SMAN 8 Malang baru saja merebut gelar juara Honda DBL East Java Series 2018 dari SMAN 1 Kedungwaru Tulungagung. Faizzatus Shoimah, pemain andalan SMAN 8 Malang, pun kembali menjadi juara dua tahun beruntun. Ia senang bukan kepalang.
Di pertandingan ini, Ais—sapaan akrabnya—mengaku telah berkembang pesat dari tahun lalu. Pengalamannya bertandang ke Amerika Serikat bersama Honda DBL All-Star 2017 terbukti bermanfaat. Belum lagi, Ais juga sempat mengikuti pemusatan latihan dengan tim nasional putri Indonesia untuk menghadapi Asian Games 2018. Sayangnya, ia tidak berhasil menembus skuat utama. Namun, ia tetap saja merasa telah mengambil banyak pelajaran sehingga dirinya yang sekarang bukanlah Ais yang dulu.
Ais merasa sudah jauh lebih berkembang sehingga bisa meraih gelar pemain terbaik alias MVP (most valuable player) tahun ini.
Mainbasket lantas menghampirinya seusai pertandingan di ruang ganti DBL Arena, Surabaya, Jawa Timur, Jumat 24 Agustus 2018. Kami mewawancarainya sampai dua kali. Pertama tentu saja tentang pertandingan yang baru ia lewati. Kedua, kami membicarakan tentang Asian Games 2018. Jadi, wawancara ini pun kami gabung menjadi satu obrolan utuh.
Simak wawancara berikut:
Apa pendapatnya soal pertandingan final ini?
Kami latihan keras dari awal karena tim yang kemarin itu lebih diunggulkan. Jadi, sekolah juga tidak mengira bakal sampai babak championship. Bakal sampai ke Surabaya saja tidak menyangka gitu. Ternyata bisa bahkan champion.
Berkat kerja kerasnya anak-anak.
Keunggulan tim Smariduta apa?
Smariduta lumayan cepat pemainnya, tapi alhamdulilah masih bisa diatasi sama pemain-pemain kecil kami. Jadi, mereka kesusahan poin. Sebenarnya mereka mainnya fastbreak, tapi begitu kena stop ball dari anak-anak, sudah tidak bisa.
Kalau keunggulan timmu apa?
Pertama menang postur, terus defense-nya kami rajin, jadi kalau ada yang terlewati bantu, bantu, bantu. Jadi, bantu satu sama lain.
Tahun lalu juara juga, kan?
Iya, tahun lalu juga champion, jadi tahun ini back-to-back.
Bedanya tahun lalun sama ini apa?
Bedanya, tahun lalu lawannya Sinlui (SMA St. Louis I Surabaya). Ini kandang mereka. Awal-awal itu kami takut, deg-degan, soalnya musuhnya di kandang.
Kamu nonton Asian Games?
Nonton.
Menurutmu seperti apa kiprah timnas putri?
Timnas putri sudah memberikan yang terbaik sama pelatih pelatihnya Koh Lie Fan (Arif Gunarto).
Jadi bagaimana, ya, basket Indonesia perkembangannya segitu. Soalnya latihannya juga gitu, ketika baru ada event baru dipanggil. Padahal kalau di luar negeri itu timnasnya sudah punya per-KU (kelompok umur). Di Indonesia begitu ada event baru dipanggil seleksi. Kan tidak bisa instan.
Waktu itu kamu juga dipanggil pelatnas, apa perasaanmu?
Deg-degan. Senang. Takut. Soalnya ketemu senior-senior yang selisih umurnya bisa 10 tahun. Pengalaman mereka juga sudah banyak. Jadi, pesan dari Ayah sama Ibu, “Ya, sudah, kamu datang ke sana cari ilmu sebanyak-banyaknya. Tidak usah ngegolin apa-apa. Tidak usah set goal apa-apa. Set goal-nya cuma cari ilmu yang banyak.
Ada role model tidak, sih? Siapa?
Ada, Natasha Debby.
Kenapa Debby?
Karena dia shooting-nya bagus banget. Waktu seleksi itu saya yang tadinya bigman ditaruh di shooter. Jadi, saya berhadap-hadapan sama dia. Dia tuh kalau dapat bola langsung shooting. Finishing-nya itu cepat banget.
Apa yang kamu pelajari dari dia?
Release bola, steal bola, bagaimana cara set ball. Dia juga pintar cari foul. Kalau dia cari foul itu ada saja caranya.
Waktu itu kamu terhenti di berapa besar?
Waktu itu 15 besar, eh, tahap dua itu 18 besar.
Apa saja yang kamu pelajari selain yang tadi?
Fisik. Latihannya pagi-sore. Kalau tidak jaga kondisi, kami yang bakal merasakan sendiri. Kalau kami sakit, kan, jadi tidak bisa ikut seleksi. Jadi, harus pintar jaga kondisi biar fresh atau apa gitu.
Ilmunya yang paling banyak, sih, di gim. Mereka juga pengalamannya banyak banget. Ambil ilmu saja sebanyak-banyaknya.
Di timnas sekarang ada Laide (Adelaide Callista Wonsohardjo) yang seumuran sama kamu. Apa pendapatmu soal dia?
Laide tuh pintar, ya. Terus dia posisinya point guard. Rata-rata point guard Indonesia itu pendek, dia tinggi dan muda. Ya, sudah, kalau Laide ikut seleksi itu satu kesempatan banget. Soalnya dia memang dari kecil—kalau tidak salah dia main basket kelas tiga SD sudah diajari jadi point guard—kalau saya, kan, mulai basket SMP.
Saya sama Laide itu beda. Kalau Laide itu point guard murni. Hartanya Indonesia banget.
Kamu merasa berkembang pesat tidak, sih, setelah mengikuti pelatnas?
Banget, banget.
Itu saya menerapkan semuanya. Waktu itu, kan, saya juga pulang All-star (Honda DBL All-Star 2017), terus ke rumah sebentar langsung (pelatnas) Asian Games. Dapat ilmu dari Amerika, dapat ilmu dari Asian Games, dipadukan semuanya. Jadinya saya yang tadinya tidak bisa main luar, tidak bisa shooting, bisa cepat berkembang. Jadi shooter juga bisa.
Itu sudah diterapkan di pertandingan final ini?
Sudah.
Kamu mau jadi pemain pro?
Iya, mau.
Mau main di tim apa?
Masih belum tahu. Ya, tawarannya sudah ada tapi sama Ayah masih diminta tunggu dulu karena masih sekolah. Takutnya kenapa-kenapa kalau diambil.
Apa yang bikin kamu ingin main di pro?
Ingin mendapat pengalaman lagi di sana. Terus juga ingin mengembangkan karir di basket. Tapi, tetap pelajaran nomor satu. Biar main basket juga bisa tetap sekolah.
Indonesia jadi tuan rumah Piala Dunia 2023. Indonesia entah akan ke sana atau tidak, tapi kamu mempersiapkan diri tidak buat ke timnas lagi, terutama dengan adanya kesempatan itu?
Iya, pokoknya latihannya dinaikkan lagi. Jaga fisik, latih fisik biar siap untuk dipanggil timnas lagi.
Oke, cukup segitu. Terima kasih, ya!
Sama-sama.
Foto: Alexander Anggriawan