Euforia Piala Dunia 2018 di Rusia telah sampai ke seantero jagat. Berbagai orang dari berbagai kalangan pun ikut merayakannya. Entah dengan terbang langsung ke Rusia atau sekadar menonton lewat layar kaca. Bahkan tidak sedikit orang Asia yang rela begadang untuk menyaksikan tim kesayangannya bermain karena pertandingan disiarkan dini hari.
Setelah melalui berbagai pertandingan ke pertandingan, hajat sepak bola terbesar itu pun akan tiba ke babak akhir. Final Piala Dunia antara Prancis dan Kroasia akan digelar nanti malam, Minggu 15 Juli 2018. Berbagai nonton bareng (nobar) segera digelar di cafe-cafe atau warung kopi—di mana pun, yang penting bisa menggelar nobar.
Saya juga merasakannya.
Saya merasakan euforia sepak bola sampai ke ujung kaki. Saya selalu gatal ketika striker Jerman—timnas favorit saya—tidak layak untuk tampil di Piala Dunia. Hati saya senang ketika Kieran Trippier, bek sayap Inggris, mencetak gol dari tendangan bebas; membuat saya ingin menyanyikan lagu Ed Sheeran berjudul Happier yang dipelesetkan jadi Trippier:
‘Cause baby you look Trippier, you do
My friends told me one day I’ll feel it too
Kadang-kadang, saking ingin merasakan euforianya lebih dalam, saya membuat simulasi; berandai-andai jika ini-itu yang terjadi. Misalnya, andai Jerman masih memiliki Miroslav Klose yang fit, apa yang akan terjadi pada tim asuhan Joachim Low? Mungkin Timo Werner yang tidak jelas juntrungannya itu tidak akan masuk skuat Piala Dunia.
Suatu ketika, dengan cara yang sama—berandai-andai—saya membayangkan para pemain NBA juga bisa bermain sepak bola. Imajinasi saya lantas membawa pikiran ini melanglang buana; mencari siapa pemain yang tepat untuk mengisi sebelas utama.
Kesebelasan NBA
Saya adalah penggemar Manchester City, dan kedatangan Pep Guoardiola nyatanya telah mengubah tim ini menjadi sesuatu yang lebih hebat lagi. Guardiola telah membuat timnya berevolusi dengan taktik—yang disebut Dex Glenniza sebagai—sepak bola kontrol penuh.
Untuk memainkan sepakbola kontrol penuh, Guardiola membutuhkan dominasi penguasaan bola demi memancing perubahan bentuk permainan lawan sekaligus menciptakan ruang.
“Di sini lah bek sayap menjadi penting, karena saat memainkan skema tiga bek (3-5-2) atau empat bek (4-3-3), full-back City dituntut untuk naik dan turun pada skema tiga bek, serta bergerak aktif di area belakang pada skema empat bek,” ujar Dex Glenniza seperti ditulis di Pandit Football.
Dengan skema yang sama, saya berusaha membuat kesebelasan sendiri. Bukan dari pemain sepak bola melainkan menggunakan pemain NBA di zaman modern. Saya ingin menggabungkan dua olahraga favorit saya dalam satu simulasi yang menarik, dan (semoga) membuat pembaca tertarik.
Simak ulasan berikut ini:
Formasi 3-5-2
Dengan skema 3-5-2 atau 3-1-4-2, saya tidak hanya membutuhkan pemain jago, tetapi juga bisa beradaptasi. Dalil Darwinian, misalnya, menjelaskan bahwa yang melaju paling jauh bukan yang terkuat, melainkan yang paling adaptif. Oleh karena itu, sebisa mungkin saya tidak hanya menempatkan pemain jago yang dirasa tepat untuk mengisi tiap posisi, tetapi juga bisa beradaptasi dengan skema dan perubahan-perubahannya.
Skuat Utama
Hassan Whiteside (Penjaga Gawang)
Saya menempatkan Hassan Whiteside, senter Miami Heat, bukan tanpa alasan. Pertama, secara fisik (213 sentimeter) ia memiliki keunggulan sebagai penjaga gawang. Kedua, kemampuannya bertahan dan memblok bola merupakan salah satu yang tebaik di NBA. Ia rata-rata melakukan 2,4 blok per pertandingan.
Secara ofensif, Whiteside juga memiliki kemampuan mencetak angka meski tidak sehebat pemain lainnya. Namun, saya rasa cukuplah untuk kemampuan itu menjadikannya seperti Ederson Moraes, kiper Manchester City. Inilah yang membuat saya menempatkannya di sana; supaya ia menahan setiap sepakan lawan dan mampu membangun serangan dari belakang.
Joel Embid, Rudy Gobert, Draymond Green (Bek Tengah)
Saya menempatkan Joel Embiid, Rudy Gobert, dan Draymond Green secara berurutan dari kanan ke kiri. Saya memilih mereka karena ketiganya memiliki kemampuan bertahan terbaik di NBA. Bagaimana tidak, Gobert dan Green telah diakui sebagai Defensive Player of the Year sementara Embiid hanya masuk nominasi. Namun, setidaknya itu cukup untuk membuat Embiid terpilih dalam kesebelasan NBA untuk Piala Dunia di Rusia.
Joel Embiid saat menonton pertandingan Chelsea di Premier League. Foto: Sports Illustrated
Kawhi Leonard dan Victor Oladipo (Bek Sayap)
Manchester City berhasil berevosuli dengan skema 3-5-2 karena memiliki bek sayap yang berkualitas. Timnas Inggris di Piala Dunia juga sedikit banyak melakukan hal yang sama dengan menempatkan Kieran Trippier di posisi ini. Oleh karena itu, memilih bek sayap yang tepat bagi saya sangatlah krusial.
Pertama, saya perlu memilih pemain dengan kemampuan two-way-player. Saya butuh pemain yang bisa bertahan dan menyerang sama baiknya. Maka, saya menjatuhkan pilihan pada—siapa lagi kalau bukan—Kawhi Leonard. Forwarda San Antonio Spurs yang sedang bermasalah itu memiliki kemampuan yang layak untuk mengisi posisi krusial di bek sayap.
Kedua, saya juga membutuhkan pemain dengan motivasi yang tinggi di samping memiliki kemampuan bertahan dan menyerang sama baik. Pilihan ini pun jatuh kepada Victor Oladipo, garda Indiana Pacers, yang menjadi NBA Most Improved Player of the Year 2018. Bagaimanapun, semangat Oladipo di skuat ini akan membuat pergerakan pada skema permainan yang saya rancang menjadi menarik di kedua sayap.
LeBron James, Chris Paul, James Harden (Gelandang)
Sulit memungkiri bahwa LeBron James, bekas forwarda Cleveland Cavaliers yang kini membela Los Angeles Lakers, adalah pemain terbaik di era yang lebih modern ini. Maka, akan sulit pula untuk tidak memasukkannya ke skuat ini, terutama karena saya membutuhkan penyeimbang yang sekaligus bisa menjadi kapten. Untuk itulah saya memilih James sebagai gelandang yang menjadi anchor (jangkar yang menyeimbangkan tim) layaknya Andrea Pirlo yang memfasilitasi AC Milan atau Juventus di Serie A.
James tentu tidak sendirian. Ia akan bermain dengan dua gelandang kreatif, Chris Paul dan James Harden. Duet pemain Houston Rockets itu akan berguna untuk membuat gebrakan sampai ke lini depan secara bergantian dengan asis dan tendangan-tendangan yang mematikan. Jika dimisalkan, keduanya seperti Kevin De Bruyne dan David Silva di Manchester City.
Stephen Curry hendak menendang bola di Prac de Princes, Paris, Prancis. Foto: ClutchPoints
Kevin Durant dan Stephen Curry (Penyerang)
Di Manchester City, saya mengagumi duet Sergio Aguero dengan Carlos Tevez di masa lampau. Namun, jika membicarakan konteks kehidupan sekarang, duet Aguero dengan Gabriel Jesus juga tidak buruk-buruk amat, kecuali cedera minor mereka yang terlalu sering mengesalkan.
Di skuat ini, saya memilih Kevin Durant dan Stephen Curry sebagai striker karena mereka merupakah salah dua pencetak skor terbaik di NBA. Durant rata-rata mencetak 27,1 poin selama 11 tahun karirnya di NBA sementara Curry dengan 23,1 poin.
Tanpa ragu, saya memilih mereka di garis depan supaya skuat NBA saya di Piala Dunia membombardir gawang lawan dengan hujan gol. Bagaimanapun, meski skema 3-5-2 tampak defensif, Manchester City ternyata bisa mencetak 106 gol pada 2017-2018 dengan itu. Maka, saya pun memilih taktik yang sama yang membutuhkan pemain-pemain adaptif, bek sayap yang kemampuannya di atas rata-rata, plus striker yang haus gol.
Kira-kira skuat ini akan juara Piala Dunia tidak, ya?
Foto: Premier League