Pamor San Antonio Spurs sebagai salah satu tim terbaik dalam 20 tahun terakhir tak bisa terbantahkan. Lima gelar juara dalam kurun 1999-2014 membuat mereka menjadi tim dengan gelar terbanyak kelima dalam sejarah NBA. Di atas Spurs, masih ada Boston Celtics (17), Los Angeles Lakers (16), Chicago Bulls (6), dan Golden State Warriors (6).
Dalam proses meraih kejayaan tersebut, ada beberapa nama yang selalu hadir. Gregg Popovich sebagai Kepala Pelatih bisa dibilang menjadi arsitek utama yang meramu susunan pemain dan pola permainan terbaik untuk tim ini. Tim Duncan, Manu Ginobili, dan Tony Parker adalah tiga nama yang memerankan bagian penting dalam skenarionya.
Seiring berjalannya waktu, Pops (sapaan Popovich) tak bisa terus bergantung kepada tiga pemain andalannya. Duncan memutuskan pensiun di akhir musim 2015-2016 usai membela Spurs selama 19 tahun. Ginobili melakukan hal serupa 27 Agustus 2018, setelah 16 tahun bersama Spurs. Sementara Parker yang berusia paling muda di antara ketiga pemain ini memutuskan untuk berpindah ke Charlotte Hornets setelah 17 tahun membela Spurs.
Dalam keterangannya usai bergabung dengan Hornets, Parker menyebut bahwa hal pindah ke Hornets harus ia lakukan agar Spurs dapat menjalankan regenerasi dengan baik. Ya, Spurs dan Pops memang tak menyebut langsung bahwa mereka sedang melakukan proses membangun ulang tim (rebuild). Namun, dari gelagat rotasi pemain yang dilakukan sudah mengindikasikan hal tersebut.
(Baca juga:Bedah NBA 2018-2019: Houston Rockets Siap Tebus Kegagalan Musim Lalu)
Sebelum musim 2017-2018, Parker hanya 13 kali tercatat memulai laga dari bangku cadangan. Sisa 1.143 laga ia mainkan selalu menjadi pemain utama (starter). Musim lalu, Parker yang juga sempat terkena cedera hanya bermain 55 kali dengan 21 di antaranya menjadi starter. Di laga-laga lainnya, posisi garda utama (point guard) diisi oleh Dejounte Murray dan Patty Mills. Dari fakta tersebut, Spurs jelas mengindikasikan mengurangi ketergantungan mereka kepada Parker, kepingan terakhir trio Spurs yang tersohor tersebut.
Spurs sempat menaruh harapan tinggi kepada Kawhi Leonard untuk meneruskan tongkat estafet kedigdayaan Spurs. Sayangnya, musim lalu semua harapan tersebut sirna seiring keganjalan yang terjadi antara Leonard dan Spurs. Leonard yang berhasil menjadi MVP Final di gelar juara terakhir Spurs tahun 2014 dikabarkan tidak ingin lagi bermain untuk tim yang identik dengan warna putih, hitam, dan abu-abu ini.
Kabar tersebut terus menyeruak hingga masa pemain bebas (free agency) dimulai. Leonard dikaitkan dengan beberapa tim mulai dari Boston Celtics, Los Angeles Lakers, hingga New York Knicks. Namun, bak petir disiang bolong, Spurs justru melakukan transaksi dengan Toronto Raptors. Leonard dan Danny Green dikirim ke Kanada sementara DeMar DeRozan dan Jakob Poeltl berganti seragam Spurs.
Setelah pertukaran Leonard, Spurs hanya menyisakan Mills sebagai satu-satunya pemain yang turut dalam gelar juara 2014. Memang ada nama Marco Belinelli di tim untuk musim 2018-2019, tapi ia sudah melalang buana ke beberapa tim pada kurun 2014 hingga kini.
(Baca juga:Bedah NBA 2018-2019: Era Baru Chicago Bulls )
Musim lalu, Spurs mencatatkan hasil minor usai mengemas “hanya” 47 kemenangan selama musim reguler. Angka tersebut merupakan yang terkecil sejak 1997-1998, musim kedua Pops melatih Spurs. Sejak musim itu, Spurs minimal meraih 50 kemenangan tiap musim.
Menjelang musim baru dengan segala transaksi yang sudah dilakukan Spurs, peluang Spurs mengembalikan dominasi mereka masih sangat terbuka. Melihat skuat yang ada, saya memprediksi materi starter Spurs akan diisi oleh Murray, DeRozan, Rudy Gay, LaMarcus Aldridge, dan Pau Gasol. Selain Murray, empat nama lainnya sudah sangat berpengalaman di NBA.
Untuk Gasol, saya pribadi cukup ragu ia akan mengisi starter untuk posisi senter. Kendalanya, Gasol yang kini berusia 37 tahun dan akan memainkan musim ke-19 di NBA seharusnya kini lebih berfungsi sebagai mentor untuk pemain-pemain muda Spurs. Jika bukan Gasol, posisi ini kemungkinan diisi oleh Poeltl atau Davis Bertans.
Di sisi lain, ini akan menjadi musim pembuktian untuk Dejounte Murray. Musim depan akan menjadi musim ketiga Murray bersama Spurs dan rasanya sudah waktunya ia memberi ketenangan untuk manajemen dan penggemar Spurs bahwa ia mampu mengemban tugas yang ditinggalkan Parker terutama dalam hal menyerang. Untuk urusan bertahan, Murray sudah sangat teruji terbukti dengan masuk ke skuar All- Defensive Second Team musim lalu.
Pundi-pundi poin Spurs saya yakini akan datang dari DeRozan, Gay, dan Aldridge. Nama yang disebut pertama bisa dibilang sedang dalam usia emas dan akan menjadi tumpuan Spurs musim depan. Berusia 29 tahun dan sudah bermain sembilan musim di NBA, DeRozan sedang dalam rentetan bagus lima musim terakhir.
Selalu mencetak lebih dari 20 poin per gim dengan akurasi selalu di atas 40 persen, DeRozan adalah mesin poin berjalan selama bersama Raptors. Namun, bukan berarti ia tak punya kendala. Dari statistik tracking tembakan DeRozan yang disediakan NBA, ia adalah pemain yang cukup berbahaya di dalam area busur. Musim lalu, ia melepaskan 1.413 tembakan dengan 1.126 di antaranya datang dari dalam area busur setara dengan 79 persen.
Hanya ada 89 tripoin yang berhasil ia masukkan dari 287 percobaan setara dengan 31 persen akurasi. Secara keseluruhan karirnya, DeRozan memang bermasalah dengan akurasi tripoin. Hingga kini, ia baru memasukkan 325 tripoin dari 1.128 percobaan, setara dengan 28 persen. Sebagai perbandingan, garda tembak (shooting guard) Spurs sebelumnya, Danny Green, berhasil memasukkan 116 tripoin musim lalu dengan akurasi 32 persen.
Sebenarnya, selama bersama Raptors pun DeRozan bermain dengan gaya yang sama, isolasi dan tembakan-tembakan jarak menengah dan tak ada masalah, ia tetap top skor tim. Kendala di Spurs adalah kehadiran Aldridge yang memiliki gaya bermain nyaris serupa. Bahkan, beberapa pengamat tak sungkan menyebut turn around jumper yang dilakukan Aldridge adalah gerakan khas Sang Pemain.
Rasanya sulit membuat tim dengan dua pemain yang memiliki gaya bermain isolasi dan jarak menengah yang sama-sama memegang bola dalam waktu lama di tangan mereka. Apalagi untuk Spurs yang selama ini kita kenal sebagai tim dengan pergerakan bola yang dinamis. DeRozan memegang bola selama 2-6 detik di 43,7 persen percobaan tembakannya. Sementara 44,8 persen percobaan tembakan Aldridge terjadi dalam waktu yang sama dengan DeRozan.
Perbedaan terbesar keduanya adalah posisi mereka. Sebagai seorang power forward, Aldridge juga menggunakan banyak sekali gerakan pick n roll atau bisa dibilang tak banyak melakukan lantun bola (dribble) atau bahkan menyentuh bola. Hal tersebut terbukti secara statistik, 44 persen percobaan tembakan Aldridge musim lalu ia lakukan tanpa sekalipun melantun bola. Di sisi lain, 49,5 persen tembakannya terjadi saat ia menguasai bola tidak lebih dari dua detik.
(Baca juga:Bedah NBA 2018-2019: Waktunya Cleveland Cavaliers Bertumpu Kepada Kevin Love)
Pun begitu, kehadiran DeRozan dan Aldridge jelas akan membuat pertahanan lawan kesulitan menentukan prioritas pertahanan. Apalagi rata-rata poin keduanya nyaris identik. Musim lalu, DeRozan mencetak 23,0 poin dan 5,2 asis per laga. Sementara Aldridge 23,1 poin dan 8,5 rebound per gim.
Rudy Gay bisa menjadi alternatif lain bagi Pops bila dua pemain sebelumnya mengalami kebuntuan. Meski terganggu cedera dalam beberapa musim terakhir, Gay bisa dibilang sebagai forwarda paket komplet. Serpanjang karirnya, Gay tak pernah sekalipun mencetak rataan poin di bawah dua digit. Statistik terbaiknya terjadi empat musim lalu saat ia masih membela Sacramento Kings. Dari 68 laga, ia menghasilkan 21,1 poin, 5,9 rebound, dan 3,7 asis per gim.
Selain itu, di antara tiga pemain ini, Gay adalah pemain dengan presentase tripoin terbaik di angka 34 persen. Pola permainan Spurs, kekuatan DeRozan dan Aldridge di jarak menengah dan permainan pos akan membuat Gay lebih banyak bergerak di luar garis tripoin. Ia akan mencari tempat terbaik dibantu tembok (screen) dari Murray dan Gasol sebelum melepaskan tripoin. Jangan kaget bila Anda melihat pola ini cukup sering nantinya.
Catatan lain yang membuat Gay bisa menjadi tumpuan adalah fakta bahwa ia sudah tidak asing dengan DeRozan. Keduanya pernah bermain bersama di Raptors selama 1,5 musim. Hal tersebut membuat keduanya tak perlu adaptasi lebih untuk membiasakan diri bermain bersama. Secara keseluruhan, Spurs tak akan menemui banyak kendala mengandalkan trio baru mereka ini.
Di barisan cadangan, Spurs masih memiliki beberapa nama yang bisa menambahkan dua digit angka bagi tim. Patty Mills, Marco Belineli, Davis Bertans, dan Bryn Forbes adalah empat pemain yang saya yakini mampu melakukan hal tersebut. Musim lalu, keempatnya berhasil membukukan poin dengan digit ganda di beberapa pertandingan. Jika terus diasah dan mempertahankan sistem permainan Spurs, bukan tak mungkin keempat pemain tersebut menjadi senjata rahasia Spurs musim depan.
Selain nama-nama itu, masih ada ruki (rookie) yang mereka pilih di urutan ke-18, Lonnie Walker IV yang bisa menjadi faktor kejut. Alumnus University of Miami yang berposisi sebagai garda tembak ini memiliki fisik dan gaya bermain yang atletis diiringi terobosan serta dunk yang bertenaga. Ia juga memiliki 34 persen akurasi tripoin untuk menambah selongsong senjatanya.
Dengan deretan fakta di atas, saya memprediksi Spurs akan kembali meraih 50 kemenangan dalam satu musim di tengah ketatnya persaingan Wilayah Barat. Posisi terbaik yang mungkin mereka tempati adalah peringkat ketiga, sementara yang terburuk adalah peringkat enam.
(Baca juga:Bedah NBA 2018-2019: Milwaukee Bucks Siap Kejutkan Wilayah Timur)
Sebenarnya, memprediksi Spurs lolos ke playoff bukanlah hal yang sulit mengingat mereka selalu berhasil melakukannya selama 20 musim terakhir. Yang cukup sulit adalah memperkirakan akankah mereka berhasil memenangi 50 laga lagi atau tidak.
Para pendukung Spurs, siap menyambut wajah baru tim kesayangan kalian?
Selanjutnya kami akan menulis ulasan tentang Toronto Raptors.
Foto: NBA