Panggung telah disediakan, para aktor pun telah dipilih. NBA melaju ke babak playoff. Tim-tim lantas bersiap untuk menghadapi lawan dari deretan delapan terbaik di masing-masing wilayah. Sedikitnya ada 16 dari total 30 tim di NBA yang akan melanjutkan pertarungan di musim 2017-2018 ini.

Di tempat lain, Zach LaVine, garda Chicago Bulls, mengunggah sebuah foto dirinya di Instagram. Pada keterangan foto itu, ia menulis ungkapan perasaan kesal karena menutup musim lebih cepat sekaligus rasa terima kasih kepada para penggemarnya. Bagaimanapun, Bulls tidak cukup beruntung dalam mengarungi musim reguler tahun ini. Mereka gagal menembus playoff.

Selain Bulls, ada 14 tim lain yang bernasib sama. Padahal—jika melihat sejarahnya—di antara mereka mengalir “darah juara”. Sedikitnya, dari 14 tim itu, ada delapan yang pernah mencicipi gelar bergengsi. 

Kendati begitu, entah karena bermaksud meregenerasi tim atau dengan alasan lain, tim-tim berdarah juara itu tidak lagi menjadi juara. Bahkan untuk bertarung merebutkan gelar juara pascamusim reguler pun mereka tidak berhak.

Bagaimanapun, seperti dalam sajak “Pemberian Tahu” karya Chairil Anwar, nasib adalah kesunyian masing-masing. Jika dulu tim-tim tersebut memang pernah juara, kini mereka begitu semenjana. Sekali lagi, entah karena bermaksud meregenerasi atau dengan alasan lain, mereka menanggung sendiri hasilnya.

Dalam menyambut playoff ini, Mainbasket kemudian mengumpulkan potongan sejarah kedelapan tim itu; kapan mereka pernah juara, mengapa tidak juara lagi sampai kapan terakhir kali menembus playoff.

(Baca juga: Tim-tim Semenjana di NBA yang Berdarah Juara (2/2))

Berikut tim semenjana berdarah juara tersebut:    

Dallas Mavericks (2011)

Dallas Mavericks ketika merengkuh gelar juara NBA untuk pertama kali pada 2011. Foto: Mark Ralston/AFP/Getty Images 

 

Pada 2011, Dallas Mavericks merupakan tim kuda hitam di NBA. Mereka tidak diunggulkan menjadi juara mengingat lawannya yang tampak digdaya. Kala itu, Mavericks mesti melawan Miami Heat yang dihuni trio bintang NBA: LeBron James, Dwyane Wade, dan Chris Bosh. Namun, cerita menjadi beda ketika para pemain sarat pengalaman Mavericks mati-matian merebut gelar dalam enam pertandingan final.

Pada tahun juara itu, Mavericks masih dihuni pemain-pemain senior dengan kemampuan kaliber All-Star. Jason Kidd (yang namanya kini terpilih sebagai finalis pemain legendaris versi Naismith Memorial Basketball Hall of Fame 2018) mengisi posisi garda utama ketika Dirk Nowitzki berperan sebagai forwarda andalan.

Kepala Pelatih Rick Carlisle bahkan memiliki sixthman sekelas Shawn Marion dengan rata-rata 12,5 poin dan 6,9 rebound dan Jason Terry yang menjadi mesias di pertandingan keenam final NBA dengan mencetak 27 poin. Dengan bantuan pemain lainnya, nama-nama inilah yang membuat mereka yang kuda hitam itu jadi juara, mengandaskan Heat dengan kedudukan 4-2.

Semusim berikutnya, NBA memangkas jumlah laga di musim reguler dengan hanya 66 pertandingan akibat lockout (momen ketika sebuah masalah membuat NBA menghentikan kegiatan mereka). Pada jeda musim itu, Mark Cuban, pemilik tim, memutuskan melepas beberapa pilar untuk menjaga keuangan mereka. Maka, Mavericks pun melepas Tyson Chandler, Caron Butler, J.J. Barea, dan DeShawn Stevenson. Kemudian, mereka merekrut Lamar Odom, Vince Carter dan Delonte West. Namun, upaya itu ternyata tak membuahkan hasil yang bagus.

Mavericks berhak merayakan gelar mereka dengan menggantung spanduk juara  pada musim 2011-2012. Namun, mereka justru kesulitan di musim itu dengan berakhir di peringkat tujuh di Wilayah Barat. Mereka bahkan kalah 0-4 dari Oklahoma City Thunder di ronde petama playoff; menjadikan mereka juara bertahan ketiga yang kalah di ronde pertama setelah Miami Heat dan Philadelphia Warriors.

Pada 2012-2013, Mavericks gagal ke playoff untuk pertama kalinya sejak 2000 karena cederanya Nowitzki dan dilepasnya Kidd serta Terry ke tim lain. Perombakan tim membuat mereka tidak memiliki kekuatan inti yang cukup kuat untuk menjadi tim yang ditakuti. Setelah itu, mereka pun limbung dan mengarungi musim sebagai tim semenjana.

Mavericks masuk playoff kembali semusim kemudian, tetapi mereka kalah melulu di babak itu di musim-musim selanjutnya. Tim asal Dallas itu merombak timnya berulang-ulang; merekut Harrison Barnes, Nerlens Noel, Seth Curry, dan Yogi Ferrell supaya dapat mengarungi musim 2016-2017 lebih baik. Namun, lagi-lagi nasib memang kesunyian masing-masing. Mereka gagal ke playoff tahun lalu, juga musim ini. Itu artinya, Mavericks terakhir kali menembus playoff dua tahun lalu.       

Atlanta Hawks (1985)

Kepala Pelatih Mike Budenholzer mengarahkan pemainnya, Al Horford dan Kyle Korver, ketik Atlanta Hawks sedang bertanding. Foto: Jason Getz/USA TODAY Sports

 

Pada 1954, Milwaukee Hawks (sekarang Atlanta Hawks) bukanlah sebuah tim yang kuat. Saat itulah mereka memiliki kesempatan merekrut Bob Pettit lewat NBA Draft. Pettit lalu menjelma jadi bintang masa depan mereka sekaligus penerima anugerah MVP pertama dalam sejarah NBA (1956).

Pada 1955, Hawks kemudian pindah dari Milwaukee ke St. Louis di Missouri, Amerika Serikat, sehingga nama mereka berganti jadi St. Louis Hawks. Setahun kemudian, mereka merekrut pemain legendaris, Bill Russell, melalui draft. Namun, Hawks langsung mengirimnya ke Boston Celtics untuk mendapatkan Cliff Hagan dan Ed Macauley—dua pemain yang kemudian masuk ke jajaran Hall of Fame.

Perlahan-lahan, Hawks membangun kekuatannya sendiri. Pettit, sang pemain, menjadi pusat kekuatan mereka sehingga saat itu biasa disebut Bob Pettit Era (1954-1965). Maka, setahun kemudian mereka berhasil merengkuh gelar divisi. Namun, di tahun itu—sebagai catatan—Divisi Barat memang sedang lemah. Tidak heran jika Hawks bisa lolos sampai ke final.

Di final, Hawks mesti berhadapan dengan Boston Celtics. Mereka bermain hingga tujuh pertandingan, dan kalah lewat drama dua kali babak tambahan. Pettit dkk. pun harus merelakan gelar juara yang sudah di depan mata.

Pada 1958, setelah mengulang kesuksesan mereka musim lalu, Hawks akhirnya kembali ke final. Kali itu, mereka juga mesti berhadapan kembali dengan Celtics. Saat itulah tim asal St. Louis itu berhasil membalaskan dendam; mengalahkan seterunya dengan kedudukan 4-2. Pettit mencetak 50 poin di pertandingan terakhir itu. Hakws—untuk pertama kali dan satu-satunya—berhasil menjadi juara.

Sejak saat itu, Hakws menjadi tim yang diperhitungkan. Bob Pettit Era menjadi salah satu penanda zaman yang membuat mereka diingat pecinta basket dunia. Namun, setelah itu, mereka justru gagal mempertahankan gelar meski Pettit pada 1959 mendapat gelar pemain terbaiknya yang kedua.

Pada 1965, Bob Pettit Era berakhir. Pada saat itu pula, Hawks pindah ke Atlanta setelah serangkaian keputusan yang membuat mereka dijual ke pemilik lain di kota itu. Pasukan yang sebelumnya menetap di St. Louis pun berbondong-bondong pergi ke Georgia, beregenerasi hingga dewasa ini.

Hawks mengalami naik-turun performa hingga sampai di era Kepala Pelatih Mike Budenholzer (2013-sekarang). Pada era ini, mereka mendapat atensinya kembali dengan selalu masuk ke playoff. Bahkan pada 2014-2015, mereka sampai ke final Wilayah Timur; dikalahkan Cleveland Cavaliers 4-0.

Pada 2017-2018, Hawks melakukan perombakan tim dengan melepas Paul Milsapp ke Denver Nuggets; membuat barisan pemain mereka diisi oleh pemain-pemain muda. Oleh karena itu, di musim ini, Hawks gagal menembus playoff pertama kalinya sejak 2008.    

Sacramento Kings (1951)

Jason Williams, garda utama Sacramento Kings, menjadi salah satu penggawa Greastest Show on Court Era. Foto: NBAE/Getty Images  

 

Sacramento Kings sebenarnya belum pernah menjuarai NBA. Namun, ketika masih bernama Rochester Royals, mereka pernah juara pada 1951—dua tahun setelah Royals bergabung ke NBA (Royals sebelumnya merupakan peserta BAA).

Royals saat itu menjuarai NBA dengan mengalahkan New York Knicks 4-3. Gelar itu kemudian menjadi gelar juara pertama dan satu-satunya yang pernah mereka rengkuh selama 70 tahun eksis di dunia basket (sejak bernama Rochester Royal, Cincinnati Royals, Kansas City Kings hingga sekarang berubah jadi Sacramento Kings).

Pada perjalanannya, Kings mengalami pasang-surut. Era berganti era, tetapi mereka sulit keluar dari mediokritas. Namun, setidaknya, Greatest Show on Court Era (1998-2004) menjadi obat bagi para pecintanya. Kehadiran pemain-pemain seperti Jason Williams, Chris Webber, Vlade Divac, Doug Christie dan Peja Stojakovic membuat mereka bergairah lagi. Kings berhasil menembus playoff pada 2001 meski akhirnya kalah di ronde dua dari Los Angeles Lakers—sang juara musim itu.

Semusim setelahnya, Kings memiliki kesempatan untuk membalas dendam kepada Lakers di final Wilayah Barat. Sayangnya, mereka harus menelan pil pahit lagi karena kalah 4-3 dalam pertandingan kontroversial. Ya, kontroversial karena laga itu dipimpin Tim Donaghy, wasit NBA yang melakukan pengaturan pertandingan.

Tahun berganti tahun, tapi Kings tetap menjadi langganan playoff meski menelan pil pahit di final wilayah itu. Bagi penggemarnya, kejadian itu melukai hati mereka, dan luka itu semakin menganga ketika Kings memasuki musim 2006-2007. Saat itu, Kings menjadi tim semenjana (lagi) karena selalu gagal ke playoff hingga dewasa ini.   

Brooklyn Nets (1974 dan 1976)

Kevin Garnett (2) dan Paul Pierce (34) pindah dari Boston Celtics ke Brooklyn Nets pada 2012. Kathy Willens/AP Photo

 

Brooklyn Nets memiliki sejarah panjang sebagai tim di NBA. Sebelum bermarkas di Brooklyn seperti dewasa ini, Nets sebenarnya berasal dari Teaneck, New Jersey, Amerika Serikat. Pada mulanya, mereka bernama New Jersey Americans. Kemudian, mereka pindah ke Long Island pada 1968 dan berganti nama menjadi New York Nets.

Ketika bernama New York Nets, tim ini belum bergabung dengan NBA. Mereka masih bermain di bawah naungan ABA, dan tim ini merekrut Julis Erving. Kedatangan Erving kemudian membawa berkah, mereka berhasil menjadi juara pada 1973-1974 dengan mengalahkan Utah Stars 4-1. Erving di musim itu menjadi pemain terbaik dan pemain terbaik di final

Nets tidak mampu mempertahankan gelar juaranya semusim kemudian. Namun, mereka justru kembali juara di musim 1975-1976 dengan mengalahkan Denver Nuggets 4-2. Erving lagi-lagi berhasil merenguh gelar pemain terbaik dan pemain terbaik di final musim itu. Kehadiran pemain legendaris ini bak juru selamat bagi Nets di era ABA.

Sayangnya, setelah ABA merger dengan NBA, Nets yang mengikuti mereka tidak pernah juara lagi. Kala itu mereka tidak lagi memiliki Julis Erving lantaran masalah finansial. Sang pemain hengkang akibat Nets mengingkari janji untuk menaikkan gajinya. Maka, tim dengan dua gelar juara itu tidak lagi memiliki inti kekuatan mereka sementara persaingan semakin ketat di NBA.

Pada 1977, Nets kembali ke New Jersey dan mengganti nama menjadi New Jersey Nets. Selama bermarkas di sana, mereka melakukan berbagai upaya untuk mengembalikan kejayaannya.

Nets hampir mendapatkan kejayaannya kembali ketika Jason Kidd, garda legendaris NBA, membawa tim ini ke final dalam dua musim berturut-turut (2001-2002 dan 2002-2003). Namun, di dua kesempatan itu mereka justru gagal menjadi juara.

Pada 2003-2004, Nets kembali masuk ke playoff. Namun, mereka dikalahkan Detroit Pistons di semifinal wilayah. Tahun itu, Pistons kemudian keluar sebagai juaranya.

Nets terus melaju ke playoff sampai 2006-2007. Setelah itu mereka absen di playoff selama lima tahun, sampai akhirnya pindah ke Brooklyn dan berganti nama menjadi Brooklyn Nets pada 2012. Di musim itulah Nets kembali ke playoff.

Semusim kemudian, Nets merekrut pemain-pemain senior sarat pengalaman dari Boston Celtis: Kevin Garnett dan Paul Pierce. Kedua pemain itu melengkapi Nets yang sebelumnya sudah memiliki Deron Williams, Brook Lopez, dan Joe Johnson. Belum lagi Jason Kidd juga diangkat menjadi kepala pelatih. Mereka pun berhasil melaju ke playoff, tapi kalah di semifinal wilayah melawan Miami Heat.

Pada 2014-2015, Nets kembali ke playoff. Namun, mereka lagi-lagi gagal melaju ke final setelah dikalahkan Atlanta Hawks. Setelah itu mereka pun tidak lagi melaju ke playoff dan menjadi tim semenjana. Pemain-pemain sarat pengalaman nyatanya tidak menjamin mereka bisa berhasil di NBA, bahkan untuk sekadar melaju ke final.

Foto: NBA

Komentar