Perjalanan fantastis Duke University di awal musim turnamen basket antarkampus NCAA terhenti Rabu malam, 21 November 2018. Lewat turnamen tahunan Maui Invitational, Blue Devils (julukan Duke) tunduk kepada Gonzaga University, 87-89. Ini menjadi kekalahan perdana Blue Devils dari enam laga yang telah mereka lalui.
Kemenangan ini membuat Bulldogs (julukan Gonzaga) menjadi juara Maui Invitational untuk kedua kalinya sepanjang sejarah. Sebelumnya, Bulldogs pernah menjadi juara pada tahun 2009. Maui Invitational adalah turnamen tengah musim NCAA yang digelar di Hawaii sejak 1984.
Dalam kemenangan ini, satu nama pemain Bulldogs mencuat ke permukaan. Seorang forwarda bernomor punggung 21 menjalankan tugasnya di dua sisi permainan dengan sangat baik. Pemain Afrika-Amerika dengan nama bernuansa Jepang tersebut mencatatkan 20 poin, 7 rebound, dan 3 blok dengan akurasi 50 persen. Pemain tersebut lantas mendapatkan gelar Most Valuable Player di turnamen ini, ia adalah Rui Hachimura.
Hachimura mendapat sorotan banyak pihak musim ini seiring peningkatan penampilan yang luar biasa. Bersama laga melawan Blue Devils, Hachimura musim ini sudah memainkan enam laga dan mencatatkan rataan 22,5 poin, 5,8 rebound, 1,5 asis, plus 0,8 blok per laga. Akurasinya juga luar biasa, secara keseluruhan, ia menorehkan 59 persen dengan rincian 61 persen tembakan dua angka dan 44 persen tripoin.
(Baca juga: Perjalanan “Tim Alien” Duke Blue Devils Kembali ke Bumi)
Sebagai pemain tahun ketiga (junior), angka tersebut meningkat jauh dari dua tahun pertamanya bersama Bulldogs. Di tahun pertama, sebagai pemain asli Jepang, Hachimura yang terkendala bahasa dan budaya Amerika Serikat hanya menyumbangkan 2,6 poin, 1,4 rebound, dan 0,1 asis per laga dari 28 laga yang ia mainkan.
“Bahasa adalah kendala utama ketika saya pindah ke sini. Kemudian, budaya dari setiap orang di sini dengan di Jepang sangatlah berbeda. Orang-orang Jepang lebih pendiam dan berfokus kepada urusan mereka masing-masing. Di sini (Amerika Serikat), orang-orang sangat terbuka dan bisa berbicara tentang apa saja,” ungkap Hachimura dalam sebuah wawancara dengan sebuah media Amerika Serikat.
Ya, meski tampak seperti orang keturunan Afrika-Amerika, Hachimura adalah pemain yang lahir dan tumbuh di Jepang. Ayahnya adalah pria berasal dari Benin sementara ibunya adalah perempuan asli Jepang. Sempat bermain baseball, Hachimura memulai petualangan basketnya di level SMA yang lantas membawanya ke tim nasional Jepang kelompok umur 17 dan 19 tahun.
Saat bermain untuk timnas U-17 namanya mulai mendapat perhatian publik basket dunia. Ia memimpin turnamen sebagai top skor dan tampil cemerlang dengan mencetak 25 poin saat berhadapan dengan Amerika Serikat. Kala itu, Amerika Serikat diperkuat pemain-pemain yang kini sudah berlaga di NBA seperti Josh Jackson, Jayson Tatum, dan Caleb Swanigan.
Buah dari permainan cemerlang tersebut, Hachimura mendapatkan tawaran dari berbagai kampus di Amerika Serikat. Selain Gonzaga, kampus seperti Louisiana State University (LSU) dan beberapa kampus lain dengan tradisi basket yang besar juga sempat menghampirinya. Gonzaga menjadi pilihan karena ia merasa kotanya serupa dengan kota asalnya di Jepang.
Setelah melewati tahun pertama penuh dengan adaptasi, tahun kedua berjalan lebih mudah bagi pemain yang berulang tahun setiap 8 Februari ini. Bermain dalam 37 laga dengan dua kali menjadi starter, ia menorehkan rataan 11,6 poin, 4,7 rebound, 0,6 asis, dan 0,5 blok per laga.
Banyak pihak yang menilai penampilan di tahun kedua Hachimura bersama Bulldogs masih belum mengesankan. “Dia terlalu pasif, untuk pemain dengan ukuran tubuh sepertinya, ia harus berani bermain dengan mengandalkan keunggulan fisiknya. Jika menambah hal tersebut dan intensitas permainan, ia akan menjadi pemain yang sangat sulit dijaga dan dihentikan,” ujar Mark Few, Kepala Pelatih Gonzaga, di situs resmi kampus November 2017 lalu.
Setahun berselang, seiring kepergian beberapa pemain senior, Hachimura naik pangkat menjadi pemimpin tim ini. Mendapatkan tugas tersebut, Hachimura benar-benar mengubah gaya bermainnya seperti yang diungkapkan oleh Few setahun lalu.
Ia kini agresif melakukan tusukan ke area bertahan lawan, meminta bola kepada rekan-rekannya dan mencoba melakukan eksekusi. Musim lalu, ia hanya melepaskan 7,6 tembakan per laga. Musim ini, hanya dalam enam laga, ia rata-rata melepaskan 14,3 tembakan per laga.
“Ia kini meminta banyak bola dan kami juga berusaha memenuhi kemauannya. Saat ia mendapatkan bola, ia kini tak lagi ragu berhadapan dengan pemain-pemain terbaik lawan dan berbuah hasil yang cukup baik bagi kami sejauh ini. Ini adalah pertanda yang bagus,” ungkap Few seusai laga melawan Duke kepada Associated Press.
Bahkan, permainan apik Hachimura mendapatkan sanjungan langsung dari Kepala Pelatih Duke, Mike Krzyzewski. “Kehadiran Hachimura memberi Gonzaga satu pemain yang saat ia melakukan tusukan ke area kunci akan menghasilkan dua hal, mencetak angka atau terkena pelanggaran.”
Enam laga memang belum menjamin konsistensi permainan Hachimura. Namun, di usia yang masih 20 tahun plus peningkatan yang ia tunjukkan dalam tiga musim terakhir, rasanya berharap kepada Hachimura bukanlah hal yang salah. Ia akan menjadi aset dan senjata terbaik Gonzaga untuk meraih prestasi. Di sisi lain, tim nasional Jepang juga akan mendapatkan dampak saat ia kembali untuk membela negaranya.
Dengan penampilannya kini, beberapa situs prediksi draft meramal ia akan masuk dalam urutan 10 besar NBA Draft 2019. Jika hal tersebut benar terjadi, Hachimura akan mencetak sejarah sebagai pemain kelahiran Jepang pertama yang terpilih di NBA Draft.
Seiring keberadaan R.J. Barrett, Zion Williamson, dan Cam Reddish di gelaran kejuaran antar kampus tahun ini, persaingan menghadapi NBA Draft 2019 akan semakin seru ditonton. Hachimura sendiri bisa menjadi pemain kejutan yang tiba-tiba terpilih di urutan atas bila tim tersebut membutuhkan forwarda yang kuat di saat menyerang dan bertahan. Penggemar basket, bersiaplah, pertunjukkan Rui Hachimura akan segera dimulai! (DRMK)
Foto: Twitter, @ZagMBB, USA Today