CLS Knights Indonesia kembali menderita kekalahan dalam lanjutan laga ASEAN Basketball League (ABL) musim 2017-2018. Menjamu Mono Vampire Thailand di GOR Kertajaya Surabaya, Jawa Timur, 21 Februari 2018, mereka menyerah 80-86.
Kekalahan ini merupakan kekalahan ke-12 dari 15 laga yang sudah dimainkan. Dengan hanya menyisakan lima laga lagi di sisa musim ini, peluang CLS masuk ke playoff semakin menipis dan mendekati tidak mungkin.
CLS kini menduduki peringkat 8 dan berjarak 4 kemenangan dari peringkat 6 klasemen sementara, Saigon Heat. Heat sejauh ini telah mencatatkan 7 kemenangan dalam 14 laga yang telah mereka lakoni. Syarat CLS untuk melaju ke playoff adalah memenangi lima laga sisa dan Heat harus terus kalah dalam enam laga.
Duel melawan Mono yang digelar Rabu malam, menyisakan beberapa catatan bagi CLS yang barangkali bisa digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk lima laga selanjutnya. Mengingat pada laga tersebut, CLS sempat unggul sebanyak 15 poin saat kuater tiga menyisakan waktu 5 menit 56 detik. Berikut beberapa catatan yang dirangkum Mainbasket:
1. Pertahanan pada Kuarter Tiga
Pertahanan CLS menjadi amburadul sejak mereka mendapatkan keunggulan 15 poin di sisa 05:56 kuarter tiga. CLS memang kehilangan Brian Williams yang menderita robek bibir dan tidak bermain lagi sejak kuarter tiga menyisakan waktu 06:37. Dan dari sisa waktu yang sama hingga kuarter tiga berakhir, pemain raksasa yang dimilki Mono, Samuel Deguara sama sekali tak bermain.
Di dalam waktu 05:56 tersebut, Mono berhasil mencetak 20 poin berbanding hanya 5 poin yang dicetak oleh CLS. Untuk akurasi, Mono luar biasa dalam kurun waktu tersebut. Mereka memasukkan 8 dari 10 tembakan. Bandingkan dengan CLS yang hanya 2 dari 6. Situasi bertambah buruk setelah dalam prosesnya CLS juga mencatatkan 4 kesalahan sendiri (turnover) dan 4 pelanggaran (foul). Mono? Tanpa turnover dan hanya satu kali foul.
Segala fakta yang terungkap di atas membuat Mono berhasil berbalik unggul atas CLS saat kuarter tiga berakhir dengan skor 60-57. Total Mono mencetak 30 poin di kuarter tiga, jumlah poin yang sama dengan yang mereka cetak dalam dua kuarter pertama.
CLS juga tampak setia dengan strategi bertahan zona yang pada awal laga hanya mereka lakukan untuk menghentikan Samuel Deguara saat Brian harus meninggalkan lapangan karena sudah terkena dua foul. Strategi bertahan zona 2-3 ini memang terkenal ampuh untuk menghentikan lawan yang mengandalkan penyerangan di bawah ring. Dan kelemahan strategi ini adalah banyak terbukanya area tiga angka yang bisa dieksplorasi lawan. CLS terus menjalankan strategi ini meski Samuel tidak berada di lapangan dan Paul Zamar dan Jason Brickman sedang panas dari luar garis busur.
2. Dilema Besar Peran Freddie Lish
Paul Zamar mengakhiri pertandingan sebagai pencetak angka tertinggi kedua untuk Mono. Nyaris sepanjang laga, pemain bernomor punggung delapan ini berhadapan langsung dengan Freddie Lish. Freddie sebenarnya juga tampil cukup membantu setelah mencetak 19 poin. Jumlah tersebut hanya kalah dari Shane Edwards yang mampu mencetak 24 poin.
TItik balik penampilan Paul terjadi pada kuarter tiga. Ia sebenarnya hanya mencetak dua angka di dua kuarter pertama dengan hanya memasukkan 1 dari 5 tembakannya. Lalu, pemain asal Filipina ini mencetak 13 poin di kuarter tiga dan 6 poin di kuarter empat.
Bila kita lihat ulang pertandingan ini, maka Freddie tampak menjadi pemain yang ditugaskan menjaga Paul, khususnya ketika strategi pertahanan terlihat satu lawan satu. Freddie cukup berhasil menghentikan Paul di paruh pertama.
Paruh kedua beda cerita, selain CLS mulai lebih sering menggunakan pola pertahanan zona 2-3. Dalam beberapa kesempatan, Freddie yang seharusnya berada di dekat garis tiga angka bersama Mario Wuysang tampak tidak berada di sana. Sang pemain kurang disiplin untuk bertahan di pos yang seharusnya ia jaga.
Kehilangan fokus Freddie ini berdampak pada angka-angka yang dicetak oleh Paul. Dapat dilihat saat kuarter tiga menyisakan 05:10, Freddie nyaris tidak sadar ataupun tidak melihat Paul ada di garis tiga angka dengan sangat terbuka. Beberapa contoh lainnya ada di kuarter empat saat pertandingan menyisakkan 05:39 dan 02:10. Freddie juga melakukan hal serupa di menit-menit akhir melawan Saigon Heat yang sempat menimbulkan friksi antara dirinya dan pelatih.
Pertanyaannya adalah, mengapa Freddie yang seolah kehilangan fokus bertahan tidak diganti? Apalagi Paul sedang sangat “wangi”. Ini mungkin salah satu dilema besar yang dialami kepala pelatih CLS, Koko Heru Setyo Nugroho. Karena harus diakui, Freddie adalah pemain yang sangat bagus dalam menyerang. Ia tidak takut melakukan tusukan ke dalam area kunci dan tidak cukup buruk melepaskan tembakan jarak jauh ataupun menengah. Seiring dengan tidak mampu kembalinya Brian, peran Freddie sangat dibutuhkan dalam menambah poin.
Kemudian muncul pertanyaan lain, apakah pemain sekaliber Ebrahim Enguio Lopez, Rachmat Febri Utomo, dan Bima Riski tidak mampu melakukan hal yang sama dengan Freddie? Secara postur keempat pemain ini tidak berbeda jauh, cara bermain mereka dalam menyerang pun identik. Apakah tiga pemain lainnya yang tidak bermain sama sekali pada laga kemarin benar-benar tidak dapat melapis Freddie?
3. Pengambilan Keputusan
Pertandingan masih berjalan sangat ketat hingga satu menit akhir. Mono memang berhasil memimpin, tapi selisih poin tidak lebih dari tiga. Kala itu Shane Edwards berhasil mendapatkan rebound dan langsung memberikannya kepada Mario Wuysang. Point guard yang baru saja mencetak 1.000 poin hari minggu lalu ini kemudian melakukan skema pick n' pop dengan Shane di luar garis tiga angka.
Shane lantas melakukan tembakan tiga angka dan bola lepas dari tangannya saat pertandingan masih sisa 45 detik. Tembakan tersebut gagal dan bola rebound kembali tepat ke arahnya. Shane di luar dugaan langsung melepaskan tiga angka lagi saat Mario dan Keith Jensen bebas tanpa pengawalan di tengah lapangan dan pertandingan masih tersisa 41 detik. Hasilnya masih sama, tembakannya terlalu pendek dan menyentuh ring bagian terluar. Rebound berhasil didapatkan oleh Jason Brickman. Jason mulai melantun (dribble) bola saat sisa waktu masih 38 detik dan Coach Koko meminta pemainnya untuk melakukan sacrifice foul.
Keputusan Shane berkesan tergesa-gesa. Padahal, Shane cukup lihai dan atletis untuk melakukan tusukan ke area kunci di mana meraih dua angka lebih dahulu bisa lebih baik.
Kedua adalah sacrifice foul saat laga masih tersisa 38 detik. Bila Mono menghabiskan seluruh waktu yang tersedia untuk menyerang, CLS harusnya masih punya 14 detik untuk mengambil timeout dan merancang startegi menyerang. Kalaupun Mono berhasil mencetak poin dari posesi tersebut, CLS masih punya peluang memenangkan pertandingan. Timeout, usahakan tembakan tiga angka, foul, lalu tiga angka lagi.
Sacrifice foul yang dilakukan Mario berdampak pada kembali jernihnya pikiran para pemain Mono yang sebenarnya juga tampak dalam tekanan untuk menang. Kembali jernihnya pikiran pemain Mono berhasil dikonversi dengan tenang dan mantab oleh Singletary untuk menjauhkan selisih menjadi enam poin dan kemudian memenangkan pertandingan.
Selain hal-hal di atas, CLS sebenarnya juga menunjukkan beberapa hal positif.
CLS tampil cukup terampil dengan hanya melakukan 10 turnover. Akurasi total cukup bagus di angka nyaris 40 persen.
CLS juga sebenarnya mampu mendikte permainan Mono di dua kuarter pertama. Kontrol tempo yang dilakukan oleh Mario berhasil membuat Mono kesulitan menemukan ritme mereka. Kesulitan tersebut membuat Mono yang rata-rata mencetak 100 poin lebih per laga hanya mampu mencetak total 86 poin dan hanya 30 poin di paruh pertama pertandingan.
Ini adalah perkembangan yang cukup signifikan bagi CLS. Harus diakui, tim ini menuju ke arah yang cukup tepat. Meski waktu yang tersedia tidak lagi banyak (di musim ini). Pengalaman berharga di musim pertama ini bisa menjadi bekal sangat berharga bagi CLS untuk musim-musim berikutnya.
Sayangnya, dalam wawancara kami beberapa waktu, menceritakan pengalamannya menjadi juara, Brian berkata, “Untuk meraih kemenangan kita tidak hanya butuh dua atau tiga pemain. Kita butuh 8 hingga 12 pemain untuk memenangkan pertandingan. Kita butuh semua aspek untuk bekerja secara bersamaan.”
Foto: Yoga Prakasita