Bumi adalah planet yang sangat luas untuk ukuran manusia. Bumi memiliki beberapa komponen yang bervariasi di dalamnya. Ada hutan, laut, langit, gunung dan masih banyak lagi. Ada tiga makhluk hidup yang mengisi di dalamnya: manusia, hewan, dan tumbuhan. Manusia, sebagai makhluk Tuhan paling sempurna, merupakan komponen terbesar di jagat dunia. Plato bahkan pernah mengatakan, organisasi kekuasaan manusia merupakan sarana untuk mencapai tujuan bersama, mereka bisa membentuk sebuah negara.
Setidaknya ada 193 negara berdaulat membentuk koloninya masing-masing. Dari sekian banyak negara, ada satu negara kecil yang terletak di Samudera Atlantik bernama Tanjung Verde. Dalam dunia internasional terkenal dengan nama Cape Verde atau Cabo Verde. Negara ini—sama halnya dengan Indonesia—terdiri atas beberapa pulau. Bahkan lebih kecil ukurannya.
Cape Verde hanya memiliki luas 4.033 km2 dengan perkiraan jumlah populasi sebanyak 524.833 jiwa. Negara ini tidak lebih besar dari Pulau Madura di Jawa Timur.
Di sana, hiduplah seorang pria bernama Walter Tavares. Ia lahir di Maio, Cape Verde, pada 22 Maret 1992. Kini tingginya menjulang hingga 2,21 meter. Pria yang akrab disapa Edy itu memiliki postur yang sangat ideal untuk berlatih dan bermain bola basket.
Edy sebenarnya tidak pernah berlatih dan bermain basket sebelumnya. Lingkungan di tempat tinggalnya membuat pria ini bermain sepakbola saat itu. Pada 2009, Raul Rodriguez, penanggung jawab tim muda CB Gran Canaria, mendengar cerita dari rekan bisnisnya, Joaquin, bahwa di Cape Verde ada anak muda dengan tinggi yang sangat menjulang.
Joaquin memang memiliki tempat berlibur favorit di Cape Verde sehingga ia sering berada di sana. Saat ia datang ke Maio, Joaquin menemui Edy.
“Kamu seharusnya bermain basket bukan sepakbola,” ujar Joaquin kepada Edy, seperti dinukil dari nba.com.
Dari cerita Joaquin, Rodriguez pun mengirim asisten pelatih tim senior, Carlos Frade, untuk melihat dan mengecek kebenaran itu. Bersama Joaquin, Carlos Frade menemui Edy di Praia, ibukota Cape Verde. Edy Tavares pun diminta untuk menunjukkan apa yang ia bisa lakukan di lapangan basket. Tak ada sepatu yang seukuran dengan kakinya, sehingga saat itu ia harus memaksakan kakinya agar masuk ke dalam sepatu.
”Saya ingat saat itu sangat menyakitkan,” kenang Edy. Carlos Frade pun tertarik untuk melatih Edy lebih serius lagi. Sehingga pada 2009, Edy mendapat tawaran untuk bergabung dengan Gran Canaria.
Saat Edy bergabung, ia langsung dipinjamkan ke klub divisi 4 Spanyol, La Palma. Di sana ia mendapat kesempatan bermain sebanyak 21 kali, tapi hanya bermain dengan rata-rata 6,7 menit per laga. Pria dengan tinggi 2,21 meter itu hanya bermain satu musim bersama La Palma sebelum dipulangkan kembali ke Gran Canaria.
Bersama Gran Canaria yang bertanding di liga tertinggi basket Spanyol, Edy memiliki grafik yang naik tiap musimnya sejak debut pada 2012. Puncak penampilannya bersama Gran Canaria terjadi di musim 2014-2015. Ia membukukan 8 poin , 7,9 rebound, dan 1,8 blok per laga.
Penampilan menawannya bersama Gran Canaria membuat Edy dilirik oleh NBA. Edy mengaku belum cukup siap saat itu.
“Saya ingin membuat diri saya dikenal orang banyak, mereka belum mengenal saya. Pada dasarnya saya sudah ada di radar (NBA), tapi saya tidak akan pergi ke sana dulu karena saya masih di sini sebagai pemain yang berkembang,” jelasnya kala itu, seperti dikutip Hoopshype.
Kendati begitu, Edy membuat dirinya benar-benar siap untuk ke NBA di musim selanjutnya.
“Saya pikir saya masih harus banyak belajar. Tahun depan saya akan jauh lebih siap” imbuhnya.
Kesempatan untuk bermain di NBA benar-benar datang pada 2014. Edy akhirnya masuk dalam jajaran NBA Draft 2014. Di tahun itu ia memiliki kesempatan yang sama dengan Marcus Smart dan Zach LaVine untuk masuk ke NBA. Kala itu Andrew Wiggins, Jabari Parker, dan Joel Embiid menjadi tiga rekrutan teratas di NBA Draft 2014 di ronde pertama.
Pada ronde kedua, nama Walter Tavares akhirnya muncul. Ia menjadi pemain ke-43 yang berhasil terpilih. Saat itu Atlanta Hawks adalah tim yang memilihnya.
Anehnya, saat Edy sudah bermain sebanyak enam kali dalam NBA Summer League pada 2014, Atalanta Hawks mengembalikannya ke Spanyol. Ia dikembalikan ke Gran Canaria supaya belajar lebih banyak lagi tentang basket.
Edy pun menerima itu dengan senang hati. Ia mengatakan, “Hal yang baik ketika saya harus bermain di luar negeri adalah saya pasti akan bermain di sana.” Ia pun menambahkan bahwa itu akan jadi hal yang baik untuknya.
Satu musim berseragam Gran Canaria lagi, Edy berhasil menembus All-Eurocup First Team. Hal itu dicapainya setelah sukses mengantarkan Gran Canaria melaju ke babak final Eurocup 2014-2015. Di partai puncak, timnya bertemu dengan BC Khimki asal Rusia. Saat final, Edy berhasil mencetak 17 poin dan 10 rebound. Sayangnya, ia gagal mempersembahkan gelar juara saat itu setelah timnya kalah pada dua pertemuan final dengan format best of three.
Setelah dirasa cukup berkembang, Edy kembali ditarik Atlanta Hawks. Sayangnya, ia hanya bermain sebanyak 12 pertandingan. Ia lebih sering dipinjamkan ke klub yang berlaga di D-League (G-League).
Edy juga sempat bermain untuk Cleveland Cavaliers. Di sana, ia hanya bermain sekali. Itu pun dengan catatan 6 poin, 6 blok, dan 10 rebound. Tidak terlalu buruk sebenarnya, tapi ia kembali dipinjamkan ke Raptors 905.
Tawaran menggiurkan datang ketika pelatih Real Madrid, Pablo Laso, menawari Edy untuk bermain di Liga ACB kembali. Ia diplot untuk menggantikan Gustavo Alfonso Ayon yang mengalami cedera bahu dan harus absen hingga akhir musim. Kehadiran Edy juga sekaligus menambal kehilangan Ognjen Kuzmic yang mengalami cedera.
“Ia adalah pemain yang sangat besar, gesit, bisa bertahan dalam situasi yang berbeda, sekalipun pick and roll, atau memainkan orang besar di area lubang kunci,” ujar Pablo.
Kisah Edy tentu menjadi cambuk untuk Indonesia. Cape Verde—yang luasnya hanya berbeda sedikit dari Pulau Madura—berhasil mengorbitkan atletnya hingga bermain di NBA dan liga basket tertinggi di Spanyol. Jika Edy dan Cape Verde bisa, mengapa Indonesia yang lebih luas tidak bisa?
Foto: EFE, USA Today