Dio Freedo, begitulah namanya, adalah seorang ruki di Indonesian Basketball League (IBL). NSH Jakarta memilihnya di IBL Draft 2018. Ia pun segera melakoni musim pertamanya di 2018-2019.
Namun begitu, sebelum menjalani musim pertama, Dio sudah lebih dulu merasakan atmosfir professional di IBL Go-Jek Tournament 2018. Sayangnya, ia merasa permainannya saat itu belum cukup baik. Ia ingin meningkatkannya lagi, terutama karena ia juga harus pindah posisi dari garda tembak ke garda utama—posisi asing baginya.
Bagi Dio, untuk bisa menjadi seorang garda utama yang baik, ia perlu berusaha lebih keras dari yang lain. Selama ini, memang itu yang ia lakukan. Untuk menjadi seorang pemain basket, Dio bahkan menempuh waktu enam jam dari rumahnya ke Malang setiap akhir pekan. Kerja keras itu pulalah yang akan ia bawa ke professional.
Simak wawancara Mainbasket bersama Dio:
Boleh diceritakan sebenarnya Dio ini siapa dan dari mana?
Cerita yang mana dulu? Saya bingung, nih, hehe.
Coba ceritakan dari mana asalmu dulu?
Saya berasal dari Trenggalek, tapi saya belajar basket lebih lanjut di Malang.
Awalnya apa yang bikin kamu main basket?
Awalnya, saya lihat kakak saya main basket, jadi saya ingin ikut main basket. Terus ayah saya melihat saya main basket. Saya, kan, ingin dilihat sama ayah saya kalau saya bisa main basket, tapi waktu saya sudah bisa main ternyata beliau sudah tidak ada.
Saya itu sebenarnya ingin menunjukkan kepada beliau kalau saya bisa main basket.
Memangnya apa yang menarik dari basket?
Menurut saya, basket itu lebih keren dari olahraga lain. Basket ini style-nya lebih bagus dari sepak bola, dari olahraga lain.
Apa yang bisa bikin basket keren?
Basket itu skillful. Kita butuh skill banget untuk bisa main basket. Saya merasa, “Wah, keren banget basket ini.”
Kapan kamu mulai serius main basket?
Waktu kelas satu SMA di Trenggalek.
Waktu itu seperti apa kondisi basket Trenggalek?
Di sana tidak ada yang main basket. Di sana tertinggal jauh dari kota-kota lainnya. Main lawan tim-tim lain pasti kalah. Banyak kalahnya.
Terus kamu belajar dari mana?
Dulu dikasih kesempatan sama salah satu klub di Malang. Setiap Sabtu-Minggu saya ke Malang buat latihan basket.
Jumat, setelah pulang sekolah, saya berangkat ke Malang buat latihan. Sabtunya tidak masuk sekolah. Itu demi main basket saja.
Dari Trenggalek ke Malang seberapa jauh?
Dari Trenggalek ke Malang itu—kalau naik bus atau travel—paling enam jam.
Loh, lama juga!
Iya, hehe, lama banget.
Nah, di Malang diurus sama siapa?
Saya dikasih kesempatan sama Pak Bagus. Dia yang punya klub Utama Manggala.
Tidur di mana selama di Malang?
Tidur di kos Kakak. Dulu Kakak masih kuliah di Malang. Saya menumpang di kosnya untuk bisa main basket.
Kamu juga sekarang kuliah di Ma Chung. Itu di Malang, kan?
Iya, Ma Chung itu di Malang.
Seperti apa basket di sana, terutama dalam membentuk karir kamu di basket?
Di sana banyak senior dari SMA yang bagus. Mereka diambil Ma Chung, dikasih semacam beasiswa. Mereka yang sharing ke saya tentang standar main basket dari berbagai daerah. Ada dari Jawa Tengah, Jakarta, Surabaya. Mereka kasih saya masukan tentang basket apa yang bisa saya mainkan. Animo basketnya sendiri lumayan bagus di sini.
Modal apa yang kamu punya, yang bikin kamu mau ke IBL?
Modal yang saya punya itu defense dan fisik. Fisik yang benar-benar bagus untuk saat ini.
Apa yang memutuskan kamu untuk ke IBL Draft?
Waktu SMA saya sering menonton IBL. Waktu itu saya bilang ke mama saya, “Ma, saya suatu saat pasti bermain di sini.” Terus, kebetulan, LIMA punya jalurnya. Lalu, saya minta rekomendasi pelatih untuk memberangkatkan saya ke IBL Draft itu.
Apa kata pelatihmu?
Kata pelatih saya, “Ya sudah, dicoba dulu, siapa tahu rezeki.”
Itu pelatih di kampus atau di klub?
Di kampus.
Tadi kamu bilang ingin main di IBL. Menurutmu IBL ini kompetisi yang seperti apa?
IBL itu kompetisi yang benar-benar ketat. Tim papan atas sama tim papan bawah punya kualitas yang sama, tetapi dengan jam terbang yang beda-beda. Satria Muda, misalnya, punya pemain yang dari kampus sudah bagus. Kalau di papan bawah, mereka biasanya ambil pemain dari kampus-kampus biasa, tetapi dengan modal yang gede. Ke depannya bakal kompetitif.
Kamu sudah merasakan turnamen pramusim bareng NSH selama satu minggu. NSH ini tim yang seperti apa?
NSH itu tim yang ke depannya bisa berkompetisi di papan tengah. Kemungkinan bisa masuk playoff dengan materi yang dikasih Coach Wahyu (Widayat Jati). Paling tidak, dengan itu target kami adalah playoff.
Menurutmu Mas Wahyu itu orangnya seperti apa? Apa yang dia lakukan ketika kamu pertama kali dating ke sana?
Waktu pertama kali datang—waktu didraft itu—Coach Wahyu orangnya welcome, tapi kita tahu dia itu orangnya juga strict banget. Pemain harus mengikuti aturan dia.
Menurut saya, dengan kepelatihannya, dia bisa membawa saya ke level yang lebih tinggi lagi.
Selain Mas Wahyu ada mentor lain yang membantumu bermain basket di IBL?
Banyak. Pemain-pemain senior di NSH, juga pemain muda seperti Kak Pandey (Andre Rorimpandey), memotivasi saya. Mereka benar-benar membantu saya di NSH hingga merasa seperti keluarga.
Kamu main di posisi apa? Point guard?
Sebenarnya saya bukan point guard. Di kampus saya main di posisi dua. Tapi, Coach Wahyu meminta saya untuk jadi point guard. Dengan keterbatasan tinggi, saya mau tidak mau harus belajar jadi point guard.
Sejauh ini belajar dari siapa saja?
Sejauh ini Wendha Wijaya. Soalnya Wendha, kan, ada di NSH. Sebagai kapten, dia juga benar-benar memberikan banyak tips buat jadi point guard yang bagus.
Apa yang kamu pelajari dari dia selama pramusim?
Visi bermainnya, terus ketenangannya di lapangan. Dia pintar membuat situasi di gim.
Itu di dalam lapangan, kalau di luar?
Kebetulan saya satu kamar sama Wendha Wijaya. Dia jadi panutan saya dalam menjaga kondisi. Di kamar, meski baru bangun tidur, dia sudah push-up. Dari segi agama, dia juga taat. Itu yang saya teladani.
Kamu punya rencana apa di IBL? Kamu ingin jadi pemain seperti apa?
Dalam jangka waktu dekat, saya ingin bantu NSH mencapai target yang ditentukan manajemen.
Memangnya kamu yakin bisa bersaing sama teman-teman di NSH?
Saya yakin bisa.
Apa yang bakal kamu lakukan supaya bisa bersaing?
Misalnya, senior latihan tiga jam, berarti saya harus latihan 4-5 jam. Itu harus dilakukan supaya saya bisa bertahan di IBL. Istilahnya saya harus mengejar mereka. Latihan harus lebih keras.
Latihan di NSH seperti apa?
Latihannya menguras tenaga karena kami bermain running-game.
Ada kesulitan sejauh ini?
Saya kesulitan mengikuti materi-materi yang saya belum tahu, seperti detail offense dan defense. Itu banyak yang berbeda dari level kampus. Kalau porsi latihan, sih, tidak masalah, tapi soal materi itu saya kesulitan.
Artinya kamu cuma butuh waktu buat mempelajari itu?
Iya, iya benar.
Apa bedanya materi-materi di NSH dengan kuliahan?
NSH itu punya sistem, mau defense atau offense. Kalau seorang saja tidak bermain sesuai sistem, semuanya hancur. Kalau di level kuliah, mainnya asal—tidak terlalu sistematis.
Kamu menilai permainan selama satu pramusim seperti apa?
Saya merasa benar-benar kurang. Saya kurang tenang. Saya masih mencari waktu yang pas buat pegang bola atau apa. Itu dari segi offense, tapi kalau defense saya tidak punya masalah.
Nilai dari 1-10, berapa nilai penampilanmu?
Menurut saya masih enam.
Apa yang perlu ditambahkan?
Mungkin ball-handling dan visi bermain supaya saya tahu apa yang pelatih inginkan. Saya juga harus latihan menembak. Saya ini pemain kecil, kalau saya tidak bisa menembak, otomatis akan sulit bersaing.
Kamu juga ikut IBL Combine dengan pelatih Australia. Apa yang kamu dapat?
Beliau sangat detail. Mengajari banyak hal, mulai dari melakukan layup dan menyimpan bola ketika layup, fundamental dan sebagainya. Saya juga diajari soal visi bermain dan bagaimana meningkatkan fisik. Defense apa lagi.
Kira-kira persaingan ruki nanti bakal seperti apa?
Ruki di Combine atau nanti di IBL?
Di musim regular nanti.
Itu tergantung timnya. Maksudnya, seberapa banyak tim memberikan minute play. Cuma kalau memang main, persaingannya akan ketat, terutama di posisi guard. Soalnya ruki yang bermain di posisi dalam itu cuma ada beberapa.
Kemarin kamu bisa main karena pemain asing juga belum datang. Kira-kira nanti kamu akan bersikap seperti apa ketika pemain asing ini datang?
Menurut saya, saya harus sebaik mungkin jadi back-up mereka. Ketika pemain asing ditarik, kami sebagai pemain local—terutama saya sebagai ruki—harus bisa jadi back-up mereka walau bagaimanapun. Saya ingin pertandingan berjalan tidak berbeda jauh dengan ada atau tidaknya pemain asing.
Omong-omong, kamu masih kuliah di Ma Chung?
Iya, masih kuliah di sini.
Urusan kuliahnya bagaimana, dong? Kamu, kan, harus latihan di Jakarta.
Rencananya, sih, pindah ke salah satu kampus di Jakarta.
Sudah dibicarakan sama semuanya, termasuk orang tua?
Orang tua membebaskan saya memilih apa yang terbaik. Mereka membebankan tanggung jawabnya kepada saya. Kalau dari tim, sejauh ini karena persiapan ke Solo itu mepet, masih sekadar obrolan bakal dikuliahkan. Belum tahu kuliahnya di mana.
Di Malang lagi apa sekarang?
Saya lagi mengurus soal kuliah yang saya tinggal. Saya ambil transkrip nilai dan lain-lain sekaligus mempertimbangkan untuk tetap di Ma Chung.
Standar kontrak saya tidak panjang. Kita tahu sendiri. Jadi, saya masih mempertimbangkan pendidikan ini bagaimana: apakah cuti satu tahun atau apa? Setelah cuti, kalau memang mendapatkan kontrak panjang, entah saya pindah atau bagaimana, nanti diputuskan. Begitu.
Baik kalau begitu. Cukup sekian pertanyaan kami. Terima kasih sudah mau berbicara panjang lebar.
Iya, terima kasih banyak.
Foto: Dok. Dio Freedo (@diofreedo17) dan Hari Purwanto/IBL