancis).

Ini semua menandakan, Rio telah meraih respect di paddock.

Sekarang tinggal bertanya ke Rio sendiri, apa penilaiannya tentang diri sendiri di F1? Jawabannya ternyata khas Rio, sangat rendah hati.

“Nilai saya mungkin hanya 6 sampai 7”, ucapnya saat ditanya usai babak kualifikasi di Montreal.

Menurut Rio, dia tidak menyangka ada begitu banyak faktor yang harus dia pelajari, dan begitu banyak penyesuaian yang harus dia lakukan, untuk bisa berkiprah secara maksimal di F1.

Dia mengaku senang bisa menjalin hubungan baikdan mampu berkomunikasi baik dengan tim. Bahkan menjalin pertemanan dengan Wehrlein, saling bertukar ilmu dan setelan.

Namun, untuk tampil maksimal di dalam kokpit, ternyata ada begitu banyak yang harus dia pahami. Dalam menentukan setelan mobil misalnya, ada begitu banyak detail yang harus dia pelajari. Begitu beda dengan pengalamannya di seri tertinggi di bawah F1: GP2.

“Di F1 ada begitu banyak tool (alat dan piranti, Red) untuk membantu mengubah setelan mobil. Kalau di GP2 dulu, kalau ada yang kurang pas, pembalap yang harus bisa menyesuaikan diri. Misalnya mengubah gaya mengemudi. Kadang saya masih mencoba menyiasati setelan yang kurang pas di F1, padahal seharusnya setelan bisa diubah”, tuturnya.

Karena sama-sama rookie, Wehrlein sebenarnya juga menghadapi masalah yang sama. Keduanya saling bertukar data.

Di sirkuit yang Rio lebih pengalaman, seperti Monaco, Wehrlein mengikuti setelan Rio. Di tempat yang Wehrlein lebih paham, Rio mengikuti sang rekan.

Bedanya, lanjut Rio, Wehrlein lebih agresif. Misalnya dalam keberanian memakai ban. Sekali lagi, ini mungkin karena kebiasaan saat di GP2 dulu. Di seri itu Rio harus bisa menghemat ban. Kalau di F1, harus berani “menghajar” ban karena toh akan pit stop dan dapat pengganti.

Dalam lomba-lomba ke depan, “lebih berani dan agresif” itulah yang kira-kira ingin dilakukan Rio. Kalaupun dituntut menghemat ban, dia sudah lebih jago dari Wehrlein.

Soal hal-hal di luar lintasan, Rio tampak tidak terganggu dengan berbagai kabar terkait peluangnya menyelesaikan musim bersejarah ini. Dia fokus 100 persen untuk meraih yang terbaik di lintasan.

Keluarga, tim manajemen, bahkan Manor sekarang sedang berusaha keras untuk memastikan Rio aman sampai akhir musim. Bahkan sampai musim-musim selanjutnya. Penggemar di Indonesia tentu berharap segala upaya itu membuahkan hasil yang menggembirakan.

Bagaimana pun, Rio telah mencatat sejarah. Bahkan telah meraih respect di F1. Sekarang tinggal butuh waktu dan kesempatan untuk membuat semua penggemar di Indonesia menjadi lebih bangga. (*)

Komentar