Mark Wahlberg, seorang artis berkebangsaan Amerika Serikat, mungkin sudah mencoba segalanya di dunia hiburan. Setidaknya ia pernah menjadi seorang penyanyi di awal karirnya bersama Marky Mark and the Funky Bunch, terjun ke dunia akting sebagai aktor terkenal di berbagai film rilisan Hollywood, sampai turun sebagai produser di empat film seri HBO. Namun, ia belum pernah menjadi seorang sutradara selama hidupnya.
Wahlberg lalu memutuskan untuk membuat sebuah film lagi. Rencananya ia akan berperan sebagai sutrada di proyek besarnya itu. Katanya, ia ingin mengangkat sebuah kisah unik dari kehidupan seorang bintang olahraga.
Bintang olahraga itu adalah Caron Butler, seorang bekas pemain NBA yang berkarir selama 14 tahun. Butler punya kisah menarik yang bisa menjadi inspirasi banyak orang untuk keluar dari lingkaran setan. Dalam bukunya yang berjudul “Tuff Juice: My Journey from the Streets to the NBA”, ia menceritakan hampir segalanya, termasuk soal menjual obat-obatan terlarang di usia 12 tahun.
Butler lahir di Racine, Winconsin, Amerika Serikat. Hidupnya cukup sulit sejak ia kecil. Apalagi ia tumbuh di lingkungan yang kurang mendukung, terutama untuk anak seusianya saat itu. Bagaimanapun menjadi pengedar narkoba di usia 12 tahun merupakan cara yang salah untuk tumbuh. Ia bahkan tertangkap 15 kali sebelum usianya mencapai 15 tahun.
Mau tidak mau, Butler harus mendekam di pusat tahanan Ethan Allen Juvenile Detention, sebuah pusat rehabilitasi anak-anak bermasalah. Di sanalah ia bertemu dengan bola basket yang menyelamatkan hidupnya dari masa suram. Ia duduk di sebuah ruang tahanan dengan jendela menghadap ke lapangan. Saat itulah ia melihat lapangan basket terhampar di depan matanya.
“Tuhan menaruh sesuatu di hadapanmu dengan alasan,” ujar Butler, seperti dikutp The Chistian Post, 9 Maret 2008. “Tuhan menaruh tangannya di kehidupanku. Ia bilang, ‘Saya akan menyentuhmu sehingga kamu bisa menyentuh orang lain.’”
Sejak itu, Butler pun mulai bermain basket. Selama di tahanan, ia mencoba turun ke lapangan dan merasa cocok dengan olahraga itu. Maka, setelah keluar ia pun meneruskan hobinya itu. Ia sempat bermain di sekolahnya, Racine Park High School, dan tampil di Amateur Athletic Union (AAU) selama dua tahun sejak 1998, sebelum akhirnya pindah ke Maine Central Institute. Di sana ia sukses mendapatkan beasiswa dan melanjutkan karir ke University of Connecticut (UConn).
Selama kuliah, Butler tampil baik sehingga upaya itu membawanya masuk ke tim nasional. Ia pun berhasil membawa pulang medali emas dari FIBA World Championship U-21 untuk Amerika Serikat. Sebuah persembahan berharga yang membuatnya terus maju meninggalkan masa lalu yang suram.
Butler hanya menghabiskan waktu dua tahun di universitas. Ia memutuskan untuk mengikuti NBA Draft pada 2002 silam. Saat itu, Miami Heat yang sedang membangun ulang timnya memilih Butler di urutan 10. Ia pun sukses masuk NBA untuk pertama kali dalam hidupnya dan menjalani karir profesional pertama dengan gemilang. Setidaknya ia masuk ke jajaran NBA All-Rookie 1st Team dan empat kali menjadi rookie terbaik bulanan.
Heat memang melabuhkan hatinya kepada Butler, tetapi itu hanya berlangsung selama dua musim. Mereka menukarnya ke Los Angeles Lakers untuk mendapatkan megabintang Shaquille O’Neal. Apalagi saat itu performa Butler menurun karena harus berkutat dengan cedera. Belum lagi Heat kedatangan Dwyane Wade yang kemudian menjadi bintang masa depan tim asal Miami tersebut.
Perjalanan Butler berlanjut ke Los Angeles. Kini ia bermain di samping megabintang lainnya, yaitu Kobe Bryant.
Saat bermain di sana, Butler kecanduan minuman Mountain Dew. Minuman itu sudah seperti adiksi baginya. Oleh karena itu, Bryant yang terkenal cukup peduli kepada rekan-rekannya, mencoba menghentikan kecanduan itu. Akan tetapi, rasanya sulit sekali. Butler tidak bisa melepaskan diri dari Mountain Dew.
Selain kecanduan minuman, Butler juga terkenal senang mengunyah sedotan. Beberapa ahli mengatakan kebiasaan itu buruk untuknya. Akan tetapi, sekali lagi rasanya sulit sekali menghentikan adiksi.
Kerja sama Butler dengan Lakers juga tidak berlangsung lama. Ia hanya menghabiskan semusim di sana sebelum dikirim ke Washington Wizards pada 2005. Ia pun mengembara kembali.
Butler cukup lama menghabiskan waktu bersama Wizards. Ia membangun era baru Big Three Wizards di samping Gilbert Arenas dan Antawn Jamison. Ia tampil cukup baik di bawah asuhan Kepala Pelatih Eddie Jordan. Akan tetapi, cedera selalu menjadi alasan yang membuatnya mesti menepi. Pada 2008, misalnya, ia harus beristirahat karena cedera panggul. Padahal ia terpilih sebagai pemain cadangan di NBA All-Star. Sayang beribu sayang, ia harus duduk tanpa bisa tampil di laga antarbintang itu. Karena cedera itu, Butler pun harus rela berpindah klub lagi setelah membela Wizards selama lima tahun.
Di awal musim 2010-2011, Butler resmi bergabung ke Dallas Maverick. Ia melalui musim yang cukup baik dan menjadi bagian vital dari tim itu. Namun, cedera lagi-lagi menjadi alasan yang membuatnya tidak bisa tampil maksimal. Ia harus naik ke meja operasi untuk memperbaiki masalah tendon, sehingga ia gagal tampil di sisa musim itu. Padahal Mavericks di akhir musim berhasil menjadi juara NBA. Butler hanya bisa menjadi bagian tim juara dari sisi lapangan.
Kerja sama Butler dengan Mavericks tidak berlangsung lama. Ia pun harus hijrah ke tempat lain. Setidaknya ada lima tim lagi yang ia singgahi sebelum memutuskan pensiun. Terakhir kali ia tampak bermain untuk Sacramento Kings pada 2016. Setelah itu, ia hilang dari lapangan NBA.
Pada 2017, Butler yang sudah lama hilang muncul kembali. Kali ini bukan sebagai pemain, tetapi sebagai analis pertandingan di ESPN. Media ternama itu menjadikannya analis penuh waktu untuk membahas laga-laga setingkat universitas.
“Kami sangat gembira menambah suara baru untuk siaran laga basket kampus,” terang David Eisler, koordinator produser ESPN saat itu, mengenai kehadiran Butler, seperti dinukil Hartford Courant pada medio Oktober 2017.
Kiprah Butler di luar lapangan tidak berhenti sampai di situ. Pada 2015, ada cerita lain yang tidak kalah menarik. Di tahun itu, ia merilis sebuah buku tentang kisahnya sendiri. Buku itu sedikit-banyak menerangkan apa yang terjadi pada seorang Caron Butler, tentang masa kecilnya yang suram berubah terang di masa depan.
Sejak insaf dari narkoba, ketika beranjak dewasa ia jadi lebih sering berbagi. Ia datang ke komunitas-komunitas, sekolah-sekolah, menemui anak-anak untuk membagi kisah. Ia tak mau anak-anak lain yang notabene merupakan masa depan Amerika Serikat terjerumus di lubang serupa. Oleh karena itu, seperti apa yang ia katakan di awal tulisan ini: ketika Tuhan menyentuhnya, kini saatnya ia menyentuh orang lain.
Kisah unik itulah yang membuat Mark Wahlberg ingin membuat film lagi. Ia ingin turun sebagai sutradara untuk menceritakan kisah Butler kepada masyarakat luas. Butler pun sudah menunjukkan ketertarikannya dan bersedia menceritakan lebih banyak tentang dirinya. Agaknya film satu ini patut dinantikan penggemar basket di seluruh dunia.
Selamat menunggu!
Foto: NBA