Dalam sebuah tulisan di Huffington Post, Michael Levin melaporkan, setiap tiga menit orang di Amerika Serikat didiagnosis menderita leukemia atau kanker darah. Secara keseluruhan, ada lebih dari 170.000 orang menderita hal serupa setiap tahunnya.
Di Indonesia, seperti dilansir Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Kepala Instalasi Anak Rumah Sakit Kanker Dharmais, dr. Hartini, mengatakan, leukemia menjadi kasus nomor satu yang sering menyerang anak-anak. Menurutnya, di setiap rumah sakit yang memiliki fasilitas pengobatan kanker ada sekitar 70 pasien anak menderita penyakit itu.
Seperti 170.000 orang dan 70 pasien itu, Craig Graham Sager Sr., seorang reporter NBA yang eksentrik, juga menderita leukemia sebelum meninggal pada Desember 2016 lalu. Bisa dibilang, penyakit inilah yang menghentikan karir Sager selamanya. Namun, apa yang ia lakukan untuk dunia siaran, pers, hiburan dan olahraga tidak akan terkubur bersama jasadnya. Bagaimanapun, cerita tentang kebesarannya—juga tampilannya yang eksentrik dengan jas yang tampak mencolok—telah masuk ke dalam Naismith Memorial Basketball Hall of Fame. Karena pada 2017, setelah kematiannya, ia mendapat penghargaan Curt Gowdy Media Award dari Hall of Fame.
Sager memang bukan sembarang reporter, dan dalam peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia hari ini, 3 Mei 2018, sosoknya mampu menjadi inspirasi reporter lain. Karena banyak orang, baik yang mengenalnya secara personal atau tidak, telah mengaku menyukai dedikasinya kepada dunia siaran. Levin bahkan mengatakan, tidak ada yang melakukan pekerjaan itu sebaik Sager.
“Ketika dia dikenang karena pakaiannya yang berwarna-warni sebagai bentuk kehangatan, wawasan, dan kecintaannya pada permainan (bola basket), ada lebih banyak hal baginya daripada itu,” tulis Levin di Huffington Post.
Craig Sager, reporter pinggir lapangan, mendapat berbagai penghargaan termasuk Curt Gowdy Media Award dari Naismith Memorial Basketball Hall of Fame. Foto: Getty Images
Sager memulai karir profesionalnya di dunia siaran sebagai reporter di WXLT (sekarang WWSB-Channel 40) setelah lulus dari Northwestern University. Namun, sebenarnya bukan itu pekerjaan dambaannya. Menurut penuturan istrinya, Stacy, Sager bermimpi menjadi seorang angkatan udara (Air Force) sejak kecil.
“Saya hampir yakin bahwa dia menjadi reporter hanya agar dia bisa terbang keliling negara, bertemu orang baru dan pergi bertualang,” ujar Stacy di The Players’ Tribune.
Namun, hidup memang memberi kejutan untuknya. Meski gagal menjadi seorang angkatan udara, sekarang Sager justru menjadi seorang legenda di dunia siaran dan olahraga, terutama di bidang bola basket dan NBA, meski ia pernah bekerja di bidang olahraga lain.
Pada1980, misalnya, Sager melakukan siaran langsung pertamanya bersama CNN untuk melaporkan pertandingan playoff baseball profesional Amerika Serikat (MLB) sebagai kontributor. Setahun kemudian, ia pun direkrut media tersebut sebagai pekerja penuh waktu dan sempat menjadi pembawa berita di CNN Sports Tonight sampai mendapat penghargaan CableAce pada 1985.
Selain baseball, Sager juga sempat menjadi reporter di beberapa bidang olahraga, seperti: sepak bola, ski, curling, golf, tenis, dan bahkan sepak bola amerika. Namun, sampai kematiannya pada 2016 lalu, ia justru terkenal sebagai reporter untuk NBA on TNT. Ia melaporkan langsung dari pinggir lapangan; mewawancarai para pemain dan pelatih yang tengah atau usai bertanding sambil mengenakan jasnya yang tampak eksentrik—entah itu karena jasnya berwarna cerah atau bermotif bunga-bunga. Karena dedikasinya kepada siaran olahraga, ia pun menerima penghargaan Sports Emmy Award pada 2012.
Sports Emmy Award tentu bukan satu-satunya penghargaan yang diterima Sager. Pada Juli 2016, ia juga sempat menerima Jimmy V Persevarance Award dalam acara ESPY Awards atas semangat juangnya menghadapi kanker. Saat menerima itu, seperti juga ditulis CBS, Sager mengatakan sebuah perspektif yang diyakininya.
“Waktu adalah sesuatu yang tidak bisa dibeli. Waktu tidak bisa dipertaruhkan dengan Tuhan, dan waktu bukan sesuatu yang tak ada habisnya,” kata Sager seperti dikutip CBS. “Waktu hanyalah tentang bagaimana kamu menjalani hidupmu.”
Charles Barkley (kiri), legenda NBA sekaligus rekan Craig Sager (kanan) di TNT, menjenguk sang reporter di rumah sakit. Foto: Associated Press
Untung tak bisa diraih malang tak bisa ditolak, Sagers harus menerima kenyataan; ia didiagnosis menderita acute myeloid leukemia—penyakit yang membuatnya absen di NBA Playoff 2014. Sejak itu, kehidupan baginya telah berubah selamanya. Ia tidak bisa melakukan pekerjaan yang disukainya seperti biasanya. Ia harus menjalani berbagai operasi untuk menyembuhkan penyakitnya. Namun, ia senang karena banyak orang ternyata tetap mendukungnya bahkan berada di sisinya untuk membantu di saat-saat seperti itu. Karena itu pula ia mendirikan Sager Strong Foundation untuk membantu orang-orang yang mengalami hal serupa; untuk memberikan dukungan dan menyuntikkan semangat supaya para penderita bisa bangkit seperti semula.
Sager sempat kembali ke lapangan, tetapi leukemia kembali menghentikan dirinya untuk melakukan pekerjaan, sehingga ia untuk kesekian kalinya perlu penangan khusus. Pada 15 Desember 2016, di usia 65, ia pun mengembuskan nafas terakhir setelah bertarung selama dua tahun dengan penyakitnya. Dalam momen kesedihan itu, Gregg Popovich, kepala pelatih San Antonio Spurs yang berteman dengannya, mengucapkan sebuah salam perpisahan. Menurutnya, ia telah belajar sesuatu dari kepergian Sager, dan bagian paling menakjubkan darinya adalah keberanian menghadapi kehidupannya sendiri.
“Kita semua sangat merindukannya," kata Popovich.
Selamat Hari Kebebasan Pers Sedunia, Craig Sager dan para reporter olahraga!
Foto: NBA