Nama Adele sudah tak asing, setidaknya bagi Anda penyuka musik pop dan soul. Suaranya punya ciri khas, musiknya dapat menyentuh jiwa siapa pun yang mendengarnya, dan liriknya akan merasuk ke dalam kalbu. Tiga elemen itu jadi magnet mengapa Adele digandrungi banyak orang.

Siapa sangka, hari saya menulis tulisan ini bertepatan dengan satu dekade wanita berdarah Inggris ini berkecimpung di dunia tarik suara. Tepatnya pada 28 Januari 2008, hari ketika ia memperkenalkan diri lewat kumpulan lagu bertajuk “19”. Gebrakan itu membawanya pada kesuksesan besar hingga membuatnya jadi pengisi lagu untuk sekuel James Bond, Spectre.

Adele Laurie Blue Adkins, lahir 5 Mei 1988 di Tottenham, Inggris, dari orang tua berdarah Inggris dan Wales. Usia dua tahun, ayahnya pergi meninggakannya sendiri bersama ibunya, Penny Adkins. Ia adalah sosok yang memperkenalkan Adele kecil ke dunia tarik suara tepat saat usianya menginjak empat tahun. Sejak saat itu, ia tak pernah berhenti bernyanyi.

Sempat hidup berpindah-pindah, akhirnya Adele dan ibunya menetap di London. Di sana, ia mulai mendalami dunia tarik suara. Ia lebih memilih masuk ke BRIT School for Performing Arts & Technology daripada SMA layaknya remaja seusianya. Ketika sekolah, Adele merupakan sahabat dekat Leona Lewis dan Jessie J yang kini jadi sesama diva musik internasional.

Sejenak setelah lulus, ia melihat sisi lain yang harus dimiliki penyanyi, yaitu lepercayaan diri. Gadis pemalu yang terbiasa bernyanyi untuk dirinya sendiri ini kemudian ragu. Akhirnya, ia berencana untuk menjadi seorang A&R (artist & repertoire), sebuah profesi di belakang layar yang berperan dalam segala hal untuk penampilan seorang penyanyi. Dengan bahasa yang lebih mudah dipahami, ia ingin menjadi seorang manajer.

Belum bulat keputusannya, ia bertemu dengan Richard Russell, pemilik XL Recordings. Russell kagum dengan suara Adele. Ia mendapati suara Adele di situs MySpace setelah rekaman suara penyanyi berambut pirang itu diunggah rekannya. Pertemuannya dengan Russell membukakan jalan karir bermusik Adele.

Adele ternyata sudah menulis belasan lagu semasa sekolah. Namun, akhirnya dipilihlah 13 lagu terbaik yang masuk ke dalam materi album perdananya. Salah satunya adalah lagu berjudul “Hometown Glory”. Lagu yang ia tulis ketika ia berusia 16 tahun. Sejatinya, “Hometown Glory” adalah lagu ungkapan rasa rindu seorang remaja akan kota halamannya. Lagu ini mendapatkan 7 penghargaan platinum di Inggris dan 3 platinum di Amerika Serikat.

Prestasi Adele di album perdananya tak berhenti disitu. Lagu “Chasing Pavement” juga meraih kejayaan. Hingga pada akhirnya, pada Grammy’s Awards 2009, ia meraih pengakuan sensasional. Hal tersebut diceritakan langsung oleh Jonathan Dickins kepada Vogue ketika Adele jadi sampul edisi Maret 2016.

“Awalnya, ia dianggap pelengkap oleh orang-orang. Ketika kami datang, awak media memintanya minggir karena ia menutupi Kate Beckinsale,” ungkap Dickins. “Kemudian, ia memenangkan Best Pop Vocal Performance dan Best New Artist mengalahkan Jonas Brothers. Ia terlalu kaget ketika memenangkan penghargaan itu sehingga ia menerima piala di panggung bertelanjang kaki,” imbuhnya.

Setelah kejadian itu, Adele semakin diperhitungkan di kancah musik internasional. Ia semakin lekat dengan sebutan “bedroom singer”. Dua tahun kemudian, ia merilis album bertajuk “21” yang lebih sukses lagi dengan enam pernghargaan Grammy.

Ada beberapa hal yang membuat saya kian mengagumi sosoknya mengutip dari halaman Independent yang diterbitkan pada 23 Mei 2011. Ia adalah pribadi yang justru tidak suka bila terlalu disorot. Faktanya, ia pernah menolak menjadi pengisi helatan Glastonbury karena tidak suka bila namanya terpampang terlalu besar di baliho.

“Saya membayangkan betapa besar nama kita bila terpampang di baliho jalanan dilihat ratusan mata yang melihatnya, saya tidak mau cara itu sebagai strategi untuk meraih popularitas,” katanya. “Itu semua tergantung Anda ingin menjadi artis yang seperti apa. Tapi saya tidak menyukai bila nama saya bersanding dengan bermacam-macam merek dalam satu baliho.”

Satu hal lagi yang membuatnya tidak mau tampil di Glastonbury adalah ia tidak menyukai tampil di luar ruangan di depan ribuan pasang mata. “Saya tidak akan pernah bermain di acara festival. Tidak peduli ada 18.000 orang menonton di O2 Arena (tempat diselenggarakannya Glastonbury). Lebih baik saya tampil 12 tahun di Barfly (café kecil tempat bermain band indie) daripada tampil tiga hari disana,” tegas Adele.

Hal lain yang tak ia sukai adalah perilaku label musik yang terkesan memanfaatkan nama artis tersebut untuk mendulang lebih banyak pendapatan. “Begini, saya menemukan beberapa label yang merilis ulang album artisnya dengan menambah lagu tambahan (bonus track). Ketika label saya mau melakukannya, jelas saya tidak mau. Hal itu sama saja dengan menguras lebih banyak uang dari para penggemar,” kata Adele.

Wawancara itu memang membuat beberapa kalangan mempertanyakan dedikasi Adele yang dianggap kurang maksimal. Ia justru tidak menyukai hal yang dianggap normal di dunia musik. Namun, hal tersebut coba ditampik Paul Reed, editor utama majalah Q. “Adele berbeda dengan Lady Gaga. Ia adalah penganut azas sedikit itu justru lebih banyak (less is more). Inilah kunci kesuksesannya. Ia hidup di dalam sebuah teka-teki yang tak banyak orang memahaminya,” ungkapnya.

Setelah membaca argumen Adele tersebut, maka saya menyadari sesuatu: seluruh konser yang dilakoni Adele dilaksanakan di dalam auditorium, ballroom, atau ruang konser lain dengan kualitas audio sangat mumpuni. Sebelum ia bernyanyi, ia selalu mengingatkan para penonton agar tidak berteriak ketika ia bernyanyi. Suasana intim semacam itu sudah ia bangun sejak ia tampil membawakan lagu "Chasing Pavement" 10 tahun lalu.

Dengan karakter yang ia bangun itu, Adele selalu punya cara tersendiri untuk menggaet telinga penggemarnya. Sepuluh tahun lalu, ia mungkin bukan siapa-siapa. Tapi, kini semua orang memujanya sebagai musisi yang mampu mendekatkan jiwa penggemarnya lewat lirik menyentuh dan lagu yang mudah diingat.

Sumber Foto: Billboard, NME

Komentar