"Woi Mainbasket, gua mau ngomong". 

...

Ucapan itu muncul dari seseorang yang sayangnya sampai sekarang saya tidak tahu namanya. Uniknya, ia mengajak saya berbincang di toilet. Saat sedang membuang salah satu hasil sekresi tubuh. Ia tampak bersemangat dalam menceritakan pendapatnya, utamanya tentang IBL All Indonesian 2024. 

"Menurut gua, basket Indonesia tanpa pemain asing kurang menghibur. Aksi-aksinya gitu-gitu aja, tidak menghibur penonton. Kurang ada apa yaa, hmm gregetnya gitu," buka pria yang menggunakan topi tersebut. 

Saya tidak bisa tidak setuju. Meski, saya harus sedikit menggeser sudut pandang saya. Sudah cukup lama saya tidak jadi benar-benar penonton. Saya menonton pertandingan basket untuk menganalisa apa yang mereka lakukan. Tak jarang saya justru menggunakan sudut pandang pelatih atas keputusan-keputusan mereka di lapangan. 

Menggunakan sudut pandang penonton, ucapan beliau bisa dimaklumi. Apalagi jika ia ternyata datang dari luar Jakarta. Basket mungkin adalah hiburan yang ia sisihkan untuk dirinya di hari Jumat waktu itu. Bahkan bukan tidak mungkin, ia memang sudah mengesampingkan semua urusannya di hari itu, hanya untuk menikmati harapannya melihat basket sebagai sebuah hiburan. 

"Tidak ada yang salah dengan hal itu Pak," timpal saya. "Kalau bicara aksi, ya memang para pemain asing lebih banyak aksi, lebih banyak hiburan. Tapi balik lagi memang, tergantung tujuan dari penyelenggaranya mau ke mana."

Ternyata unek-uneknya belum terhenti di situ. "Lihat tuh pemain-pemain, kecil-kecil, pendek-pendek, ya ga seru mainnya. Menurut gua kita memang ga bisa mengejar Filipina. Masalahnya tahu di mana? Masalahnya di SDM (Sumber Daya Manusia)."

Saya yang sedikit kebingungan dengan korelasi dua pertanyaan tersebut pun meminta penjelasan lebih. "Jelas SDM maksudnya. Kita di Indonesia buat nyari pemain tinggi 190 sentimeter aja susah. Sedangkan di Filipina banyak banget. Kita kan pemain 175-180 sentimeter di mana-mana, semua tim punya," tambahnya yang kini berdiri di samping wastafel bersama saya. 

Baru di bagian ini saya tidak setuju. Mencari SDM dengan tinggi 190 sentimeter atau mendekati 200 sentimeter sejatinya bukan hal yang susah-susah amat. Itu rasanya adalah kurang lebih 90 persen dari pemain bola voli Indonesia. Ya, mereka ada, tapi di cabang olahraga lain. 

Orang yang kini membilas tangannya tersebut sedikit terkejut dengan jawaban saya. Dalam sekian detik, ia mencari jawaban terbaik. "Oke, emang ada di voli, tapi kan skill mereka di basket jelek. Makannya akhirnya mereka memilih voli. Lihat orang tinggi segitu yang main basket, pasti lambat, pasti skillnya biasa-biasa saja atau bahkan jelek."

Dari sini menurut saya perjalanan mencari akar permasalahan dimulai. Saya tanya balik ke dia. "Jadi, apakah kita kekurangan SDM dengan tinggi segitu? Atau kita kekurangan SDM dengan tinggi segitu yang punya skill mumpuni?"

Sedikit tertahan, ia menjawab dengan lantang. "Ya bener, yang kurang skill-nya". Lantas, saat skill seorang pemain kurang, kita sudah tahu mana akar masalahnya bukan? Ya, sampai sekarang tidak ada pelatih yang bisa 'mengolah' bahan mentah berupa tinggi badan tersebut menjadi sesuatu yang diharapkan bapak bertopi itu. Sebaliknya, para pelatih justru memberikan pelajaran skill tersebut ke pemain-pemain kecil yang "dibenci" bapak itu. 

"Pelatih Pak, kita memang tidak pernah punya pelatih yang bisa membuat pemain 190 sentimeter atau lebih memiliki skill yang komplet," jawab saya.

Semuanya disuruh jadi bigman sejak kecil padahal tingginya kurang lebih sama dengan Stephen Curry, Kyrie Irving, De'Aaron Fox, atau garda-garda Amerika Serikat. 

Nama-nama seperti Arki Wisnu, Agassi Goantara, hingga Derrick Michael beruntungnya lahir atau keluar dari Indonesia di usia yang tepat sehingga mereka bisa mengembangkan ketangkasan seperti sekarang. Arki kalau diingat adalah pemain pertama yang bisa bermain dari posisi 1 sampai 4 bahkan 5 di liga.

Lihat bagaimana Pelita Jaya memiliki keuntungan luar biasa dengan menempatkan Agassi sebagai garda utama mereka. Untuk Derrick, kita bisa lihat perbedaan kemampuan melantun bolanya dulu hingga sekarang. 

"Sepakat saya kalau masalahnya memang SDM, Pak. Tapi bukan ketersediaan pemain, melainkan pelatih," singkat saya. Pun demikian, ini bukan salah pelatih sepenuhnya. Kami di Mainbasket percaya, pelatih-pelatih ini jangan-jangan juga tidak tahu caranya karena memang belum ada akses atau bantuan ke mereka.

Yang sampai sekarang terus menjadi pembahasan adalah bagaimana para pelatih, utamanya di kelompok usia muda, melatih dengan apa yang mereka ketahui saja. Bukan dengan sebuah arahan yang jelas baik secara materi ataupun waktunya. 

Sekali lagi, bicara pengembangan pemain dan pelatih, ini adalah tanggung jawab federasi. Yang memang sampai sekarang belum banyak kelihatan sumbangsihnya. Menentukan arah atau ideologi basket yang mau digunakan untuk satu Indonesia saja belum ada sampai sekarang. Akhirnya, bakat-bakat alam dari Tuhan tersebut pindah ke cabang olahraga lain yang bisa memaksimalkan peran mereka. 

"Okelah kalau gitu," kata orang tadi sembari kami keluar dari lorong toilet tersebut. Seperti sudah akan berlalu, ia kembali menengok ke saya sembari sedikit berteriak. "Tapi gua tetap pada yang pertama. IBL ga seru, ga menghibur kalau ga ada asingnya. Gitu-gitu aja mainnya!"

Saya cuma bisa tersenyum. Beruntungnya basket Indonesia memiliki penggemar yang meski tidak banyak, tapi cukup setia dan peduli atas apa yang terjadi. Sebuah fondasi utama untuk membuat basket terus semakin besar dan semoga menjadi lebih baik ke depannya. Terima kasih diskusi singkatnya Bapak Bertopi. "Saya setuju."

Foto: Oska Tigana

Komentar