Kevin Love, DeMar DeRozan, Keyon Dooling—silakan saja sebut semua pemain NBA yang mengalami masalah kesehatan mental. Mereka memiliki ceritanya sendiri, tetapi tidak ada yang bernasib seperti Jalen Moore.
***
Semua atlet bola basket, terutama di Amerika Serikat, tahu benar betapa pentingnya NBA bagi mereka. Liga tersohor di dunia itu memiliki magis tersendiri yang membuat para atlet menjadikannya sebuah tujuan. Moore, forwarda Utah State itu, juga berpikir demikian.
Ia sebenarnya hanya berjarak tiga hari dengan mimpinya bermain di NBA. Apalagi ia telah sepakat dengan Milwaukee Bucks untuk bermain bersama mereka lewat kontrak two-way (kontrak yang memungkinkan seorang pemain bermain untuk tim NBA dan afiliasinya di G League) pada Juli 2017. Namun, Moore mengurungkan niatnya terbang ke Milwaukee untuk bertemu timnya pada September lalu karena sebuah alasan: kesehatan mental.
“Tiga hari sebelum saya semestinya meninggalkan Utah, saya melakukan panggilan telepon terberat dalam hidup saya,” kata Moore seperti ditulisnya dalam sebuah esai di The Players’ Tribune. “Saya telepon Bucks. Saya memberi tahu mereka bahwa saya tidak akan datang dan menjelaskan alasannya.”
(Baca juga: Saatnya Beri Perhatian Pada Kesehatan Mental)
Moore menyadari dirinya memiliki masalah kesehatan mental di tahun keempatnya di kampus. Kala itu, ia yang terbang bersama tim sekolahnya, Utah State, merasa cemas pesawat yang mereka tumpangi akan jatuh. “Sekitar 30 menit setelah kami lepas landas, saya merasa tidak nyaman,” katanya. Ia berdebar-debar; perutnya seperti naik-turun saat pesawat terbang dan tubuhnya berkeringat.
Ia percaya itu adalah akhir riwayatnya. Namun...
Tidak, tidak, cerita tidak berakhir di sana; pesawat mendarat dengan baik di bandara tujuan. Mereka tidak jatuh. Namun, bagi Moore, penerbangan itu justru menjadi penerbangan terburuknya. Isi kepalanya hanya berisi kecemasan. Ia mengalami semacam serangan panik yang membuatnya cemas berlebihan. Ia bahkan tak bisa tidur di malam selepas pesawatnya mendarat untuk memikirkan apa yang baru saja terjadi padanya.
“Saya bersandar dengan mata terbuka dan seluruh tubuh saya sakit, menatap langit-langit dan memikirkan hal yang sama, lagi dan lagi,” ujar Moore, lalu ia bertanya-tanya kepada dirinya sendiri: “Apa yang salah dengan saya?”
Hari-hari berlalu, tetapi Moore tidak bisa begitu saja melupakan insiden pesawat itu. Bagaimanapun, apa yang terjadi di pesawat itu telah mengubah hidupnya. Namun, ia tidak berhenti mengejar mimpinya untuk bermain di NBA.
Moore mengikuti draft pada 2017.
Jalen Moore (kanan) bermain untuk Utah State selama empat tahun (2013-2017) sebelum mengikuti NBA Draft pada 2017. Foto: AP
Tidak ada satu pun klub memilihnya kala itu. Namun, agen Moore mengatakan, Bucks ingin merekrutnya sebagai pemain bebas, dan mereka membiarkannya tampil di Summer League di Las Vegas tahun itu.
Moore—tentu saja—tak melewatkan kesempatan itu. Ia tampil di lima pertandingan di Summer League dengan rata-rata 4 poin dan 2 rebound per laga dan akurasi tembakan mencapai 41,2 persen. Dengan performa itu, entah bagaimana Bucks tertarik merekrutnya dengan kontrak two-way, sehingga ia bisa bermain di NBA bersama tim asal Milwaukee itu dan afiliasinya di G League—Wisconsin Herd.
Sayangnya, perasaan aneh seperti di pesawat itu terus mengganggunya di musim panas. Perasaan itu semakin sering muncul. Namun, Moore tidak berani menceritakannya kepada siapa pun, terutama karena ia tidak tahu apa yang sedang menerpanya. Ia tampak hidup seperti biasanya—bermain di Summer League dan pulang ke rumah untuk berkumpul dengan keluarga. Semua berjalan seperti biasa, tetapi secara mental ia merasa terganggu; ia dibebani banyak pikiran, cemas oleh berbagai pertanyaan, sehingga jari-jarinya mati rasa dan tubuhnya terus berkeringat.
Moore menjalani episode kehidupan yang menggentarkan sampai tiga hari menjelang mimpinya bermain di NBA menjadi kenyataan.
***
Tiga hari, ia hanya membutuhkan tiga hari untuk mengikuti pemusatan latihan bersama Bucks. Namun, ia tahu dirinya tidak akan pernah terbang ke Milwaukee untuk mengikuti latihan. Masalahnya, ia tidak tahu bagaimana mengatakannya kepada semua orang; kepada timnya, juga kepada keluarganya—sebab baginya hal paling sulit bukanlah menceritakan masalahnya kepada Bucks, tetapi kepada orang tuanya.
Bagaimanapun, ia harus melakukannya; menceritakan masalah yang sedang ia alami kepada semua orang di dekatnya.
Ia berjalan menaiki tangga, menemui keluarganya. Ia menceritakan segalanya tentang kejadian di pesawat, serangan panik, dan perasaan aneh yang mengganggunya selama ini. Ia ingin memperbaiki semuanya sebelum melangkah lebih jauh di kehidupannya. Ia menangis, dan untungnya ia memiliki keluarga yang memahami masalahnya.
Jalen Moore memutuskan untuk mengurungkan niat bermain di NBA.
***
Basket adalah segalanya bagi Moore, dan menjadi pemain profesional adalah mimpinya sejak lama. Ia menghabiskan waktunya selama 22 tahun untuk menjadi pemain NBA. Maka, ketika ia merelakan mimpinya untuk memperbaiki hidupnya, itu merupakan keputusan tersulit. Namun, ia merasa harus melakukannya jika ingin melangkah lebih jauh. Ia kembali ke Utah untuk mengembalikan hidupnya seperti biasa meski pada mulanya merasa malu. Ia melihat dirinya sebagai seorang yang gagal, tetapi untungnya ia masih memiliki keluarga yang suportif.
(Baca juga: Eks NBA Keyon Dooling Pimpin Program Kesehatan Mental NBPA)
Jalen Moore menuangkan kisahnya dalam sebuah esai di The Players' Tribune. Foto: Jed Jacobson/The Players' Tribune
Moore selalu punya keluarga yang mendukungnya. Ia punya saudara yang berada di belakangnya, punya orang tua yang mendengarkannya. Ia mengaku, pada saat-saat itu, bersyukur telah menceritakan masalah besar di hidupnya kepada keluarga. Terlebih lagi masalah kesehatan mental bukanlah sesuatu yang perlu ia tutupi sampai membuatnya lebih parah. Sikap keterbukaan baginya justru menjadi penyelamat lain yang membuat hari-harinya lebih bermakna.
“Saya sadar, berbicara tentang segala hal selalu dapat membantu, dan jangan takut untuk meminta bantuan. Masalah kesehatan mental itu nyata, dan dapat dibantu, saya rasa kita tidak cukup hanya membicarakannya. Jika kalian memiliki masalah kesehatan mental, kalian tidak gila, kalian tidak sendiri, dan setiap pertempuran dapat dimenangkan!” katanya lagi.
Setelah itu, menurut Moore, hidup tampak lebih mudah dari bulan-bulan lalu meski dalam beberapa kesempatan terasa limbung. Itu wajar, bagaimanapun masalah kesehatan mental membuat orang menjadi naik-turun. Namun, di sisi lain, harapannya untuk bermain di kancah profesional tetaplah subur, dan ia terus bekerja keras untuk mewujudkannya.
Pada titik ini, minor setback for a major comeback—penggalan lagu Case Closed karya Migos—jadi tampak mewakili kisah seorang Jalen Moore. Jika ingin melangkah lebih jauh, perlulah kiranya sedikit mundur untuk memulihkan diri sambil tetap menjaga harapan tetap subur. Setelah itu, barulah melangkah lagi untuk mendekati mimpi yang belum tercapai. Dalam kasus Moore, ia menambahkan kegiatannya dengan berbagi kepada masyarakat untuk membuka mata mereka tentang masalah kesehatan mental. Kini, ia pun tak sungkan menceritakan kisahnya supaya orang lain mendapat inspirasi dari masalah yang tengah ia hadapi.
(Baca juga: Kim Jonghyun, Depresi, dan Ancaman Besar Kehidupan Para Bintang)
Foto: Chris Nicoll/USA Today Sports