Sebagai bagian dari generasi milenial, saya memiliki kenangan sendiri tentang hari Minggu. Bagi saya, Minggu bukanlah sekadar hari libur. Minggu adalah hari menonton televisi, sebab di luar itu, saya jarang sekali menonton televisi dengan sengaja. Saya lebih senang bermain Playstation, membaca komik, atau mengoleksi mainan lain yang tren pada 2000-an, seperti: mini 4WD (orang Indonesia lazim menyebutnya tamiya), beyblade, dan crushgear.

Satu hal yang bisa membuat saya menonton televisi pada Minggu pagi adalah kartun.

Dari sekian banyak kartun yang tayang hari Minggu, saya menyukai anime Dragon Ball (di samping Doraemon yang tayang di RCTI pada pukul 8 pagi).  

Kini, saya sudah tidak lagi menonton televisi di Minggu pagi. Selain karena tidak punya televisi dan sering bangun siang, di zaman ini, saya bisa dengan mudah menontonnya lewat internet—kapan pun dan di mana pun, selama ada aksesnya.

Ketika zaman berubah, Dragon Ball yang datang dari masa silam itu ternyata tetap sama. Mereka tetap terkenal seperti dulu, terutama di kalangan milenial seperti saya, bahkan di kalangan anak-anak yang lebih muda seperti Gen Z. Saya menyadari itu ketika adidas, merk terkenal asal Jerman, menelurkan karya sepatu kolaborasinya bersama Dragon Ball pada 2018 ini.

adidas bekerja sama dengan Dragon Ball untuk menelurkan tujuh sepatu kolaborasi yang dibuat berdasarkan karakter anime tersebut. Mereka akan merilis sepatu-sepatu itu secara berangsur mulai September ini.

Sesuai rencana, mereka pun menjual adidas ZX 500 RM “Goku” dan adidas Yung 1 “Frieza” lebih dulu di akhir bulan pertama.

Setelah merilis kedua sepatu di atas, adidas akan menjual dua sepatu lainnya sampai akhir tahun: adidas Deerupt “Son Gohan” dan adidas Prophere “Cell” (Oktober), adidas Ultra Tech “Vegeta” dan adidas Kamanda “Majin Buu” (November), dan—yang terakhir—adidas EQT Support Mid ADV Primeknit “Shenron” (Desember).

Dengan adanya kolaborasi ini, saya jadi penasaran dengan Dragon Ball yang seolah tak lekang oleh waktu. Ia telah melewati berbagai era (dari 1990-an sampai 2010-an), tetapi tetap terkenal secara global. Saya pun membaca beberapa artikel tentang itu, dan mendapat beberapa hal menarik yang membuatnya begitu.

Simak hal-hal menarik tentang Dragon Ball berikut:  

Cerita

Seperti halnya Marvel dan DC di Negeri Barat, Dragon Ball yang merupakan Shonen Manga juga memiliki semangat yang sama. Cerita-cerita mereka pada dasarnya ditujukan untuk anak-anak muda. Akan tetapi, pada perkembangannya, cerita-cerita itu juga bisa cocok ke segala umur.

Cerita Shonen seringkali melibatkan pertarungan tradisional antara yang baik versus yang jahat. Semacam pahlawan melawan penjahat. Gregory Babcock, staf penulis Complex sekaligus penggemar berat Dragon Ball, menyebutnya sebagai monster-of-the week children’s program.     

“Orang jahat masuk kota. Orang baik melawan orang jahat. Orang jahat melawan balik. Orang baik membalasnya dan menang. Begitu, lalu ulangi,” jelas Babcock dalam wawancaranya bersama Justin Charity, penulis Complex lainnya.

Berbeda dengan Babcock, ketika berbicara soal cerita, saya tidak bisa menerjemahkan dengan sederhana. Dragon Ball bisa menjadi besar bukan karena persoalan sederhana, tetapi juga melibatkan sesuatu yang kompleks seperti idealisme.

Cerita Dragon Ball terinspirasi dari novel lawas Journey to the West. Karakter Son Goku, misalnya, diambil dari nama tokoh utama novel tersebut, Son Wukong. Sebagaimana Son Wukong, Goku merupakan seorang idealis berbakat yang menguasai ilmu bela diri. Ia terobsesi untuk menjadi kuat dengan berlatih, berlatih, dan berlatih. Menurut Dao of Dragon Ball, Goku bahkan berlatih bukan untuk mengalahkan orang lain, tetapi mengalahkan dirinya sendiri.

Meski pun ada idealisme tentang menjadi lebih baik, Dragon Ball seolah hadir sebagai parodi film-film bela diri (dalam hal ini kung fu). Mereka muncul ke hadapan pembaca dan pemirsanya sebagai sesuatu yang lucu, bernuansa ringan, bukan keras seperti film-film bela diri.

Soal latar cerita, Dragon Ball juga menjadi paradoks tersendiri. Toriyama memasukkan berbagai unsur yang saling bertentangan seperti gabungan kultur Cina, fantasi, sci-fi, alien, bahkan dinosaurus. Akibatnya, Dragon Ball tidak terjebak dalam suatu waktu tertentu (timeless). Penikmatnya pun tidak perlu berhadapan dengan resiko kebingungan soal latar waktu.    

Karakter

Dalam sebuah cerita—entah itu berbentuk komik, novel, film, dan lainnya—keberadaan karakter sangatlah penting dalam menjalankan cerita itu sendiri. Kita, misalnya, disuguhkan dengan kepintaran Lintang dalam Laskar Pelangi yang membuat cerita anak-anak dari Belitong itu menarik. Kita juga disuguhkan dengan akting Leonardo DiCaprio dalam Revenant yang membuatnya meraih Oscar untuk pertama kali. Maka, persoalan karakter dalam sebuah cerita sangatlah penting—bahkan bisa lebih penting dari cerita itu sendiri.

Dalam Dragon Ball pun begitu. Goku tidak akan diingat sebagai tokoh utama jika ia tidak memiliki karakter yang menarik. Untungnya, Goku cukup menarik sehingga adidas membuat sepatu berdasarkan dirinya. Merk terkenal asal Jerman itu mendesain sepatu adidas ZX 500 RM sesuai warna khas Goku.

Selain Goku, Toriyama juga berhasil membangun karakter dengan sifat masing-masing. Vegeta, misalnya, menjadi semacam anti-hero menarik yang terobsesi untuk menjadi lebih kuat dari siapa pun, terutama Goku.

Di kalangan penggemar, hal ini bahkan menjadi perdebatan: siapa yang lebih kuat antara Goku dan Vegeta?

(Tokoh lain dengan karakter menarik: Master Roshi, Picolo, Krilin, Bulma Briefs, Majin Buu)   

Selain penokohan, pemberian nama tokoh juga menarik, sebenarnya. Toriyama memberi nama-nama tokoh dalam Dragon Ball dengan nama yang mudah diingat. Ia seringkali menamai mereka dengan hanya memainkan kata-kata. Seperti saya bilang, Son Goku diambil dari Son Wukong, tokoh utama Journey to the West. Vegeta terdengar seperti “vegetables” (sayuran). Raditz berarti “radish” (lobak) dan Kakarot berarti “carrot” (wortel), lalu Bulma dalam bahasa Jepang berarti “bloomers”.

(Jurus “kamehameha” juga sama menariknya. Para penggemar Dragon Ball sering meneriakan ini ketika memperagakan jurus andalan Goku yang dipelajari dari Master Roshi)

Berkelanjutan

Setelah menyelesaikan seri orisinal Dragon Ball (tayang 1986-1989), Toriyama melanjutkan ceritanya dengan membuat Dragon Ball Z (tayang 1989-1996). Ia menghadirkan cerita baru dengan latar yang lebih luas dari sekadar pertarungan di Budokai Tournament. Akibatnya, muncul tokoh-tokoh baru yang kemudian menjadikan Dragon Ball lebih berwarna.

Toriyama bahkan membuat Goku dari ia kecil sampai menikah dan punya anak, lalu menjadi kecil lagi dalam Dragon Ball GT (tayang 1996-1997).

Setelah 18 tahun tanpa kelanjutan, Toriyama akhirnya membuat serial Dragon Ball Super sehingga pemirsanya dari generasi baru bisa ikut mengenal dan menikmati Dragon Ball.

Sumber Inspirasi

Osamu Tezuka boleh saja disebut sebagai pendiri konsep manga (komik Jepang) yang menginspirasi banyak seniman dan penulis di ranah kultur pop. Namun, Akira Toriyama, pengarang Dragon Ball yang memulai ceritanya dari komik (lalu anime) pada 1980-an, tetaplah inspirator besar yang semakin menegaskan posisi manga di dunia ini. Ia bahkan disebut-sebut sebagai bapak dari Shonen Manga.

Toriyama sebenarnya tidak mengira Dragon Ball akan bertahan lama. Ia juga tidak mengira karyanya bisa meraup popularitas sebesar sekarang. Hingga saat ini koleksi Dragon Ball telah terjual lebih dari 159 juta kopi di Jepang dan 350 juta di seluruh dunia, membuatnya menempati urutan kedua sebagai manga dengan penjualan terbaik.

Itulah yang kemudian menginspirasi seniman lain untuk melakukan hal serupa. Manga seperti Black Cat, Fairy Tail, Rave Master, Bleach, Naruto, bahkan One Piece—yang menempati peringkat satu penjualan manga terbaik—tidak lepas dari pengaruh Dragon Ball.

Selain komik, seperti dibahas di awal artikel ini, Dragon Ball juga menginspirasi kultur sepatu (sneaker). adidas berani berkolaborasi dengan Dragon Ball bukan hanya karena desainnya menarik, tetapi juga karena nama besarnya. Bagaimanapun, para kolektor, terutama yang menggemari Dragon Ball, akan tertarik untuk membeli produk ini. Mereka akan rela merogoh kocek hanya demi mendapatkan sepatu edisi khusus Dragon Ball. Apalagi adidas kabarnya menjual koleksi tersebut dalam jumlah terbatas.

Betapa ekslusifnya sepatu-sepatu itu sampai saya bisa membayangkan De’Aaron Fox, garda Sacramento Kings yang juga penggemar Dragon Ball (Fox pernah menembak bola sambil berteriak “kamehameha”), ikut membeli koleksinya.

Foto: Dragon Ball Z dan Sneaker News

Komentar