Tim nasional 3X3 putri Indonesia dibebani target medali perunggu sebelum berlaga di Asian Games 2018. Namun, pasukan yang dilatih Wahyu Widayat Jati tersebut gagal memenuhi target usai kalah dari Jepang di babak delapan besar. Indonesia melaju ke babak tersebut usai menang dua kali dari tiga laga yang dilakoni di babak grup.
Sebelum memulai perjalanannya di Asian Games, tim putri harus menerima kenyataan pahit kehilangan salah satu pemain andalan mereka, Jovita Elizabeth Simon. Padahal, pemain yang akrab disapa Jojo ini diprediksi banyak pihak akan mengisi skuat utama tim putri. Sayangnya, saat mengikuti latih tanding di Belanda, Jojo terkena cedera yang memupus harapannya membela Indonesia.
Setelah melakukan pemeriksaan di Filipina, Jojo divonis mengalami cedera Anterior Cruciate Ligament (ACL) dan harus menjalani operasi secepat mungkin. Cedera ACL biasa memakan waktu penyembuhan 8-12 bulan pascaoperasi. Beberapa pemain putri Indonesia yang pernah menderita cedera ini adalah Helena Tumbelaka dan Rohtriastari.
Dua bulan usai menjalani operasinya, Mainbasket berbincang dengan Jojo mengenai proses pemulihannya. Lewat sambungan telepon di sela-sela kuliahnya, Jojo menjawab pertanyaan kami dengan nada riang. Simak wawancara kami:
Halo Jo! Apa kabar?
Baik baik, baru selesai kelas nih.
Mundur sedikit, bisa tolong ceritakan proses cedera yang kamu derita?
Ceritanya itu, saya kan sparring dengan tim nasional Belanda. Mereka turun dengan 12 pemain sementara kita cuma bawa tiga pemain. Dari 12 pemain tersebut, mereka dibagi ke tiga tim dan kita sparring lawan mereka satu per satu. Sebelum saya cedera ACL, saya sudah cedera engkel di kaki kiri. Di sisa pertandingan yang ada, saya banyak menggunakan kaki kanan saya dan akhirnya kena cedera itu pas melakukan gerakan drive.
Waktu cedera engkel itu, kenapa kok diteruskan bermain?
Ya bingung juga saya jelasinnya. Kita cuma bawa tiga pemain, yaudah saya paksakan bermain saja. Tim pelatih juga tidak ada instruksi lanjutan. Kala itu saya kasih painkiller dan beberapa obat-obatan lainnya dan memang masih bisa bermain sih. Tapi karena terlalu bertumpu dengan kaki kanan, hasilnya jadi seperti itu.
Lalu, kenapa operasi di Manila, Filipina?
Jadi, setelah cedera, saya sudah tidak bermain lagi. Tapi, tidak bisa melakukan MRI (Magnetic Resonance Imaging) karena lutut saya masih bengkak. Terus, lutut saya waktu itu juga masih sakit, jadi dokter di Belanda juga tidak berani melakukan tindakan. Setelah konsultasi sama keluarga juga akhirnya sepakat dibawa ke Filipina karena di sana memang terkenal bagus penanganannya kalau ada cedera. Waktu ke Filipina kami semua berharap bukan ACL dan masih berpeluang main di Asian Games. Setelah melakukan beberapa pemeriksaan dan terapi untuk mengurangi bengkak, akhirnya di MRI dan dipastikan terkena ACL.
Waktu mendengar vonis tersebut, apa yang terlintas di pikiran kamu?
Sebenarnya cukup drop juga waktu dengar vonis tersebut. Tapi, kami sempat berpikir juga untuk memaksakan main, toh sebenarnya saat kita kena ACL kita masih bisa jalan dan melakukan beberapa gerakan. Niatnya, kami menunda operasi hingga Asian Games selesai. Setelah dokter tahu saya main 3X3, semua niatan itu langsung dicegah dokter dan langsung operasi. Dokter paham kalau 3X3 intensitasnya lebih tinggi dari 5X5.
Pertanyaan selanjutnya, biaya operasi dan penanganan di Filipina, siapa yang menanggung?
Oh, sejauh ini ditanggung sendiri mas.
Tidak ada penanganan dari tim nasional 3X3?
Sempat waktu itu dari pihak tim nasional bilang ke saya kalau atlet ini tidak memiliki asuransi. Secara logika, kami atlet yang disiapkan untuk Asian Games, kok ya tidak ada asuransi. Setelah ngobrol dengan keluarga, manajer 3X3 bilang kalau beliau pribadi mau membantu, tapi sampai sekarang belum ada kelanjutannya. Mungkin beliau masih sibuk mengurusi hal-hal lain saat Asian Games dan beberapa turnamen lain setelahnya. Ya, untung keluarga saya sudah berpikir panjang dan anak-anaknya diberikan asuransi sendiri.
Sekarang proses pemulihan sudah sampai mana Jo?
Kata dokter sih lebih lama lebih baik, kemungkinan sih sembilan bulan, kisaran bulan Maret. Biasanya di bulan keempat atau kelima pascaoperasi kaki sudah bisa dipakai banyak kegiatan, tapi saran dokter begitu ya saya harus tahan.
Terapi apa saja yang dilakukan dalam proses penyembuhan?
Sekarang sudah mulai bisa bersepeda dan harusnya minggu ini sudah bisa nge-gym. Tapi fokusnya masih di upper body saja, untuk lower body belum bisa diberikan latihan intense.
Kalau dari Surabaya Fever ada tanggapan mengenai cedera ini?
Ya, saya masih punya kontrak satu tahun lagi dengan Fever. Sejauh ini Fever memahami kondisi saya sambil berharap saya bisa kembali bermain di kisaran bulan April.
Sejauh ini, secara mental, bagaimana Jojo menjalani seluruh rangkaian proses ini?
Waktu awal dan sekarang sudah cukup berbeda. Waktu awal kena, saya berpikir aneh-aneh seperti saya akan absen main basket dalam waktu yang lama dan paling sedih adalah gagal main di Asian Games. Apalagi waktu itu target tim Asian Games adalah perunggu, jadi cukup sedih. Setelahnya saya tanya-tanya banyak orang, browsing cerita-cerita orang yang pernah cedera serupa, saya jadi mulai bisa menerima cobaan ini, mulai berpikir positif. Mengambil contoh dari pemain-pemain yang pernah kena cedera ini dan tampil lebih baik setelah pemulihan, contohnya Kak Ida (Raisa Aribatul Hamidah) yang setelah menjalani proses penguatan dan tambah bagus mainnya. Di sisi lain ini adalah bagian dari rencana Tuhan agar saya segera menyelesaikan kuliah. Setelah tujuh semester kuliah, ini kali pertama saya mengikuti proses perkuliahan secara penuh, banyak bersyukur saja.
Terakhir Jo, setelah semua proses ini, apa target kamu waktu kembali bermain nanti?
Ya, saya ingin membela Indonesia di SEA Games 2019 dan Jawa Timur di PON 2020. Untuk urusan bermain di 5X5 atau 3X3 saya tidak masalah, saya hanya ingin berkontribusi untuk negara ini, Indonesia.
Foto: Hariyanto, Instagram, @jovitaesimon