Steve Nash, Dua Kali MVP NBA yang Mulai Terlupakan

| Penulis : 

Kepada

Yth. Bung Steve Nash

Di tempat

 

Bung, apa kabar? Saya pikir punggungmu itu kelihatan baik saja akhir-akhir ini. Semoga begitu.

Bung, tahukah Anda, hanya satu tempat yang saya tahu tak membuat kita menua, yaitu Neverland. Kalau Bung belum tahu, Neverland adalah tempat tinggal yang tak membuat Peter Pan dan The Lost Boys tumbuh. Mereka tidak menjadi dewasa. Mereka selalu menemukan permainan yang menarik sebagai anak-anak. Selamanya akan seperti itu dan rasanya menyenangkan.

Sayangnya, dunia yang kita tinggali bukanlah fiksi seperti cerita Peter Pan. Saya rasa Anda sangat tahu itu. Anda sendiri yang menulis ini. Saya kutip satu paragraf yang membuat Anda yakin bahwa hidup ini terus berjalan.

I’m retiring,” kata Anda memulai tulisan di The Players’ Tribune. Saya enggan mengubahnya ke dalam bahasa Indonesia supaya maksud Anda tersampaikan seutuhnya. Lalu Anda melanjutkan:

I heard someone once say there comes a day when they tell us all that we can’t play anymore. We’re not good enough. Surplus to requirements. Too slow, maybe. When you’re a teenager with outsized dreams and a growing obsession, and someone tells you this ain’t gonna last forever, it’s scary. I never forgot it.

Banyak hal membuat saya sadar ketika membaca itu. Bung pensiun pada 2015 lalu dan semuanya akan berubah setelah itu. Saya membutuhkan banyak waktu untuk tahu bahwa Neverland tidak nyata. Itu wajar karena hidup terus berlanjut dan berlanjut. Generasi tumbuh, mati, dan berganti. Peran Anda sudah digantikan oleh generasi baru. Saya sungguh tidak keberatan meski saat itu saya menangis mengetahui kabar pensiun Anda. Saya menangis karena paham betul bahwa saya tidak akan melihat Anda bermain lagi.

Kini orang-orang mulai melupakan Anda, sebab generasi-generasi hari ini telah lebih terkenal karena media sosial.

Ah, sudahlah. Banyak hal menarik yang bisa kita bahas.

Bung, Anda tahu kenapa saya ingin memanggilmu dengan sebutan “Bung”? Karena bagi saya, Anda sudah seperti kakak yang tumbuh bersama. Anda adalah panutan dalam bermain basket, bahkan di luar itu, Anda selalu ada di dalam pikiran dan hati  saya. Meski kenyataannya kita belum pernah berjumpa sekali pun. Saya menyebutnya keajaiban.

Oh ya, tentu saya masih ingat bagaimana mengenal Bung lewat sebuah game di Playstation 2. Sayangnya saya tidak ingat game apa dan kapan saya memainkannya. Kalau boleh menebak, game itu adalah NBA Live 2007. Game itu diluncurkan tahun 2006 ketika Anda meraih gelar MVP untuk kedua kalinya secara beruntun. Anda hebat, Bung!

Jauh sebelum saya mengetahui bahwa Anda adalah seorang MVP, yang secara fantastis meraihnya dua tahun berturut-turut itu, saya sudah tahu kehebatan Anda lewat game! Di game itu, Anda pemain yang mudah sekali dikendalikan. Anda punya kemampuan mengolah bola yang bagus, lengkap dengan kemampuan menembak yang akurat. Bakatmu itu, loh, sudah hebat sejak di dalam game. Namun, akhirnya saya tahu kalau game itu adalah cerminan diri Anda di kehidupan nyata.

Mari telaah sedikit tentang apa yang telah Anda catatkan di NBA untuk membuatnya nyata. Dua gelar MVP? Sudah saya sebutkan berkali-kali di atas. Gelar itu mengingatkan saya bahwa Draft Class ’96 memang hebat-hebat. Anda ada dalam deretan kelas itu bersama nama-nama beken seperti Allen Iverson, Kobe Bryant, dan Ray Allen. Orang-orang tidak akan menyangka bahwa kulit putih seperti Andalah yang meraih dua kali MVP pada 2005 dan 2006.

Ketika saya googling untuk memastikan catatan-catatan Anda, ternyata prestasi Anda banyak sekali. Saya tidak perlu menghafal semuanya, kan? Bisa repot kalau memang harus menghafal semuanya.

Namun, satu hal yang saya ingat betul tentang Anda adalah kenyataan bahwa Anda pemain yang suka berbagi. Anda tipe pemain yang tidak maruk alias rakus. Tidak seperti, siapa itu rekan Anda ketika di Lakers? Oh ya, Kobe Bryant. Itulah mengapa Anda seringkali memberikan umpan-umpan ciamik kepada rekan-rekan Anda di tim apapun Anda bermain (Phoenix Suns, Dallas Mavericks, L.A Lakers).

Dalam urusan umpan mengumpan ini, saya lihat Anda berada di peringkat ketiga pengumpul asis terbanyak sepanjang masa. Anda hanya berada di bawah John Stockton dan Jason Kidd dengan jumlah 10.335 asis selama karir. Berkali-kali pula Anda memimpin perolehan asis di tiap musimnya, membuat saya enggan menyebutkan semuanya, karena terlalu banyak.

Oh ya, saya juga mengenal Anda sebagai seorang dermawan. Saya ingat pernah membaca sebuah artikel yang menceritakan, Anda menyumbangkan AS$25 ribu untuk membantu tim nasional Kanada menambal ongkos perjalanan sebelum Olimpiade 2000. Anda memang sangat piawai dalam hal “asis” (memberi). Itu membuat saya juga terinspirasi dan termotivasi untuk berbagi kepada sesama.

Kalau bicara tentang Olimpiade, pada 2010 Anda menjadi pemain NBA pertama dalam sejarah yang membawa obor dan menyalakan api Olimpiade musim dingin. Saya tahu itu. Tidak heran kalau kemudian Bruce Hornsby, musisi Amerika itu, juga mengidolakan Bung. Itu karena, sekali lagi, Anda hebat!

Dengan alasan yang sama, saya mengenakan nomor punggung 13 sejak SMP juga karena Anda. Waktu itu hujan lebat di luar. Saya berteduh di sebuah lorong sekolah yang menjadi jalan masuk dan keluar. Pelatih saya menghampiri sambil memberikan sebuah kaus merah yang masih terbungkus. “Kamu masuk tim sekarang,” kata pelatih saya. Itulah kenangan pertama saya masuk tim basket dengan kaus bernomor punggung 13 sepertimu. Padahal saya tidak pernah meminta. Mungkin ini takdir yang memang sudah diatur.

Omong-omong, saya sudah bilang belum bahwa Bung ikut mempengaruhi hidup saya di dalam dan di luar lapangan? Ceritanya begini, suatu hari ketika wajah Anda bertabrakan dengan Tony Parker dari San Antonio Spurs dalam sebuah pertandingan, hidung Anda berlumuran darah. Itu mengerikan, tapi entah bagaimana Anda tetap bermain. Di lain kesempatan, saya ingat wajah Anda kena siku Tim Duncan, yang lagi-lagi dari Spurs. Kali itu giliran mata kanan Anda lebam dan berdarah, tapi Anda tetap bermain dengan satu mata.

Kok, bisa begitu? Itu menjadi pertanyaan untuk saya juga. Suatu hari di turnamen terakhir saya di sekolah, tim kami kehilangan beberapa pemain inti. Saya harus bermain penuh empat kuarter. Energi  saya terkuras dan lengan saya kram. Namun, karena ingat Anda pernah melakukan hal luar biasa di atas, saya memutuskan untuk terus bermain sampai akhir.

Saya menyebutnya second wind, sebuah kemampuan untuk terus melaju walau fisik Anda tidak memungkinkan. Second wind itulah yang selalu ingin saya terapkan dalam kehidupan di luar lapangan. Kita memang bisa hancur berkali-kali, tapi juga bisa bangkit berkali-kali lagi. Saya ingin punya tekad seperti Bung bermain basket di NBA. Saya tidak ingin menyerah bagaimanapun caranya sampai saya bisa merayakan hidup dengan sukacita.

Maka, tibalah saya di pengujung tulisan ini. Rasanya sudah cukup adil bagi saya untuk menceritakan hanya kebaikan-kebaikan Anda saja. Karena saya percaya, menyingkirkan keburukan dan mengambil kebaikannya bisa mendorong kita untuk maju. Sebab dunia ini bukan Neverland yang tidak membuat kita menua. Kita perlu untuk terus berproses.

Lewat tulisan ini pula, tulisan yang memang tidak akan Anda baca ini, tapi tetap saya tulis untuk sekaligus merayakan sesuatu. Ya, hari ini Anda ulang tahun yang ke-44. Selamat ya, Bung! Di sini memang sudah tanggal 8 Februari, tapi di tempatmu di Amerika Serikat nan jauh di sana, saya pikir masih tanggal 7 Februari, tanggal lahirmu. Semoga sehat dan bahagia, ya. Teruslah menjadi inspirasi dan motivasi banyak orang.

Have a great  life after basketball!

Foto: Los Angeles Times, NBC Sports, Sporting News

Populer

Golden State Warriors Terjun Bebas
LeBron James Menangkan Lakers di Tengah Drama dan Kekacauan Utah Jazz!
Rumor NBA, Dua Pemain Dikaitkan Dengan Dallas Mavericks
Steve Kerr Merindukan Kevin Durant
Kyrie Irving Sebut Celtics Sebagai Tim Super
Giannis Antetokoumpo Cetak Sejarah Saat Bucks Menggilas Wizards
Hanya James Harden & Stephen Curry yang Capai 3 Ribu Tripoin
LeBron James Ingin Pensiun Sebelum Masa Jayanya Berakhir
Victor Wembanyama Pimpin Spurs Kalahkan Kings Dengan Penampilan Terbaiknya
Donovan Mitchell Meledak di Kuarter Keempat, Hentikan Tren Positif Celtics