âTiada kasih paling indah, kisah kasih di sekolah.â
Begitulah kedengarannya sebuah lagu berjudul Kisah Kasih di Sekolah yang dilantukan Obbie Messakh yang kemudian dinyanyikan kembali oleh Chrisye. Kebanyakan orang memang menganggap kisah romantisme di sekolah adalah cerita terbaik yang mereka alami. Tapi, zaman telah berubah, dan lagu itu sudah tidak relevan lagi.
Alkisah, ada sebuah klub sepak bola bernama Leicester City. Sebuah tim promosi yang kisahnya luar biasa hebat, menyusul hasil imbang Tottenham Hotspur kontra Chelsea dalam gelaran lanjutan Liga Inggris 2015-2016. Hasil itu telah membuat mereka dinobatkan sebagai juara pada Selasa, 3 Mei 2015 lalu.
Bukan tidak mungkin, suatu hari nanti Leicester City malah menjadi sebuah judul dongeng. Karena seperti dongeng-dongeng yang selama ini terjadi, kisahnya selalu berakhir happily ever after alias bahagia. Bahkan kebahagiaannya terasa lebih indah dari kisah kasih di sekolah. Maka, seperti disebutkan di muka, lagu di atas betul sudah tidak relevan.
The Foxes (julukan Leicester City) telah membuktikan bahwa hampir tidak ada yang tidak mungkin dalam olahraga. Mereka tahu roda itu berputar dan begitulah kenyataannya. Maka, kemungkinan besar itu pun akan terjadi di liga basket kasta tertinggi di Indonesia setelah sekian lama. CLS Knights Surabaya digadang-gadang sebagai kandidat terkuat untuk merengkuh trofi di akhir musim Indonesian Basketball League (IBL) 2016.
Sulit membayangkan, nyatanya selama bertahun-tahun Satria Muda Pertamina Jakarta dan M88 Aspac Jakarta mendominasi liga. Seolah-olah roda telah lupa kalau ia harus berputar. Kemudian, nasib pun tidak tahu bagaimana mengalihkan pandangan Dewi Fortuna kepada mereka yang belum mendapat kesempatan. Lantas, liga basket yang begitu-begitu saja itu membosankan, dan CLS Knights begitu membawa harapan untuk memutar roda itu.
CLS Knights memang tampil dengan sesuatu yang baru ketika mengawali pra musim November setahun lalu. Dalam deretan amunisi, kehadiran pemain naturalisasi bernama Jamarr Andre Johnson begitu memberikan dampak. Ibarat Leicester City, Jamarr adalah Jamie Vardy yang selalu haus gol di setiap laga. Performanya meledak di musim ini karena musim lalu Jamarr tidak bisa menyelesaikan proses naturalisasinya tepat waktu.
Tidak adil memang jika membicarakan penampilan bagus CLS Knights musim ini hanya karena Jamarr. Dalam beberapa kesempatan, peran Mario Wuysang justru begitu vital. Orang-orang perlu mengagumi ketenangan Mario di waktu-waktu yang krusial. Ingat bagaimana ia menyelamatkan tim dari kekalahan melawan Stadium Jakarta di Seri 5 Bandung dalam dua kali drama overtime. Tembakan tiga angkanya terlalu keren untuk disebut keberuntungan.
Kedua pemain yang disebutkan di atas memang signifikan, tapi perbincangan soal CLS Knights tidak semestinya berhenti di situ. Peran pemain lain seperti Sandy Febiansyakh, Rachmat Febri Utomo, M. Isman Thoyib dkk. juga cukup bagus. Bahkan pemain lapis kedua seperti Bima Riski Ardiansyah cukup konsisten. Dan, andai A. A. Ngurah Wisnu Budidharma Saputra tidak cedera, kemungkinan ia bakal menjadi sixthman yang mematikan.
Mengkhidmati Ketegasan Wahyu Widayat Jati
Setelah waktu untuk membicarakan semua pemain telah habis, perbincangan tidak juga selesai. Sebab bicara tentang CLS Knights seperti tidak punya rem. Satu peran lagi yang sangat tidak boleh dilewatkan: kepala pelatih.
Musim lalu, CLS Knights masih dinakhodai Kim Dong-won. Tampuk kepemimpinan itu kemudian berganti dan berlabuh kepada Wahyu Widayat Jati. Seorang legenda basket Indonesia yang terkenal keras.
Wahyu alias Cacing menjadi kepala pelatih CLS Knights sejak gelaran pra musim. Ketegasan selalu terlihat dari garis-garis wajahnya yang kelihatan kaku. Bahkan ketika mereka sedang di atas angin, ia selalu memasang wajah serius.
Nakhoda Leicester City, Claudio Ranieri yang budiman, pernah berkata: âKamu harus bekerja untuk segalanya. Kamu harus bekerja untuk pizzamu juga. Kita akan membuat pizza sendiri.â
Mengadopsi sikap Ranieri di atas, Cacing memiliki semangat yang sama untuk menuntut anak asuhnya supaya terus bekerja keras. Ingat bagaimana ia membuat Jamarr harus bekerja di gelaran pra musim dengan menit bermain yang banyak. Karena musim lalu ia bahkan tidak bermain sama sekali.
Adaptasi adalah harga mati supaya Jamarr bisa merajai musim reguler di kemudian hari. Hasilnya? Hmm, tidak perlu diceritakan lagi.
Pernah suatu ketika, timnya menang tapi evaluasi berjalan lama sekali. Ketika menang pun selalu ada yang harus dibenahi. Cacing tidak ingin membiarkan kesalahan terulang lagi. Sayangnya, itu musibah bagi para wartawan karena harus menungguinya begitu lama demi wawancara yang tidak lebih dari 5-10 menit.
Kisah lain tentang sikap yang sama hebat sekaligus bencana bagi orang lain adalah ketika ia hanya membawa pemain-pemain yang punya kesiapan di setiap seri. Ia akan meninggalkan pemain-pemain yang tidak siap di rumah. Sehingga, dari satu sisi akan melatih mental pemain untuk mengasah kemampuan, sisi lainnya justru meruntuhkan mental jika tidak kuat menerima diri. Namun, itulah alasan mengapa harus mengkhidmati seorang Cacing.
Seseorang pernah bilang bahwa CLS Knights memerlukan seorang diktator yang bisa menunjukkan dirinya pemimpin. Cacing dengan sikapnya yang tegas dan keras adalah diktator yang cocok untuk tim dengan taburan bintang seperti CLS Knights.
Orang-orang wajib menunggu sampai mana nakhoda kali ini membawa kapal ke pelabuhan terbaik. Adalah suatu kerugian besar, setelah semua yang telah dilalui, CLS Knights tidak jadi juara. Gelar juara adalah harga mati untuk menyelamatkan umat manusia dari kebosanan akibat dominasi Satria Muda dan Aspac.
Ayolah, jadi juara! Toh, ini demi kepentingan umat.
Foto: Leicestermercury.co.uk
Leicester City, CLS Knights Surabaya, dan Roda Berputar (Claudio Ranieri dan Wahyu W. Jati)
04 May 2016 15:51
| Penulis : Gagah Nurjanuar Putra