Panggung telah disediakan, para aktor pun telah dipilih. NBA melaju ke babak playoff. Tim-tim lantas bersiap untuk menghadapi lawan dari deretan delapan terbaik di masing-masing wilayah. Sedikitnya ada 16 dari total 30 tim di NBA yang akan melanjutkan pertarungan di musim 2017-2018 ini.
Di tempat lain, Zach LaVine, garda Chicago Bulls, mengunggah sebuah foto dirinya di Instagram. Pada keterangan foto itu, ia menulis ungkapan perasaan kesal karena menutup musim lebih cepat sekaligus rasa terima kasih kepada para penggemarnya. Bagaimanapun, Bulls tidak cukup beruntung dalam mengarungi musim reguler tahun ini. Mereka gagal menembus playoff.
Selain Bulls, ada 14 tim lain yang bernasib sama. Padahal—jika melihat sejarahnya—di antara mereka mengalir “darah juara”. Sedikitnya, dari 14 tim itu, ada delapan yang pernah mencicipi gelar bergengsi.
Kendati begitu, entah karena bermaksud meregenerasi tim atau dengan alasan lain, tim-tim berdarah juara itu tidak lagi menjadi juara. Bahkan untuk bertarung merebutkan gelar juara pascamusim reguler pun mereka tidak berhak.
Bagaimanapun, seperti dalam sajak “Pemberian Tahu” karya Chairil Anwar, nasib adalah kesunyian masing-masing. Jika dulu tim-tim tersebut memang pernah juara, kini mereka begitu semenjana. Sekali lagi, entah karena bermaksud meregenerasi atau dengan alasan lain, mereka menanggung sendiri hasilnya.
Dalam menyambut playoff ini, Mainbasket kemudian mengumpulkan potongan sejarah kedelapan tim itu; kapan mereka pernah juara, mengapa tidak juara lagi sampai kapan terakhir kali menembus playoff.
(Baca juga: Tim-tim Semenjana di NBA yang Berdarah Juara (1/2))
Berikut tim-tim semenjana berdarah juara tersebut:
New York Knicks (1970 dan 1973)
Kepala Pelatih Red Holzman mengarahkan timnya, New York Knicks, ketika bertanding di NBA. Foto: Demaria/NY Daily News
Sama seperti tetangganya, New York Knicks memiliki sejarah panjang. Terbentuk pada 1946, Knicks baru bisa menjuarai NBA pada 1970. Ketika itu Kepala Pelatih Williams "Red" Holzman, salah satu pelatih terbaik dalam sejarah Knicks, membawa timnya menjalani musim terbaik mereka setelah terpuruk di musim-musim sebelumnya.
Knicks berhasil melaju ke final di tahun itu, menghadapi Los Angeles Lakers di laga pertaruhan. Kedudukan sempat imbang 2-2 sehingga kedua tim memaksa pertandingan ke pertandingan kelima. Willis Reed, kapten Knicks, kemudian mengalami cedera otot di kaki kanannya di kuarter dua dan absen di sisa pertandingan. Namun, Knicks berhasil menyelamatkan diri dan memenangkan pertandingan.
Tanpa Reed, Knicks tumbang di pertandingan keenam. Namun, tim ini bisa bangkit di pertandingan terakhir; sebuah penentuan. Reed yang cedera memaksa bermain di pertandingan itu, memasukkan poin pertamanya sebelum berakhir tanpa mencetak angka lagi di sisa pertandingan. Meski tampil tanpa kekuatan penuh, Reed yang cedera menginpirasi pemain lainnya untuk mengerahkan seluruh kemampuan mereka. Knicks pun memenangkan pertandingan terakhir itu dan menjadi juara NBA untuk pertama kalinya, dan Reed merengkuh gelar pemain terbaik final; melengkapi dua gelar pemain terbaik NBA dan All-Star. Ia pun menjadi pemain pertama yang merengkuh tiga gelar pemain terbaik di NBA dalam satu musim.
Knicks kembali ke playoff di musim-musim selanjutnya. Namun, mereka belum juara lagi sampai 1973. Kala itu Knicks berhasil mengalahkan Lakers 4-1. Dua musim kemudian, Reed memutuskan pensiun. Setelah itu, mereka tidak lagi jadi juara dan era pun berganti.
Runtuhnya Knicks terjadi pada 2000-2003. Ketika Patrick Ewing tidak lagi memperkuat tim ini, Knicks berusaha untuk membangun ulang kekuatan mereka. Namun, alih-alih membangun ulang kekuatan, para pandit malah menilai Knicks telah salah mengambil langkah karena membayar terlalu mahal para pemain berperforma buruk. Sejak saat itu, tim asal New York ini jadi tim semenjana di NBA. Bahkan kedatangan Phil Jackson yang membuat Chicago Bulls dan Lakers juara di jajaran manajemen (2013-2017) dan pemain kaliber All-Star, Carmelo Anthony (2011-2017), tidak juga membuat mereka kembali ke jalur juara. Mereka hanya sempat masuk ke playoff pada 2012-2013, dan setelah itu tidak lagi ke sana.
Detroit Pistons (1989, 1990, 2004)
Detroit Pistons merengkuh gelar juara NBA terakhir mereka pada 2004 silam. Foto: David Gilkey/Detroit Free Press
Pada 1988 (Bad Boys Era), Detroit Pistons pindah ke Auburn Hills dan bermain di markas baru mereka di The Palace of Auburn Hills. Saat itu pula, Piston menukar Adrian Dantley dengan Mark Aguirre dari Dallas Mavericks untuk membangun ulang kekuatan mereka.
Pada mulanya, para penggemar tidak menyukai pertukaran tersebut. Namun, Pistons berhasil membangun kejayaan mereka dengan kehadiran Aguirre. Belum lagi pemain andalan mereka, Joe Dumars, berhasil menunjukkan performa bagusnya. Pistons pun keluar sebagai juara NBA untuk pertama kalinya dengna mengalahkan Los Angeles Lakers 4-0 di final. Kala itu Dumars juga berhasil menjadi pemain terbaik di laga final.
Semusim kemudian, Pistons berhasil menjadi juara lagi; menjadikan mereka juara dua musim beruntun. Kala itu, giliran Isiah Thomas yang menjadi pemain terbaik di laga final. Namun, sayang, gelar tersebut sekaligus menjadi akhir dari era juara mereka.
Pada 1991, tidak ada tim lain selain Michael Jordan dan Chicago Bulls yang dapat menjuarai NBA. Dominasi Bulls dari 1991-1998 menjadi momok mengerikan bagi tim manapun. Pistons pun sulit untuk juara lagi. Namun, hari baik ternyata terjadi lagi di milenium baru. Pistons pada akhirnya dapat juara lagi pada 2004.
Kala itu Pistons diisi pemain-pemain seperti Chauncey Billups, Richard Hamilton, Tayshaun Prince, Ben Wallace dan Rasheed Wallace. Kelima orang ini dan pemain lainnya berhasil membawa Pistons merengkuh gelar ketiga mereka. Pasukan Kepala Pelatih Larry Brown saat itu berhasil menumbangkan Lakers—yang masih diperkuat Kobe Bryant, Shaquille O’Neal, Karl Malone, dan Gary Payton—dengan kedudukan 4-1.
Setelah merengkuh gelar tersebut, Pistons tidak lagi juara. Namun, mereka berhasil ke playoff dalam empat musim beruntun. Sayangnya, pada 2008 mereka gagal membangun ulang timnya. Mereka menukar Billups dan Antonio McDyess untuk mendapatkan Allen Iverson. Alih-alih membangun ulang timnya, Pistons malah mengalami berbagai kontroversi dan kendala cedera. Iverson cedera punggung, Hamilton komplain karena tak lagi menjadi pilihan utama, dan kontroversi lain di jajaran manajemen membuat Pistons tak sehat. Sejak itu mereka pun gagal ke playoff.
Pistons baru ke playoff lagi pada 2015-2016. Namun, mereka harus berhenti di ronder pertama setelah kalah dari Cleveland Cavaliers. Cavaliers—yang diperkuat trio LeBron James, Kyrie Irving, dan Kevin Love—di tahun itu keluar sebagai juara. Setelah itu, Pistons tidak lagi ke playoff dan menjadi tim semenjana sampai dewasa ini.
Chicago Bulls (1991, 1992, 1993, 1996, 1997, dan 1998)
Trio Chicago Bulls: Michael Jordan (23), Scottie Pippen (33), dan Dennis Rodman (91). Andrew Bernstein/Getty Images
Sulit menyangkal Michael Jordan sebagai pemain terbaik sepanjang masa. NBA saja memanggilnya dengan sebutan GOAT (greatest of all time). Thomas Hauser, penulis biografi petinju legendaris Muhammad Ali, bahkan memasukkannya ke dalam tiga atlet berpengaruh di samping Ali dan Babe Ruth (baseball).
Jika melihat sejarahnya, Jordan memang luar biasa ketika bermain dengan Chicago Bulls. Kala itu, Bulls menjelma jadi tim yang dominan sekaligus ditakuti. Bagaimana tidak, gelar juaranya ada enam. Semuanya ketika Jordan masih ada.
Bulls pertama kali juara pada 1991. Di musim itu, mereka merengkuh rekor 61 kemenangan sehingga tim asal Chicago tersebut berhak melaju ke playoff. Kala itu, mereka menyapu New York Knicks di ronde pertama, menumbangkan Philadelphia 76ers di semifinal wilayah, dan mengalahkan juara bertahan Detroit Pistons di final wilayah sampai akhirnya juara setelah menang 4-1 dari Los Angeles Lakers. Gelar juara Bulls pada tahun itu sekaligus menjadi penanda dominasi mereka selama tiga tahun ke depan.
Jordan, dibantu Scottie Pippen dan lainnya, berhasil menjadi juara tiga tahun beruntun (1991-1993). Namun, Bulls gagal mempertahankan gelar pada 1994 lantaran Jordan memutuskan pensiun tiga bulan setelah kasus pembunuhan ayahnya. Keputusan itu pun membuat publik terkejut.
Tidak sampai di situ, Jordan lagi-lagi membuat kejutan. Ia memutuskan keluar dari masa pensiunnya dan kembali membela Bulls pada 1995-1996. Di musim itu, musim debutnya lagi, Jordan dkk. berhasil menjadi juara setelah gagal mempertahankan gelar.
Kala itu, Bulls diperkuat trio Jordan, Pippen, dan tambahan amunisi bernama Dennis Rodman. Mereka juga punya penembak jitu yang kini menjadi kepala pelatih Golden State Warriors, Steve Kerr. Dengan pemain-pemain itu, mereka pun menjadi juara tiga musim beruntun (1996-1998). Pasukan kepala pelatih legendaris Phil Jackson pun kembali menunjukkan dominasinya.
Tahun berlalu, para pemain mulai menua, Bull merasa pelu untuk membangun ulang kekuatan mereka. Manajer Umum Jerry Krause melihat para pemainnya terlalu tua dan sulit berkompetisi, sehingga mereka memutuskan untuk merombak timnya. Mereka menukar Pippen ke Houston Rockets dan Steve Kerr ke San Antonio Spurs. Mereka juga mengakhiri kerja sama dengan Rodman dan Kepala Pelatih Jackson. Sementara itu, Michael Jordan, pemain terbaik mereka, menyatakan pensiun lagi seiring kepergian Jackson dari Chicago. Maka, berakhirlah era juara mereka.
Dengan berakhirnya era juara, Bulls tidak lagi mendapat tempat di playoff sejak 1998-1999. Mereka absen di babak itu sampai tahun 2004. Karena setelah itu, mereka akhirnya mendapat tiket ke playoff lagi, kecuali di musim 2007-2008.
Performa Bulls timbul-tenggelam di milenium baru (era 2000-an), tapi kehadiran Derrick Rose bak juru selamat. Pemain terbaik NBA 2011 itu setidaknya memberi harapan bagi publik Chicago untuk melihat tim kesayangan mereka bertarung di playoff lagi. Sayangnya, Rose mengalami cedera dan sulit kembali ke performa terbaiknya. Ia pun pergi dari Chicago pada 2016 lalu setelah gagal masuk ke playoff di tahun itu.
Kendati demikian, Bulls mampu melaju ke playoff lagi pada 2016-2017 meski Rose telah tiada. Itulah playoff terakhir mereka.
Los Angeles Lakers (1949, 1950, 1952, 1953, 1954, 1972, 1980, 1982, 1985, 1987, 1988, 2000, 2001, 2002, 2009, 2010)
Kobe Bryant, pemain legendaris Los Angeles Lakers, dengan lima trofi juara NBA yang ia raih sepanjang karirnya. Foto: SLAM
Los Angeles Lakers merupakan tim berdarah juara dengan gelar kedua terbanyak di NBA. Mereka hanya kalah satu piala dari Boston Celtics yang memiliki 17 gelar juara. Namun, tidak seperti seterunya itu, Lakers kini menjadi tim semenjana.
Kendati demikian, Lakers memiliki sejarah panjang dalam hidupnya sebagai tim berdarah juara. Mereka merengkuh gelar pertama kali pada 1949. Saat itu, Lakers masih tinggal di Minneapolis di Minnesota, Amerika Serikat. Nama mereka kala itu adalah Minneapolis Lakers.
Sebagai tim kuat, Lakers di era Minneapolis (1947-1960) berhasil menjadi juara lima kali. Setelah itu, mereka pun pindah ke Los Angeles di California, dan mengganti nama dengan Los Angeles Lakers.
Sebagai tim asal Los Angeles (1960-sekarang), Lakers dan pemain-pemainnya menorehkan berbagai prestasi, termasuk 11 kali juara NBA. Dalam rentang tahun itu, pemain-pemain legendaris pun pernah membela tim ini, di antaranya: Kobe Bryant, Shaquille O’Neal, Kareem Abdul-Jabbar, Wilt Chamberlain, Magic Johnson, juga Jerry West si logo NBA. Sulit menyebutnya tim semenjana jika melihat sejarahnya. Namun, dewasa ini Lakers memang tampak seperti itu.
Lakers terakhir kali juara pada 2010. Kala itu Kepala Pelatih Phil Jackson masih melatih mereka. Kobe Bryant pun masih membela Lakers. Namun, semusim setelahnya, Lakers tidak lagi dipimpin Jackson karena sang pelatih memutuskan pensiun. Sejak itulah mereka tidak lagi juara.
Kendati begitu, Lakers masih cukup kuat untuk melaju ke playoff selama dua musim berturut-turut (2012-2014). Regenerasi tim yang mereka lakukan tidak lagi berhasil membuat mereka ke playoff di musim berikutnya. Bryant pun sudah terlalu tua dan sakit-sakitan untuk memimpin tim ini. Maka, ia memutuskan pensiun pada 2016 lalu.
Ketika Bryant tidak ada, Lakers terus membangun ulang timnya. Mereka berusaha menemukan bentuk terbaiknya; merekrut beberapa pemain muda potensial untuk masa depan mereka. Maka, Lonzo Ball pun mereka pilih di NBA Draft 2017. Sayangnya, sang rookie dan kroninya belum mampu mengembalikan Lakers ke podium juara, bahkan untuk masuk ke playoff saja sulitnya minta ampun. Musim 2017-2018 ini saja mereka hanya merengkuh 35 kemenangan dari total 82 pertandingan. Itu artinya mereka lebih banyak kalah daripada menang.
Foto: Tim Bradbury/Getty Images/AFP