Naismith Memorial Basketball Hall of Fame setiap tahunnya mengumumkan orang-orang terpilih yang namanya berhak masuk ke deretan sejarah bola basket dunia. Pada 2018 ini, mereka mengumumkan 13 nama yang akan resmi dilantik sebagai Hall of Famer pada 7 September mendatang. Basketball Hall of Fame (BHOF) angkatan 2018 ini, di antaranya: Steve Nash, Jason Kidd, Ray Allen, Grant Hill, Maurice Cheeks, Charlie Scott, Dino Radja, Tina Thompson, Katie Smith, Ora Mae Washington, Rick Welts, Rod Thorn, dan Lefty Driessel.
Nama-nama di atas terpilih setelah berkas mereka—berupa catatan informatif dari berbagai media seperti surat kabar, majalah, dan data-data faktual lainnya—dikurasi melalui proses panjang. Setelah itu, berkas-berkas valid memasuki tahap saring dan pemungutan suara yang melibatkan komite-komite tertentu. Oleh karena itu, perlu bagi para pihak yang terlibat mengetahui sejarah para calon penerima Hall of Fame sebelum memutuskan mereka menjadi finalis.
Dengan semangat yang sama, Mainbasket pada kesempatan ini akan mengulas kisah-kisah para (calon) Hall of Famer yang akan dilantik secara resmi September mendatang. Mereka—ke-13 Hall of Famer angkatan 2018—memiliki kisahnya masing-masing.
***
Pada 1996, David Stern, komisioner NBA terdahulu (1984-2014), mendirikan kompetisi bola basket perempuan di Amerika Serikat. Saudari NBA itu kini terkenal dengan nama WNBA. Sejak itu (kompetisi dimulai pada 1997), WNBA pun menelurkan pemain-pemain legendaris; dari yang berprestasi di tingkat nasional sampai ke kancah dunia.
Tina Thompson, 43 tahun, menjadi salah satu produk sukses WNBA. Namanya bahkan terpilih sebagai finalis Basketball Hall of Fame pada 2018 ini. Ia akan resmi dilantik pada September mendatang dan sejarah hidupnya bakal abadi di Naismith Memorial Basketball Hall of Fame.
Thompson terkenal sebagai pemain pilihan (draft pick) pertama dalam sejarah WNBA. Setelah bermain untuk University of Southern California, Houston Comets memilih Thompson pada 1997. Sejak itu, ia pun memulai dinastinya bersama Comets dengan menjuarai liga empat kali beruntun.
Di musim debutnya, Thompson langsung menjadi salah satu senjata Comets dalam meraih gelar juara pertama mereka. Ia mampu mengisi slot di lima utama dan bermain sebanyak 28 kali musim itu. Thompson, yang bermain sebagai forwarda, rata-rata mencetak 13,2 poin per laga dengan tambahan 6,6 rebound, 1,1 asis, dan 1 blok di musim reguler. Catatan-catatan tersebut menjadi penanda dimulainya sejarah seorang Tina Thompson di tingkat profesional.
Tina Thompson (kiri) bersama rekan-rekannya di L.A. Sparks: DeLisha Milton-Jones (tengah) dan Candace Parker (kanan). Foto Eric Wade EW/Gems Images
Thompson bermain dengan Comets selama 12 musim, mencatatkan berbagai prestasi seperti empat kali juara. Namun, dalam rentang waktu itu ia tidak hanya membela Comets. Ada tim lain yang pernah ia bela kala WNBA berakhir.
Ada satu tren yang memang terkenal di kalangan pebasket perempuan di Amerika Serikat. Jika WNBA sedang libur, para pemainnya seringkali “merantau” ke Eropa atau negara-negara lain untuk mendapat kesempatan bermain dan uang yang lebih banyak. Sudah bukan rahasia lagi jika gaji WNBA jauh lebih sedikit ketimbang para pemain NBA. Itulah mengapa hal ini terjadi, bahkan sampai dewasa ini.
Dengan adanya tren itu, Thompson pun sempat membela Rovereto Basket di Italia pada 2001-2002. Pada 2003, ia bertolak ke Korea Selatan untuk bermain dengan Incheon Kumho Life Falcons.
Dalam kurun waktu 2005-2007, Thompson bermain untuk Cheonan Kookmin Bank Savers (Korea Selatan) dan Spartak Moscow Region (Rusia), lalu Municipal MCM Targoviste di Romania pada 2010. Thompson lalu kembali ke Korea Selatan untuk membela dua tim berbeda (Chuncheon Woori Bak Hansae dan Guri KDB Life Winnus) pada 2012-2014. Jika melihat sekilas, tren itu bisa juga diibaratkan sebagai selingan para pemain WNBA untuk membuat mereka tetap fit selama libur sambil meraup keuntungan lebih.
Kerja keras Thompson di WNBA, Eropa bahkan Asia membawanya ke tim nasional Amerika Serikat. Ia mendapat medali emas dua kali di Olimpiade 2004 dan 2008, sampai ia kembali ke tempat di mana ia tumbuh.
Seperti kata penulis berkebangsaan Irlandia, George August Moore, seseorang seringnya menjelajahi seluruh dunia untuk mencari apa yang ia butuhkan dan kembali ke rumah untuk menemukan itu. Sang legenda pun pada akhirnya melakukan itu. Pada 2009, ia pulang ke tempat kelahirannya di Los Angeles, California, Amerika Serikat, untuk membela Los Angeles Sparks.
“Kami senang sekali membawa pemain sekaliber Tina ke mari,” kata Michael Cooper, kepala pelatih Sparks saat itu, seperti dikutip NBA.com. “Ia mampu mendominasi di kedua sisi lapangan (ketika menyerang maupun bertahan) dan akan menjadi kepingan yang melengkapi puzzle kami untuk menjuarai liga.”
Kedatangan Thompson ke Los Angeles juga disambut hangat legenda NBA—Earvin “Magic” Johnson. Pria yang kini menjadi president of basketball operations Los Angeles Lakers itu mengaku senang dengan kedatangan Thompson.
“Saya selalu jadi penggemar besar Tina sejak ia bermain untuk USC,” ungkap Johnson. “Ia perempuan yang hebat di dalam maupun di luar lapangan, seorang ibu yang hebat di waktu yang sama. Dengan pengalaman juaranya di Houston, ia punya apa yang dibutuhkan Lisa (Leslie), Coop (Michael Cooper) dan Sparks untuk membawa gelar juara ke L.A., dan saya merasa terhormat ia akan mengenakan seragam nomor 32 di sana.”
Sejak pindah ke Los Angeles, Thompson memang mengenakan nomor 32 untuk menghormati Johnson sebagai legenda setempat. Selama itu pula, Thompson menjadi salah satu bagian penting Sparks dalam mengarungi musim-musim di WNBA. Dalam perjalanannya di kota itu, ia pun berhasil menjadi pencetak angka terbanyak dalam sejarah WNBA (sebelum Diana Taurasi dari Phoenix Mercury memecahkan rekor itu). Selama karirnya, Thompson telah mencetak 7488 poin.
“Saya mulai bermain basket di L.A.,” ujar Thompson seperti dikutip ESPN pada 2010. “Apa pun yang bisa saya capai di sini adalah hal besar karena saya tampil di depan keluarga saya, teman-teman saya, dan orang-orang yang mendukung saya.”
Tina Thompson mengakhiri karirnya di Seattle Storm pada 2013. Foto: Joe Nicholson/US PRESSWIRE
Di pengujung karirnya, Thompson tidak bertahan di Los Angeles. Ia kemudian merantau lagi ke Seattle untuk membela Storm. Ia bermain selama dua musim (2012-2013), lalu pensiun di sana sebagai seorang legenda hidup. Pertandingan antara Storm dan Minnesota Lynx di playof ronde pertama pada 2013 menjadi penampilan terakhirnya. Saat itu ia mencetak 13 poin sekaligus salam perpisahan. Secara keseluruhan, ia membukukan rata-rata 15,1 poin, 6,2 rebound, dan 1,6 asis per laga selama 17 musim di WNBA.
Tiga tahun berselang sejak memutuskan pensiun, WNBA memasukkannya ke deretan 20 pemain terbaik sepanjang masa dari total 60 nominator. Gelar bergengsi itu akan kian bertambah seiring Hall of Fame secara resmi melantiknya pada 7 September mendatang. Nama Tina Thompson akan segera berderet dengan nama-nama sekaliber Michael Jordan sampai pencipta olahraga basket, James Naismith, di bangunan paling bersejarah bagi mereka yang mencintai olahraga permainan tersebut.
Baca juga kisah Hall of Fame 2018 lainnya:
Jason Kidd, Legenda NBA yang Hampir Berhenti Basket
Steve Nash, Dari Medioker ke Jajaran Hall of Famer
Grant Hill dan Karir Basket yang Tidak Sempurna
Tina Thompson, Draft Pick Pertama dalam Sejarah WNBA
Ratu Tenis Jadi Juara Basket Perempuan 12 Kali
Foto: Danny Wild/USA TODAY Sports