Daftar nama 16 atlet yang mengikuti seleksi tim nasional (timnas) basket putri untuk berpartisipasi pada Asian Games 2018 mendatang menimbulkan pertanyaan. “Apakah timnas basket Indonesia tidak memasang target tinggi (medali), dengan mengundang banyak atlet muda yang belum berpengalaman, ketimbang mengundang para atlet terbaiknya yang telah berpengalaman?

Pada artikel ini saya akan membahas secara singkat mengenai komposisi tim nasional basket Indonesia yang mengikuti seleksi dan bagaimana bila dibandingkan dengan para atlet veteran dan atlet dengan performa terbaik di kompetisi Srikandi yang tidak diundang.

(Baca juga: Rekomendasi Pembagian Peran Pebasket Modern Berdasarkan Statistik dan Mekanika)

Pembawa Bola atau Ball Handler (BH)

Terdapat tiga atlet pembawa bola pada komposisi tim ini, yaitu Ivonne Sinatra (1992), Tiara Denaya (1999), dan Adelaide Wongsohardjo (2001). Di antara ketiganya, hanya Denaya yang telah menunjukkan performa terbaiknya berdasarkan statistik pada kompetisi Srikandi yang lalu, yang dapat dijadikan pertimbangan dasar terpilihnya Denaya. Sementara untuk dua atlet lainnya, saya belum menemukan data terbaru yang menunjukkan kualitasnya sebagai dasar pertimbangan terpilihnya ke dalam timnas.

Pada kompetisi Srikandi, Denaya dapat dikategorikan sebagai offensive ball handler (OBH) yang paling produktif dalam hal mencetak angka, memberikan umpan, dan mencuri bola. Walau demikian atlet ini berada di urutan kelima dalam hal turn over (TO) pada kompetisi tersebut. Dengan usianya yang masih sangat muda dan kurang berpengalaman di kompetisi internasional, apakah Denaya siap menjadi pembawa bola utama untuk timnas senior di ajang Asian Games 2018?

Berikut ini merupakan statistik kompetisi Srikandi yang menunjukkan perbandingan para pembawa bola yang dipanggil seleksi timnas dengan Sumiati yang menjadi pembawa bola pada SEA Games 2017, namun tidak dipanggil untuk mengikuti seleksi timnas:

Berdasarkan Per 30 Min yang dibuat berdasarkan data dari Srikandi, menunjukkan bahwa Sumiati memiliki angka asis (AST) yang jauh lebih tinggi dengan poin (PTS) dan steal (STL) yang sebanding dengan Denaya. Bila tujuan utama pembawa bola adalah mendistribusikan bola ke rekan-rekan penembak, lantas mengapa Sumiati yang menjadi MVP di Grand Final Srikandi Cup, yang sedang dalam usia produktif (28 tahun) dan telah berpengalaman di kompetisi internasional tidak dipanggil untuk mengikuti seleksi timnas?

Sayap Spesialis Penembak 3 Angka

Dalam sebuah komposisi tim modern, biasanya terdapat 2 sampai 3 pemain sayap yang menjadi spesialis penembak tiga angka dan sekaligus spesialis pemain bertahan perimeter, yang kita sebut dengan 3-D. Di dalam timnas terdapat dua atlet yang dapat diperankan demikian, yaitu Helena Tumbelaka dan Henny Sutjiono. Walau Henny Sutjiono merupakan prospek 3-D yang menjanjikan dan telah menunjukkan kualitasnya pada SEA Games 2017 yang lalu, namun persentase tembakan tiga angka (3P%) Henny pada kompetisi Srikandi belum memenuhi kriteria seorang 3-D yang hebat.

Hal lain yang patut dipertanyakan adalah mengapa Annisa Widyarni, yang telah menunjukkan kualitasnya sebagai penembak tiga angka terproduktif dengan 3P% yang tertinggi dan angka STL yang tinggi di kompetisi Srikandi tidak diundang seleksi?

Sayap Serba Bisa atau Non-Specific Player (NS)

Dalam sebuah tim umumnya terdapat 1 sampai 2 atlet serba bisa (NS/Non-Specific), yang berarti dapat berperan sebagai pencetak angka jarak dekat maupun jauh dan sekaligus dapat menjadi fasilitator. Atlet NS harus produktif mencetak angka dengan persentase tembakan dua angka/tiga angka (2FG% / 3FG%), dan tembakan gratis (FT%) yang di atas rata-rata. Dalam daftar peserta seleksi ini, Natasha Debby Christaline dan Kadek Pratita Citta Dewi yang telah membela timnas sejak SEA Games terdahulu, telah memenuhi kriteria tersebut dan keduanya pantas untuk mendapatkan posisi di timnas, terlebih lagi Citta memiliki 3P% yang tertinggi di antara semua peserta seleksi dan dapat diperankan sebagai target penembak sayap, sementara Debby dapat disebut sebagai atlet putri serba bisa yang terbaik untuk timnas Indonesia saat ini.

Sedangkan Nathania Claresta Orville yang berusia paling muda memiliki efisiensi serangan yang masih kurang mendukung dengan 2P% <50, 3P% <25, dan FT% <60, sehingga belum mencapai tingkat yang optimal dalam mendukung timnas. Sementara saya tidak memiliki data terbaru untuk Christine Aldora Tjundawan, yang dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk terpilih menjadi perwakilan timnas.

Rebounder (R)

Dalam sebuah tim modern pada umumnya terdapat 2 sampai 3 rebounders dengan dua sampai tiga peran fungsional yang berbeda, antara lain spesialis rebounder pencetak angka area dalam (SR), rebounder serba bisa (NS-R), dan rebounder pencetak tiga angka (3R). Dalam peserta seleksi timnas terdapat dua atlet berkriteria SR, yakni Dyah Lestari dan Priscilla Karen, serta satu atlet berkriteria NS-R, yakni Dora Lovita yang dapat menjadi fasilitator. Berdasarkan statistik yang tersedia, menunjukkan bahwa Dyah Lestari belum memenuhi kriteria SR yang efisien dengan 2P% < 30, di mana standar minimal SR harusnya memiliki 2P% >40 dan ditambah lagi dengan AST yang paling rendah menunjukkan bahwa Lestari kurang ideal untuk dijadikan fasilitator.

Bila dibandingkan dengan statistik dua atlet veteran yang tidak dipanggil untuk mengikuti seleksi tim nasional, yaitu Wulan Ayuningrum (MVP pada final Srikandi Cup seri 3) dan Mega Nanda Putri (MVP pada final Srikandi Cup seri 2) menunjukkan bahwa performa mereka cukup pantas untuk diundang mengikuti seleksi timnas. Terlebih lagi Wulan dapat disebut sebagai NS-R terbaik yang pernah dimiliki timnas Indonesia dalam 10 tahun terakhir, yang paling produktif dalam hal mencetak angka dengan 2P% dan 3P% tertinggi dan dapat bahkan diandalkan menjadi fasilitator (AST yang tinggi). Atas pertimbangan apakah kedua atlet veteran ini, terutama Wulan Ayuningrum, tidak berhak untuk mengikuti seleksi timnas?

Senter atau Paint Protector (PP)

Dalam sebuah tim modern pada umumnya terdapat 2 sampai 3 pemain senter dengan dua peran fungsional yang berbeda, yaitu senter dengan efisiensi serangan area dalam yang tinggi (SPP), misalnya Gabriel Sophia (2P% ≥ 45) dan senter spesialis penembak tiga angka (3PP), misalnya Clarita Antonio (3P% ≥ 35). Sedangkan berdasarkan statistik, Vonny Hantoro dengan 2P%: 28 dan Eka Liana dengan 2P%: 43 masih belum memenuhi kriteria SPP yang efisien.

Keputusan yang cukup dipertanyakan adalah tidak diundangnya Fanny Kalumata yang telah berpengalaman, sedang di masa usia produktif, dan menjadi pencetak angka terbanyak di Srikandi Cup. Bila dibandingkan statistiknya, Fanny Kalumata cukup pantas untuk diundang mengikuti seleksi timnas, terlebih lagi Kalumata merupakan senter dengan mobilitas yang paling tinggi di antara daftar senter lainnya, sehingga dapat memperluas pilihan variasi serangan timnas.

Saya kurang dapat memahami dasar pertimbangan pemilihan para peserta seleksi timnas putri yang akan mengikuti Asian Games 2018 mendatang. Bila sesuai dengan slogan yang sering dituliskan di medsos timnas, yakni: #kasihyangterbaik, maka seharusnya timnas akan berusaha untuk mendapatkan hasil yang terbaik (medali emas) demi rakyat dan nama Indonesia pada Asian Games 2018 mendatang, sehingga akan mengundang para atlet yang menunjukkan performa terbaik pada kompetisi Srikandi untuk mengikuti seleksi. Bukankah kompetisi bertujuan sebagai wadah untuk mengukur kemampuan atlet secara objektif dan hasilnya dijadikan pertimbangan utama untuk seleksi perwakilan timnas?

Lain halnya bila target timnas hanya sebatas menjadi peserta dan memberi pengalaman bagi para atlet muda di ajang kompetisi olahraga empat tahunan paling bergengsi di Asia, yang akhirnya diselenggarakan di Indonesia setelah 56 tahun lamanya. Maka saya dan –mungkin- rakyat pendukung timnas basket Indonesia dapat memahami keputusan timnas (#kasihpengalamanyangterbaikuntukatletmuda). Mari dukung basket Indonesia.(*)

Foto: Alexander Anggriawan

Komentar