“Tidak peduli berapa banyak uang yang Anda miliki, tidak peduli seberapa terkenalnya Anda, tidak peduli berapa banyak orang yang mengagumi Anda, menjadi orang berkulit hitam di Amerika—itu sangat sulit.”

— LeBron James, forward Cleveland Cavaliers

Oracle Arena, Oakland, California, Amerika Serikat

(New York Times, Mei 2017)

 

Lebih dari 4500 kilometer dari tempat LeBron James mengatakan hal di atas, Martin Luther King Jr., seorang aktivis sekaligus pemimpin gerakan hak sipil, berdiri di depan podium di Washington, D.C., Amerika Serikat. Pada 28 Agustus 1963, ia berpidato di hadapan 25 ribu rakyat tentang mimpinya hari itu—yang kemudian terkenal dengan sebutan “I Have a Dream”—bahwa suatu ketika negaranya akan bangkit, memegang kepercayaan tentang umat manusia yang terlahir setara.

Sudah lebih dari setengah abad sejak King berpidato tentang mimpinya, rasisme di Amerika Serikat belum juga surut. Pun begitu dengan dunia, karena jika melihat rekam jejak isu-isu rasial, rasanya perlakuan semacam ini selalu tampak hadir di belahan tempat manapun. LeBron James, megabintang NBA, bahkan tidak luput dari perlakuan itu meski dirinya berkali-kali berhasil menggaungkan nama baik negaranya di kancah dunia. Namun, apa daya, seperti kutipan di awal tulisan ini, menjadi orang berkulit hitam sangatlah sulit.

Kendati demikian, orang-orang berkulit hitam punya sejarah panjang dan penting dalam perjuangan kesetaraan ras di dunia. Di Amerika Serikat, misalnya, perjuangan-perjuangan itu diperingati lewat Black History Month; sebuah peringatan untuk mengingat tokoh dan momen penting dalam sejarah diaspora orang-orang keturunan Afrika. Kini peringatan itu bahkan telah sampai ke Kanada dan Eropa, seperti Britania Raya dan Belanda, untuk kemudian berdiaspora kembali ke seluruh penjuru dunia.

Amerika Serikat memperingati Black History Month sepanjang Februari setiap tahunnya. Mereka mengenang tokoh-tokoh dan momen-momen penting itu lewat berbagai cara yang mereka bisa lakukan. NBA pun tak luput memperingati bulan besar bagi sejarah orang-orang keturunan Afro-Amerika tersebut dengan caranya masing-masing. Ada pemain yang menggunakan sepatu khusus, ada pula yang mengenakan kaus bertuliskan equality (kesetaraan). Mereka menunjukkan semangat yang sama demi memperingati perjuangan-perjuangan kemanusiaan itu.  

Di NBA, pemain-pemain keturunan Afro-Amerika banyak menghiasi susunan pemain di setiap klub. Mereka bahkan cenderung menguasai permainan. Dalam satu dekade terakhir, pemain terbaik NBA berasal dari keturunan Afro-Amerika. Tidak heran jika kemudian Gregg Popovich, kepala pelatih San Antonio Spurs, mengatakan betapa pentingnya NBA mempromosikan Black History Month.        

“Itu cukup jelas,” kata Popovich, seperti dilansir Bleacher Report. “Liga ini terdiri dari banyak orang berkulit hitam.”

Black History Month pertama kali muncul pada 1926 di Amerika Serikat. Kala itu sejarawan Carter G. Woodson dan Association for the Study of African American Life and History (ASALH) mengumumkan minggu kedua Februari menjadi Pekan Sejarah Negro (Negro History Week). Pekan itu dipilih karena bertepatan dengan ulang tahun Abraham Lincoln pada 12 Februari dan Frederick Douglass pada 14 Februari. Kedua tokoh itu berperan penting dalam sejarah Afro-Amerika.

Kemunculan pertama dalam pekan sejarah itu mulanya ditekankan untuk mendorong pelajaran sejarah orang-orang berkulit hitam di sekolah. Pada saat peluncuran Negro History Week, Woodson berpendapat, pelajaran itu sangat penting untuk memastikan kelangsungan hidup fisik dan intelektual ras dalam masyarakat yang lebih luas.

“Jika sebuah ras tidak memiliki sejarah, mereka tidak memiliki tradisi yang berharga, hal itu menjadi faktor yang tak berarti dalam pemikiran dunia, dan ini berbahaya,” ujar Woodson dalam jurnalnya, The Journal of Negro History Week.

Pada perjalanannya, peringatan ini mendapat sambutan hangat dari berbagai kalangan. Namun, tidak semua orang memandang hal itu serta merta sebagai peringatan positif. Morgan Freeman, sutradara sekaligus aktor, misalnya, mengatakan peringatan itu sebagai hal konyol. Ia tidak ingin sejarah orang-orang kulit hitam hanya diperingati dalam satu bulan. Menurutnya, orang-orang harus berhenti membicarakan tentang ras dan memandang setiap orang sebagai individu.

“Berhenti membicarakannya,” ujar Freeman menyusul pertanyaan pembawa acara Mike Wallace dalam acara 60 Minutes pada 2005 silam. Mereka sedang membicarakan tentang bagaimana menghentikan rasisme, lalu Freeman menambahkan, “Saya akan berhenti menyebutmu orang berkulit putih (white man), dan saya akan memintamu untuk tidak menyebutku orang berkulit hitam (black man).”

Meski demikian, bagaimana pun orang-orang keturunan Afro-Amerika—kecuali Freeman tentu saja—masih menginginkan Black History Month. Mereka menganggap sejarah orang-orang kulit hitam masih perlu diingat dalam bulan penuh peringatan itu. Meski sebulan, mereka pandang itu sebagai peringatan sejarah karena hingga kini perjuangan mereka belum selesai. Perjuangan tidak akan selesai sebelum orang-orang sadar bahwa orang-orang kulit berwarna semestinya tidak diabaikan.

Rasisme, merujuk pada kutipan di awal tulisan ini lagi, sebenarnya merupakan pekerjaan rumah yang besar bagi negara manapun di dunia. LeBron James memang tahu betul sulitnya menjadi orang berkulit hitam, tetapi kasus-kasus rasisme tidak hanya terjadi pada orang-orang keturunan Afro-Amerika. Di Indonesia, misalnya, ada sejarah kelam yang mana bangsa ini punya hutang besar berupa permintaan maaf pada orang-orang Indonesia keturunan Tionghoa.

Kendati begitu, Mainbasket bukan ingin membahas tentang bagaimana bangsa ini berhutang maaf, melainkan membahas bagaimana atlet-atlet NBA berkulit hitam punya semangat yang diusung Black History Month: kesetaraan (equality). Kesetaraan dalam makna seluas-luasnya dan beragam. Dengan itu, kami ingin membahas satu per satu kisah terpilih dari pemain keturunan Afro-Amerika yang berhasil atau sedang dalam perjalanannya mengubah nasib dirinya menjadi lebih baik. Kisah-kisah ini akan hadir dalam beberapa tulisan sepanjang Februari 2018, salah satunya, demi ikut memperingati semangat Black History Month.

Nantikan kisah-kisahnya hanya di mainbasket.com!

Foto: Nike, Getty Images, Los Angeles Times

 

Baca juga seri Black History Month lainnya: 

Menapak Jejak Pebasket Afro-Amerika dalam peringatan Black History Month

Perang Membuat Serge Ibaka Menjadi Seorang Spanyol (1/6 Black History Month)

Earl Lloyd, Sang Pionir Kulit Hitam di Laga NBA (2/6 Black History Month)

Bill Russell, Pelatih Kulit Hitam Pertama di NBA (3/6 Black History Month)

Amerika Serikat, Taksi, dan Mimpi Frank Ntilikina (4/6 Black History Month)

Komentar