Seorang pria berusia 25 tahun ditangkap akibat menyamar sebagai bintang basket SMA di Amerika Serikat. Sidney Bouvier Gilstrap-Portley, pria itu, ditangkap Jumat malam lalu dan mendekam di penjara daerah Dallas, Texas, Amerika Serikat sejak 11 Mei 2018 waktu setempat. Ia ditangkap karena menggunakan identitas orang lain dan diduga telah merusak catatan pemerintah.

Gilstrap-Portley menyamar sebagai Rashun Richardson, seorang korban Badai Harvey berusia 17 tahun, selama kurang-lebih sembilan bulan pada awal tahun ajaran 2017-2018. Menurut laporan Dallas Morning News, ia kemudian bergabung dengan tim basket Hillcrest High School dan menjadi salah satu bintang di sana.

Ketika ditangkap Gilstrap-Portley tengah meraih kepopulerannya sebagai bintang sekolah. Para pelatih bahkan memilihnya sebagai penerima gelar pemain menyerang terbaik di District 11-5A ketika timnya mengemas 11 kemenangan dari 21 pertandingan musim ini. Padahal ia sebenarnya bukan lagi anak SMA.

Gilstrap-Portley sempat bermain untuk Dallas Christian Crusaders di National Christian College Athletic Association (NCCAA) pada 2013-2014 setelah lulus dari North Mesquite High School pada 2011. Salah satu pelatih lalu menyadarinya dalam sebuah turnamen dan melaporkannya kepada pelatih Hillcrest tentang identitas aslinya. Philip Randall, pelatih Mesquite yang sempat membimbingnya dulu, juga ikut mengonfirmasi bahwa sang pemain bukanlah anak SMA lagi.

“Dia anak baik,” komentar Randall seperti dikutip Dallas Morning News. “Saya tidak pernah mendapat masalah karenanya. Makanya, saya kaget ketika mendengar semua ini sebab itu bukan anak yang saya kenal.”

Dengan memanfaatkan identitas orang lain, Gilstrap-Portley juga mendulang keuntungan lain. Ia dikabarkan sempat berpacaran dengan perempuan berusia 14 tahun. Seorang ibu yang mengaku anaknya dipacari Rashun Richard (Gilstrap-Portley) melaporkan hal ini setelah mengetahui sang pelajar bukanlah anak SMA. Namun, polisi masih terus menginvestigasi bagian ini.

“Saya tidak dapat mempercayai ini,” kata ibu yang identitasnya dirahasiakan ini kepada Dallas Morning News. “Entah bagaimana sekolah bisa kecolongan seperti ini.”

Sidney Bouvier Gilstrap-Portley, pemain berusia 25 tahun, yang menyamar sebagai pemuda 17 tahun bernama Rashun Richardson di Hillcrest High School, Dallas, Texas, Amerika Serikat. Foto: Twitter @ProspectsReport

 

Atas kejadian ini, Dallas Independent School District (ISD) lantas mengeluarkan pernyataan tegas dalam upaya evaluasi melalui juru bicara mereka—Robyn Harris.

“Dia mengambil itu sebagai kesempatan untuk mendapatkan akses ke sekolah kami," ujar Harris. "Dia cukup cerdas untuk dapat memanfaatkan posisi semacam itu, mengetahui bahwa kami menerima siswa (korban badai) Harvey.”

Pada Oktober 2017 lalu, Gilstrap-Portley mendaftar sebagai siswa baru dengan latar belakang korban Badai Harvey. Sesuai penuturan Dallas ISD, Gilstrap-Portley mengaku tidak memiliki rumah dan tertarik sekolah di sana untuk mengembangkan karir basketnya. Sekolah pun percaya akan motivasinya untuk bermain basket dan menerimanya sebagai siswa. Namun, belakangan, ia ternyata hanya menyamar untuk sekolah di sana. Dengan begitu, sekolah pun meminta maaf kepada semua pihak, terutama orang tua siswa, karena membiarkan hal ini terjadi.

“Keamanan tetap menjadi prioritas kami, dan kami tengah mengevaluasi kebijakan untuk menguatkan upaya ini selagi tetap membantu mereka yang membutuhkan,” ujar juru bicara Dallas ISD.

Praktik serupa sebenarnya juga terjadi di Indonesia. Dalam beberapa kasus, pemain-pemain muda “nyolong umur” untuk bisa mengikuti kegiatan tertentu. Mereka yang telah melewati batas usia untuk mengikuti kegiatan tersebut berupaya menghalalkan segala cara untuk tetap berpartisipasi, termasuk dengan memalsukan dokumen.

Pada 2008, misalnya, kompetisi antarpelajar Honda DBL pernah mengusut praktik nyolong umur yang terjadi di Banjarmasin. Ketika itu, mereka menemukan seorang pemain yang memiliki dokumen palsu. Setelah diperiksa ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil setempat, ternyata salah satu dokumen sang pemain tidak sinkron dengan yang lainnya.

Dengan—salah satunya—alasan di atas, DBL sejak 2004 semakin menguatkan kebijakan mereka terkait aturan batas usia peserta dan mengetatkan seleksi peserta hingga dewasa ini. Oleh karena itu, mereka pun meminta tiap peserta menyertakan akta kelahiran asli yang tidak dimanipulasi.

Di sisi lain, DBL juga tidak hanya menyeleksi lewat dokumen kelahiran, tetapi ikut memeriksa raport dan dokumen yang berhubungan dengan akademik siswa bersangkutan. Jika ada hal-hal yang tidak sesuai, mereka akan mempertimbangkan lagi kelayakan peserta untuk ikut kompetisi. Misalnya, peserta tidak boleh memiliki nilai buruk di raport dan harus naik kelas jika ingin mengikuti kompetisi. Hal itu dilakukan supaya sekolah-sekolah juga memperhatikan prestasi akademik siswanya yang berstatus pelajar-atlet. Bagaimanapun, pendidikan sama pentingnya dengan prestasi nonakademik.

Foto: Chris McGathey via Dallas Morning News

Komentar