Menapak Jejak Pebasket Afro-Amerika dalam Peringatan Black History Month
Introduksi
Amerika Serikat memiliki sejarah panjang yang melibatkan warga keturunan Afro-Amerika dalam kisahnya. Pada Februari setiap tahunnya, Amerika Serikat memperingati Black History Month untuk mengingat kembali tokoh-tokoh dan momen besar orang-orang kulit hitam. Upaya itu dilakukan untuk mengingatkan kembali betapa panjang dan hebat perjuangan mereka dalam persoalan kesetaraan ras dan hak asasi manusia.
Tidak terkecuali NBA, liga bola basket paling terkenal seantero dunia itu juga ikut memperingatinya. Elemen-elemen penting dalam sejarah Afro-Amerika seringkali tampil di saat-saat ini, entah lewat pernak-pernik seperti kaus maupun sepatu. Para pemainnya tampak hadir dengan semangat yang sama: kesetaraan (equality).
Dengan semangat itu, Mainbasket menggali kisah-kisah pemain keturunan Afrika dan menghadirkannya dalam enam tulisan. Kami mendefinisikan semangat kesetaraan secara luas untuk memaknai kisah-kisah inspiratif dari para pemain NBA keturunan Afrika.
Setelah mengangkat kisah Serge Ibaka yang pergi ke Eropa untuk mengubah nasibnya, kali ini Mainbasket menceritakan pemain kulit hitam pertama yang berlaga di NBA. Dialah Earl Lloyd, sang pionir kulit hitam di liga paling tersohor itu. Lloyd adalah kunci yang membuka kesempatan orang-orang keturunan Afrika untuk bermain di NBA.
***
Gregg Popovich, kepala pelatih San Antonio Spurs sekaligus tim nasional putra Amerika Serikat, paham betul betapa Black History Month perlu diperingati. Katanya, sudah sewajarnya NBA memperingati hajat besar itu karena liga terdiri dari banyak orang kulit hitam. Sekilas saja sudah terlihat, pemain-pemain di NBA memang mayoritas dari keturunan Afrika.
Kendati begitu, NBA pada mulanya justru tidak memainkan pemain berkulit hitam. Usut punya usut, hari besar pemain kulit hitam baru datang pada 1950. Saat itu, Earl Lloyd dan dua orang pemain kulit hitam lainnya terpilih lewat NBA Draft. Lloyd disebut sebagai pemain kulit hitam pertama NBA lantaran ia merupakan satu dari tiga pemain yang lebih dulu mendapat kesempatan bermain.
Kisah Earl Lloyd menuju Hall of Fame memang dimulai dari situ, tetapi keseluruhan hidupnya jauh lebih berarti. Earl Francis Lloyd, begitulah nama lengkapnya, lahir di Alexandria, Virginia, Amerika Serikat. Ia lahir pada 3 April 1928 dari rahim seorang ibu rumah tangga, dan ayahnya merupakan pekerja di industri batu bara.
Lloyd tumbuh besar ketika rasisme di Amerika Serikat masih sangat kental. Bahkan sampai dewasa ini, orang-orang masih merasakan hal itu terjadi di Negeri Paman Sam. “Kita tinggal negara yang rasis,” ujar Popovich lagi, seperti dikutip Dan Devine, Yahoo! Sports.
Kenangan Lloyd tentang karirnya bahkan hampir tidak bisa dikatakan manis di satu sisi. Pada 1955, misalnya, ketika ia membela Syracuse Nationals di final, pendukung tim lawan Fort Wayne Pistons di Indianapolis meneriakinya, menyuruhnya pergi dengan kalimat kasar.
“Para penggemar di Indianapolis, mereka berteriak, ‘Pulang sana ke Afrika.’ dan seringkali saya mendengar kata-kata merendahkan,” ujar Lloyd, seperti dikutip nba.com.
Menurut penuturan anak Earl Lloyd, Kevin, seperti diceritakan History, ayahnya itu melarang kedua orangtuanya (kakek dan nenek Kevin) menonton pertandingan. Ia tidak mau orangtuanya duduk di tribun dan mendengar teriakan-teriakan bernada rasis.
Earl Lloyd, forward, ketika membela Syracuse Nationals di NBA pada 1952-1958. Foto: AP
Lloyd sebenarnya tidak memulai karir basketnya di Syracuse Nationals. Ia justru sekolah terlebih dahulu dan membela tim West Virginia State, yang mana membuatnya tampil sebagai bintang andalan. Ia tidak tahu dirinya masuk NBA sampai teman kampusnya menceritakan sebuah rumor: Washington Capitols memilih Earl Lloyd.
Ya, Washington Capitols, ternyata memang benar-benar memilihnya pada NBA Draft 1950. Lloyd menjadi pemain ketiga yang terpilih di draft tahun itu bersama Chuck Cooper (Boston Celtics)—pemain kulit hitam pertama yang terpilih di NBA Draft—dan Nat Clifton (New York Knicks). Namun, Lloyd menjadi pemain hitam pertama yang bermain di NBA karena Capitols memainkannya pada Oktober 1950. Sementara itu, Cooper dan Clifton baru main pada November.
Tampil di antara orang-orang kulit putih benar-benar mengintimidasinya. Namun, rekan-rekannya di Capitols ternyata cukup menyambutnya. Sambutan itu memudahkan Lloyd menyesuaikan diri di awal karirnya.
Selama semusim, Capitols hanya memainkannya di tujuh pertandingan. Lloyd memang tidak punya banyak kesempatan bermain sampai ia bergabung ke militer di Fort Sill, Oklahoma, dan terlibat di Perang Korea. Amerika Serikat mengirimnya selama dua tahun untuk menunaikan masa bakti kepada negara.
Perang itu sebenarnya merupakan perang saudara. Pecah ketika Korea Utara menginvasi Korea Selatan menyusul bentrokan panjang di perbatasan. Sementara keterlibatan militer Amerika Serikat di sana lebih kepada menyokong Korea Selatan yang cenderung berpihak pada Negara Barat. Sementara itu, Korea Utara justru mendapat dukungan dari Cina dan Uni Soviet, musuh besar Amerika Serikat.
Lloyd tidak tinggal lama-lama di militer. Ia kembali dari perang, pulang ke Amerika Serikat tanpa kurang apapun, ia sehat dan siap bermain basket lagi. Namun, sayang, Capitols bubar karena masalah bisnis yang sulit. Ia pun menjadi seorang pemain tanpa rumah (free agent).
Dalam kondisi itu, Syracuse Nationals—yang kini menjadi Philadelphia 76ers—meminangnya pada 1952. Ia pun berhasil kembali ke NBA pasca terjun ke zona perang, meski pada zaman itu pemain kulit hitam memang belum cukup diperhitungkan.
Selama karirnya, Lloyd hanya mencatatkan rata-rata 8,4 poin, 6,4 rebound, dan 1,4 asis. Namun, ketika Nationals memenangkan gelar pada 1955, ia justru mengarungi musim terbaik selama karirnya. Secara statistik, saat itu ia mencatatkan 10,2 poin dan 7,7 rebound untuk timnya.
Kendati tidak begitu gemilang dalam catatan statistik, nama Earl Lloyd dikenang sebagai pionir pembuka jalan. Pada acara tahunan bertajuk Annual Black Heritage Celebration di Cleveland, Ohio, misalnya, Cavaliers menanyangkan film dokumenter tentang Lloyd di The Quickens Loan Arena. Film itu berjudul The First to Do It.
Dalam pemutaran film itu, Kevin juga tampak hadir di antara para penonton. Ia mengaku senang karena orang-orang menjadi tahu, siapa yang membukakan jalan bagi mereka ke NBA.
“Film ini ditujukan untuk semua orang,” ujar Kevin, seperti dikutip cleveland.com. “Khususnya ditujukan kepada semua anak yang bermain basket. Mereka perlu tahu siapa yang membukakan jalan untuk mereka.”
Earl Lloyd masuk ke jajaran Naismith Memorial Basketball Hall of Fame pada 2003. Foto: NBA
Karir Lloyd di NBA tidak berakhir di Nationals. Ia justru pensiun sebagai seorang pemain Detroit Pistons setelah membela tim itu selama dua musim. Secara total, Lloyd menghabiskan sembilan musim di NBA, yang mana bagi orang-orang kulit hitam, kisah itu menjadi inspirasi mereka.
Setelah pensiun, Lloyd menetap di Motor City—sebutan Kota Detroit—untuk menjalani hari tuanya sebagai pencari bakat dan asisten pelatih. Ia hampir menjadi kepala pelatih berkulit hitam pertama sebelum Bill Russell, legenda NBA, mengambil gelar itu. Lloyd baru bisa menjadi kepala pelatih pada 1970.
Setelah menunaikan baktinya kepada basket, Lloyd bekerja sebagaimana orang-orang kantoran. Ia melamar di sebuah sekolah sebagai administrator dan bekerja di sana sambil mengajarkan anak-anak mengembangkan kemampuan kerja mereka. Ia tidak berhenti memberikan dampak kepada orang-orang dan membukakan jalan bagi mereka untuk meraih kesuksesan.
Lloyd sempat bekerja di tempat lain sebelum pensiun dan pindah ke Fairfield Glade di luaran Crossville, Tennesse, bersama istrinya. Ia tinggal di sana sampai ajal menjemputnya pada 2015. Meski kini jasadnya terkubur di bawah nisan, kisahnya terus menginspirasi orang-orang kulit hitam untuk bisa seperti dirinya. Pada 2018, ketika Amerika Serikat memperingati Black History Month, NBA menampilkan Earl Lloyd sebagai salah satu sosok kulit hitam yang memiliki pengaruh besar dalam perjalanan olahraga permainan itu.
Oleh karena itu, seperti apa kata Popvich, memang sudah sewajarnya NBA ikut memperingati hari besar itu. Bukan karena paksaan, tetapi lebih kepada bentuk penghormatan untuk orang-orang seperti Lloyd. NBA bisa sebesar ini karena peran orang-orang berkulit hitam.
Foto: Sports Illustrated
Baca juga seri Black History Month lainnya:
Menapak Jejak Pebasket Afro-Amerika dalam peringatan Black History Month
Perang Membuat Serge Ibaka Menjadi Seorang Spanyol (1/6 Black History Month)
Earl Lloyd, Sang Pionir Kulit Hitam di Laga NBA (2/6 Black History Month)
Bill Russell, Pelatih Kulit Hitam Pertama di NBA (3/6 Black History Month)
Amerika Serikat, Taksi, dan Mimpi Frank Ntilikina (4/6 Black History Month)
Texas Western Mengubah Wajah Basket Amerika Serikat (Black History Month 5/6)