Rabu siang, 18 Juli 2018, saya sedang mengerjakan artikel tentang Roy Hibbert. Di samping laptop saya, tergeletak telepon seluler (ponsel) berwarna secara keseluruhan hitam, milik saya. Saat sedang membaca statistik karir Hibbert, ponsel tersebut berbunyi. Bunyi tersebut adalah bunyi yang saya atur saat pemberitahuan tentang unggahan terbaru dari beberapa akun muncul. Setelah tengok, pemberitahuan tersebut berasal dari aplikasi Bleacher Report yang berbunyi, ”Spurs & Raptors are finalized trade between Leonard & DeRozan”.

Reaksi spontan saya adalah berhenti mencari statistik tentang Hibbert. Saya ambil ponsel tersebut dan langsung membuka aplikasi lainnya, Twitter. Di sana, saya mengikuti beberapa akun jurnalis basket Amerika Serikat seperti Adrian Wojnarowski dan Sham Charania. Keduanya serempak menuliskan cuitan yang sama dengan pemberitahuan Bleacher Report. Saat itu, saya sangat yakin pertukaran ini benar-benar terjadi. Sayangnya, belum ada info lengkap siapa saja yang masuk dalam paket pertukaran ini. Siapa yang memberi lebih banyak dalam transaksi ini.

Beberapa jam setelahnya, ketiga sumber tersebut akhirnya merilis siapa-siapa saja yang dilepas oleh kedua tim. Spurs melepas Kawhi Leonard dan Danny Green sementara Raptors membalas dengan DeMar DeRozan, Jakob Poeltl, hak memilih pada NBA Draft 2019, dan uang tunai sebesar AS$5 juta. Pertukaran yang melibatkan dua bintang akan selalu menimbulkan pertanyaan, siapa yang lebih beruntung dalam pertukaran tersebut?

Jika mengukur peruntungan kedua tim dari penampilan empat pemain tersebut musim lalu, Spurs jelas lebih beruntung mendapatkan DeRozan dan Poeltl. DeRozan selalu terpilih menjadi All Star di tiga musim terakhir, mengantarkan Raptors minimal ke seimfinal Wilayah Timur. Pada musim 2015-2016, DeRozan bahkan berhasil membantu Raptors menyentuh final wilayah pertama sejak tim ini berdiri 1995. Musim 2017-2018, pemain berusia 28 tahun ini menorehkan rataan 23,0 poin, 3,9 rebound, dan 5,2 asis per laga. Jumlah poin tersebut merupakan yang tertinggi ketiga sepanjang sembilan tahun karirnya. Sementara untuk jumlah asis, angka tersebut menjadi kali pertama DeRozan menyentuh rataan lima asis atau lebih per laga.

Catatan Poeltl tak sementereng seniornya. Masuk ke NBA di musim 2016-2017, pemain berusia 22 tahun ini lebih sering memulai laga dari bangku cadangan. Dari 136 laga yang ia mainkan, hanya empat kali ia menjadi pemain utama (starter). Keberadaan Jonas Valanciunas membuatnya jarang mendepatkan kesempatan memulai laga sejak awal. Di musim pertama, Poeltl bahkan sempat dikirim untuk bermain di NBA D-League (sekarang GLeague) bersama Raptors 905. Musim 2017-2018, Pemain berkebangsaan Austria ini bermain penuh di 82 laga Raptors tanpa sekalipun menjadi starter. Akan tetapi, menit yang ia dapat meningkat dari musim sebelumnya. Musim lalu, rata-rata ia bermain selama 18,6 menit sementara musim sebelumnya hanya 11,6 menit per laga. Peningkatan tersebut ia ganjar dengan raihan 6,9 poin dan 4,8 rebound per laga. Satu lagi catatan positif Poeltl ia dapat saat masih bermain di level kuliahan. Membela panji University of Utah dengan rataan 17,2 poin dan 9,1 rebound per laga, ia diganjar penghargaan Kareem Abdul-Jabbar Award. Penghargaan tersebut khusus diberikan bagi senter terbaik yang bermain di National Collegiate Athletic Association (NCAA).

Meski pertukaran melibatkan dua pemain aktif dari masing-masing tim, membandingkan penampilan dua kubu sungguh tidak adil bagi saya. Hal tersebut berdasar catatan Leonard yang hanya bermain sebanyak sembilan kali musim lalu. Ia terkena cedera pada betis kanannya saat jeda pergantian musim. Cedera tersebut mengharuskannya menepi di 27 laga perdana Spurs. Setelahnya ia timbul-tenggelam bermain dan tak bermain akibat cedera yang belum sembuh total. Dari sembilan laga itu, Leonard menorehkan rataan 16,2 poin, 4,7 rebound, dan 2,0 steal per laga.

Pertengahan Januari 2018, Leonard memutuskan naik meja operasi demi menyembuhkan total cedera betis tersebut. Operasi berhasil dan pemain berumur 27 tahun tersebut diprediksi siap tampil di playoff. Sayangnya, skenario tak berjalan mulus. Pada akhir bulan Maret 2018, Spurs dan Leonard sempat mengadakan pertemuan untuk membicarakan masa depan sang pemain. Kontrak Leonard hanya tersisa satu musim dan Spurs tentu ingin memberinya kontrak baru. Akan tetapi, hasil pertemuan tak selaras dengan harapan Spurs. Bahkan, beberapa sumber menyebut pertemuan tersebut berlangsung dengan tensi tinggi dan penuh emosi. Leonard tak ingin kontrak baru, ia ingin keluar dari Spurs saat kontraknya habis. Beberapa sumber tak ragu menyebut Leonard ingin segera keluar dari Spurs sesegera mungkin.

Meski sempat menjadi MVP Final saat terakhir kali Spurs juara pada musim 2013-2014, apa yang ditunjukkan Leonard musim lalu membalikkan semua pandangan. Leonard yang awalnya digadang-gadang sebagai penerus legenda Spurs seperti Tim Duncan, Tony Parker, dan Manu Ginobili berubah menjadi sosok tak terkendali. Berbagai macam laporan di media yang menyebutkan ia tak lagi mau bermain untuk Spurs, hingga bersembunyi di New York bersama rekan-rekannya menghapus semua citra baik dirinya. Menurut saya pribadi, dengan segala sifat tidak profesional Leonard, harusnya ia tak lagi berada di NBA atau bahkan tim profesional mana pun.

Pasangan pindah Leonard, Danny Green, saya deskripsikan sebagai  salah satu pemain tidak konsisten di liga. Contohnya musim lalu, dalam laga melawan Clippers yang digelar 7 November 2017, ia berhasil mencetak 24 poin. Tiga hari berselang dalam laga melawan Bucks, ia hanya membukukan lima poin. Dari 70 laga yang ia mainkan, hanya 27 kali ia mampu mencetak dua digit angka. Akan banyak yang menyangkal pernyataan tidak konsisten ini dengan menyebut Green adalah pemain yang difokuskan untuk bertahan. Pemain berusia 31 tahun ini memang pernah sekali masuk dalam NBA All-Defensive Second Team pada 2017. Lalu bagaimana dengan sisa penampilan lainnya?

Penjelasan di atas bermuara kepada pertanyaan di judul artikel ini. Siapa yang diuntungkan atas pertukaran ini?  Bagi saya, keuntungan besar berada di pihak Spurs. Kontrak panjang DeRozan menjadi keuntungan pertama Spurs. Pada awal musim 2016-2017, ia menerima kontrak baru dari Raptors dengan durasi lima tahun bernilai AS$139 juta. Baru melewati satu musim, Spurs dapat terus menggunakan DeRozan hingga empat musim ke depan.  Poeltl masih dalam kontrak skala rookie hingga tiga musim mendatang. Di pihak sebaliknya, sisa kontrak Leonard dan Green hanya satu musim ke depan. Keduanya akan menjadi restricted free agent setelah musim 2018-2019 berakhir. Bukan sebuah investasi menarik yang dilakukan oleh manajemen Raptors.

Memiliki DeRozan membuat Spurs memiliki tambahan amunisi. Sejak Leonard masuk ke NBA pada musim 2011-2012, tak sekalipun ia pernah unggul dalam urusan mencetak angka dari DeRozan. Rataan tertinggi Leonard dalam asis adalah 3,5 asis di musim 2016-2017. Sementara DeRozan sejak musim 2013-2014 tak pernah lebih rendah dari 3,6 asis per laga. Ya, seiring berjalannya waktu, DeRozan mampu berkembang dari sekadar pencetak angka menjadi seorang fasilitator bagi rekan setimnya.  Salah satu keunggulan Leonard dari DeRozan adalah urusan akurasi. Nyaris di semua bagian lapangan akurasi Leonard selalu unggul atas DeRozan.

Fungsi Poeltl dan Green tak akan sebesar Leonard dan DeRozan dalam tim. Keduanya hanya akan menjadi role player dengan rataan menit bermain tak lebih dari 25 menit per laga. Usia Poeltl yang masih sangat belia membuat banyak yang dapat kita nanti dari perkembangannya di musim-musim mendatang. Apalagi mendapatkan arahan langsung dari pelatih legendaris Gregg Popovich yang terkenal dengan segala “sentuhannya”. Green bila tak kunjung konsisten, karirnya tak akan lebih panjang dari dua musim lagi.

Ini adalah transaksi yang sangat menguntungkan bagi Spurs. Sebenarnya, Spurs juga sudah membuktikan bahwa mereka tak perlu pemain “bintang” untuk meraih prestasi. Sejauh ini, Popovich dan organisasi Spurs lah yang tak henti-henti menemukan bintang-bintang baru. Sementara bagi Raptors, melepas DeRozan setelah melepas Dwane Casey, peraih gelar Coach of The Year, semakin  menunjukkan ketidakjelasan arah organisasi ini sekarang. Meski menajer umum Raptors, Masai Ujiri, pernah memenangkan gelar NBA Executive of The Year pada tahun 2013, apa yang ia lakukan di jeda musim ini benar-benar tak menunjukkan hal tersebut. Belum lagi kabar yang menyebutkan bahwa DeRozan dikhianati oleh Ujiri yang pernah berkata tak akan menukarnya dan justru melakukan hal sebaliknya.

Menarik menunggu debut keempat pemain ini dengan tim baru mereka musim depan. Hal tersebut pun belum tentu akan terjadi seiring dengan isu yang menyebut Leonard tak tertarik bermain untuk Raptors. Di sisi lain, pertukaran ini juga mengingatkan kita atas banyak sekali hal serupa di NBA dan olahraga profesional. Tidak ada loyalitas dalam bidang ini, semua murni kebutuhan bisnis.

Foto: Youtube, Twitter, NBA

 

Komentar