Di zaman ini, dengan maraknya penggunaan media sosial, sosok fotografer bukan lagi orang di balik layar. Lewat Instagram, misalnya, fotografer juga bisa menampilkan diri melalui karya-karyanya. Hariyanto, fotografer IBL, adalah salah satu penggiatnya.

Pria bernama Hariyanto ini tentu sudah malang melintang di dunia fotografi bola basket. Sejak 2015, ia sudah terjun sebagai fotografer ofisial IBL. Ia bahkan sempat berpergian ke luar negeri untuk memotret tim nasional Indonesia di gelaran SEA Games dan SEABA. Foto-fotonya pun tidak hanya tampil di media sosial @hariiphoto, tetapi juga di media-media massa.

Mainbasket berkesempatan untuk berbincang-bincang dengan Hari. Kami membicarakan banyak hal, termasuk tentang riwayatnya sebagai fotografer basket di Indonesia. Selain itu, kami juga membicarakan tentang keikutsertaannya dalam turnamen basket antarmedia pada 4-10 Mei 2018 lalu. Kala itu, Hari bermain untuk Mahaka Media Group bersama para jurnalis di Jakarta.  

Halo, Hari, apa kabar?

Hai, alhamdulillah baik. Hehe.

Kemarin sempat lihat Hari main di turnamen atau kompetisi bareng Mahaka. Kok bisa?

Iya, jadi setelah gim All-Star Media IBL Pertalite, saya diajak untuk main di liga antarmedia. Di IBL, saya sebagai fotografer yang merupakan salah satu pekerjaan jurnalis, dan juga IBL bagian dari Mahaka Media Group, jadi saya punya kesempatan untuk mengikuti liga antarmedia dan bermain di Mahaka Group.

Turnamen atau kompetisi apa, sih, itu?

Itu turnamen tahunan, yaitu Invitasi Bola Basket Antarmedia Nasional atau Ibbamnas, yang mempertemukan media-media yang ada di Jakarta.

Ceritakan dong seperti apa kegiatannya kemarin? Kompetitif seperti liga pro tidak?

Turnamen Ibbamnas berlangsung di Gelanggang Mahasiswa Soemantri Bojonegoro selama tujuh hari dari tanggal 4-10 Mei 2018. Tim kami, Mahaka Media, bisa dibilang berada di grup neraka yang di dalamnya ada Metro Media Group, SCTV Emtek, dan Berita Satu.

Tidak ada pertandingan yang mudah. Kami selalu kesulitan menghadapi mereka. Mahaka berhasil memetik dua kali menang dan sekali kalah dari SCTV emtek. Kami lolos ke delapan besar dengan posisi runner-up grup dan harus bertemu Kompas TV yang merupakan juara grup. Beruntung, kami bisa mengalahkan Kompas TV yang terkenal memiliki materi pemain yang bagus, dan kami berhasil masuk empat besar. Dengan persiapan yang sangat singkat, empat besar sudah melebihi ekspekstasi kami, karena pelatih juga baru bergabung. Di empat besar, kami bertemu Jusraga (Jurnalis Peduli Olahraga) yang merupakan panitia pelaksana Ibbamnas. Kami bisa unggul atas Jusraga, tapi cuma bertahan sampai babak pertama. Babak kedua sampai di kuarter tiga masih saling kejar poin. Mulai tertinggal di kuarter empat karena mulai hilang fokus dan akhirnya kami kalah.

Besoknya masih ada satu gim lagi untuk memperebutkan posisi tiga, dan kami bertemu lagi dengan SCTV Emtek yang mengalahkan kami di fase grup, yang juga kalah oleh CNN di empat besar. Jalannya pertandingan tidak jauh berbeda dengan gim sebelumnya. Sampai kuarter tiga kami masih unggul atas SCTV, dan di kuarter terakhir kami banyak melakukan kesalahan yang berhasil dimanfaatkan oleh SCTV. Kami harus puas di peringkat empat.

Kalau soal kompetitif seperti liga pro atau tidak, bisa dibilang iya bisa dibilang tidak. Sempat beberapa kali saya menonton gim di grup lain, ada gim yang sangat seru sampai harus masuk ke babak tambahan waktu dua kali dan ada juga gim yang tidak seimbang layaknya tim papan atas bertemu dengan tim papan bawah. Bedanya, dengan waktu yang singkat, cuma satu minggu, jelas sudah berbeda dengan liga pro, tapi kami harus bermain setiap hari dan itu sangat melelahkan, yang bahkan pemain liga pro saja tidak pernah bermain selama enam hari berturut-turut seperti kami. Apalagi saya selalu bermain 40 menit di setiap gim dan akhirnya badan saya sudah tidak fit lagi untuk dua gim terakhir di semifinal dan perebutan peringkat tiga. 

Apa, sih, yang menarik dari turnamen seperti itu?

Menariknya, kami jurnaslis-jurnalis yang sudah biasa bertemu sedang meliput berita atau pertandingan olahraga harus dipertemukan lagi di dalam lapangan, tapi tidak sedang meliput berita melainkan harus bertanding satu sama lain.

Siapa saja pesertanya? Kok ada Richard “Insane” Latunusa segala?

RCTI MNC Group, Trans7, CNN Detik Transvision, ANTV, RTV, Jusraga, Tempo Group, Net TV, Metro Media Group, SCTV Emtek, Mahaka Media, Berita Satu, Kompas TV, Radio OZ, Masima Group, Kompas Gramedia.

Richard Insane bergabung di tim Jusraga yang berasal dari media Channel Basket. Sesuai namanya, Jurnalis Peduli Olahraga merupakan perkumpulan jurnalis yang tidak memiliki tim untuk bisa mengikuti turnamen atau invitasi bola basket antarmedia, tetapi memiliki jadwal latihan rutin sekali seminggu.

Kira-kira kegiatan seperti itu harus ada dan dikembangkan tidak, sih?

Harus ada karena sama halnya dengan liga-liga antarbank atau perusahaan BUMN yang lain. Ibbamnas merupakan salah satu bentuk kegiatan dan promosi Indonesia sebagai tuan rumah Asian Games 2018 yang berlangsung selama bulan Agustus nanti. Bahkan Menpora kemarin menyempatkan diri untuk hadir di pembukaan dan penutupan Ibbamnas.

Selain itu, di jeda musim ngapain saja? Kan IBL lagi libur. Sibuk dengan Stayhoops?

Kalau dengan Stayhoops bukan cuma di jeda musim IBL saja. Selama IBL 2018 berlangsung saya sudah mulai sibuk dengan Stayhoops. Cuma di jeda musim ini sibuknya lebih lagi. Selain itu, karena dari dulu saya memang suka main basket, saya gabung dengan komunitas basket di Bandung yaitu Masalalu Basketball. Ya, namanya juga manusia, butuh olahraga biar tetap sehat. Hehe.

Bareng Stayhoops ngapain saja? 

Kerjaan saya tidak lepas dari foto. Selama IBL 2018 kemarin ada photoshoot bareng Abraham Damar dari Stapac Jakarta, Cio (Cassiopeia Manuputty) Satya Wacana, David Seagers Pacific Caesar Surabaya, Gary Jacobs Garuda Bandung, Wayne Bradford Pelita Jaya, Dusan Bulut, Arki Wisnu Satria Muda, Kelly Purwanto BSB Hangtuah, Daniel Wenas Pelita Jaya, Kepala Pelatih Siliwangi Bandung Ali Budimansyah dan beberapa pemain dari Srikandi Cup.

Omong-omong, kok bisa jadi fotografer? Ceritakan perjalanannya dong, termasuk jadi fotografer IBL.

Waduh, ini bisa panjang banget ceritanya. Sebenarnya berawal dari iseng pinjam kamera teman buat foto-foto basket, terus tertarik dan ketagihan, akhirnya mulai beli kamera sendiri dan mulai dijadikan hobi.

Semakin penasaran dong untuk ngulik foto basket yang bagus itu seperti apa. Yang pertama saya lakukan adalah memperbanyak referensi foto basket dan akhirnya ketemulah nama Rocky Padila dan Hasan Gozali. Lewat media sosial Facebook, saya melihat koleksinya di album foto yang melimpah dan “wah”-nya lagi, isinya foto NBA dan ABL dan tim nasional Indonesia. Selain melihat referensi foto-foto basket, saya meluangkan waktu ke toko buku untuk membaca dan belajar teknik foto olahraga sambil menerapkannya kalau ada pertandingan antarmahasiswa atau liga basket profesional.

Berawal dari Final NBL Championship 2013, saya nekat berangkat ke Yogyakarta sendirian dengan niat mau foto. Akses untuk masuk ke dalam GOR belum bisa seperti sekarang yang menggunakan ID media melainkan harus membeli; merogoh kocek untuk membeli tiket VIP supaya bisa foto dari jarak dekat layaknya fotografer profesional. Setelah punya hasil foto dan dijadikan portofolio, saya rajin mengunggahnya melalui media Twitter dan menandai akun pemain, akun Mainbasket, dan akun liganya. Setelah itu, hasil foto-foto saya sedikitnya mendapat pujian dari mereka. Hehe.

Akhirnya hasil kerja keras saya tadi mulai terlihat. Saya mendapat tawaran untuk menjadi kontributor foto buat Mainbasket. Jadi, untuk akses foto di pertandingan-pertandingan NBL saya bisa menggunakan ID media Mainbasket. Tidak lama setelah itu saya mendapat pesan di Twitter dari Hasan Gozali, manajer Tomang Sakti sewaktu masih WNBL. Koh Hasan mengajak saya bertemu dan menawari untuk menjadi tim fotografer Tomang Sakti. Tawaran dari Koh hasan sebenarnya sangat menggiurkan, tapi resikonya harus ikut keliling kota sesuai dengan jadwal WNBL. Resiko lainnya, saya harus meninggalkan kuliah, dan itu sangat tidak mungkin karena prioritas saya pindah dari Pare-pare, Makassar, ke Bandung untuk kuliah dan status saya ikatan dinas atau beasiswa.

NBL musim 2014 saya cuma sempat foto di seri Bandung dan masih sempat bertemu dengan Koh Hasan yang juga ke Bandung untuk foto timnya, Tomang Sakti, karena WNBL juga berlangsung di seri Bandung. Setelah itu, akhirnya kamera saya harus dijual karena lain hal dan saya berhenti foto. Setelah musim terakhir NBL selesai, pada tahun 2015, Koh Hasan menjadi komisioner liga basket Indonesia yang berganti nama dari NBL menjadi IBL. Di saat yang bersamaan, saya lulus kuliah dan alhamdulillah Koh Hasan masih mengingat saya dan memberi kesempatan untuk menjadi fotografer IBL 2015-2016. Tanpa berpikir lama saya langsung mengambil kesempatan itu dan masih sampai sekarang.

Apa, sih, yang menarik dari menjadi fotografer, khususnya fotografer basket?

banyak hal yang menarik selama menjadi fotografer basket. pertama, pekerjaan saya adalah hobi saya, jadi bisa mendapatkan penghasilan dari hal yang saya senangi, hehe. kedua, karena dari awal memang saya sangat suka basket jadi kesenangan saya bertambah, sambil bekerja bisa sambil menyaksiskan liga basket tertinggi di Indonesia. ketiga, menambah relasi, khususnya bisa kenal dan berteman dengan pemain pasti banyak penggemar dan penikmat basket yang mau kenal dan berteman dengan pemain-pemain profesional.

Hal esensial apa yang harus dimiliki seorang fotografer selain kamera? Bagaimanapun Hari sudah melakukan ini setidaknya sejak IBL 2015 bahkan sebelum itu. Sudah punya pengalaman.

Passion. Basket atau foto. Kalau passion kita tidak lepas dari situ, apa pun itu saya rasa kita akan dengan senang hati melakukannya. Karena sebenarnya sering foto basket juga membosankan. Kalau dari awal passion sudah suka dengan basket atau foto, saya rasa bosan itu akan hilang dengan sendirinya. Banyak hal yang bisa kita coba selama foto basket, seperti teknik foto dan angle foto untuk menghindari kebosanan.

Setelah ini akan terus menjadi fotografer basket?

Belum tahu. Banyak hal yang menjadi pertimbangan: domisili saya di Bandung, calon istri mungkin, haha, orang tua khususnya. Mereka sebenarnya tidak mengharapkan saya untuk menjadi fotografer. Sejak awal mereka melepas saya kuliah ke Bandung karena alasan kuliah saya dengan status ikatan dinas, yang nantinya setelah lulus kuliah saya harus pulang dan menjadi PNS. Itu yang mereka inginkan. Syukurnya, apa pun jalan hidup yang saya ambil sekarang, setidaknya mereka sudah bisa menerima. Umur saya sudah 25 tahun, sudah seharusnya keluarga menjadi prioritas saya. Delapan tahun merantau seorang diri jauh dari orang tua, tidak ada keluarga dan kerabat dekat di Bandung bukan pilihan yang mudah buat saya. Mungkin sudah saatnya saya memprioritaskan kebahagiaan orang tua saya, kecuali kalau saya egois dan seterusnya masih mau menikmati profesi sebagai fotografer dan jalan yang saya ambil sekarang.

Hari juga sempat memotret timnas, di SEABA atau SEA Games seingatku, seperti apa rasanya memotret gelaran internasional?

Iya, rasanya jelas sangat senang dan bangga. Bisa keluar negeri membawa nama Indonesia. Punya pengalaman di event internasional, saya rasa itu adalah impian banyak orang dan saya sudah merasakannya.

Dengan menjadi fotografer, Hari tentu ketemu banyak orang. Ceritakan dong tentang orang-orang yang sedikit banyak memberi pengaruh pada karir Hari!

Sebagian mungkin sudah saya ceritakan. Selain itu, memang masih banyak lagi yang memberi pengaruh terhadap karir saya, seperti rekan fotografer lainnya: Yoga (Prakasita), Ce Mei (Mei Linda), Tommy (Julyanto), Bang Ariya (Kurniawan), dan Koh Ben Chandra.

Banyak banget ilmu dari dunia foto yang bisa diambil dari mereka. Secara tidak langsung memaksa saya untuk keluar dari zona nyaman dan harus terus meningkatkan kulaitas foto saya.

Oh ya, Hari bisa tenar lewat Instagram karena foto-foto basket. Apakah Hari memandang itu sebagai kesuksesan?

Belum, masih jauh dari kata sukses karena saya masih terus di seputaran basket. Banyak hal yang masih ingin saya coba di luar basket, karena dunia foto itu sangat luas. Cabang olahraga lain mungkin. Syukur-syukur bisa jadi fotografer ABL bahkan FIBA dan NBA. Jelas itu impian semua fotografer basket.

Belakangan, muncul kritik kepada kalangan yang mendewakan insta-success. Padahal banyaknya follower dan like belum tentu kesuksesan. Apa pandanganmu tentang ini?

Seringnya, orang mungkin menilai dari jumlah followers dan likes setiap akun dan unggahan foto. Padahal kalau menurut saya tidak, hal yang lebih penting dari itu sebenarnya kontribusi apa yang bisa kita berikan dari hasil foto-foto, seperti hasil karya bisa dimuat di majalah dan bisa tersebar di situs berita online. Itu akan lebih memuaskan.

Kira-kira bagaimana caranya dengan follower sekian banyak bisa dapat untung yang tidak hanya like, tapi hal lain, uang misalnya?

Kalau uang, mungkin bisa dapat pekerjaan tambahan dari orang-orang yang membutuhkan jasa kita. Selain itu mungkin bisa dapat endorse.

Apakah Hari meyakini konsistensi, yang mana jika kita terus menerus berkarya hasilnya tak akan mengkhianati kita?

Yap, betul sekali. Asal kita tidak cepat puas dan terus menaikkan standar kualitas kita sendiri, hasilnya pasti akan meningkat dan berkembang.

Dengan itu, gimana caranya Hari meningkatkan kualitas diri?

Memperbanyak referensi foto tetap nomor satu. Di luar sana, masih banyak banget fotografer yang karyanya sangat keren. Berbanding lurus dengan alat yang dipakai juga. Tapi, menurut saya, intinya adalah sejauh mana si fotografer bisa memaksimalkan alatnya.

Belakangan, muncul wajah-wajah baru di ranah fotografi basket, seperti Alexander Anggriawan dkk.. Apa pendapatmu tentang mereka?

Mereka masih muda banget. Masa mereka untuk belajar dan memperbanyak pengalaman masih panjang banget. Sebelum ada mereka, saya termasuk fotografer yang paling muda bersama Yoga dibandingkan dengan Koh Ben, Rocky, Ce Mei, dan Bang Ariya. Artinya, sekarang saya tidak muda lagi. Haha.

Ada pesan tidak untuk mereka? Setidaknya sebagai seorang "senior" Hari sudah lebih berpengalaman.

Jangan pernah cepat puas. Sombong apalagi. Perbanyak jam terbang dan pengalaman itu lebih penting dari apa pun. Etika dan sopan santun juga perlu, karena dunia foto itu berkaitan dengan bagaimana cara kita membangun hubungan dan relasi dengan banyak orang.

Foto: Fernando Randy dan Mei Linda

Komentar