"Manusia selalu melawan: bahkan tak pernah ia tak berperang melawan dirinya sendiri."
Begitu kedengarannya sekalimat sederhana tulisan panjang Emha Ainun Nadjib dalam bukunya "Sedang Tuhan Pun Cemburu". Saya mengangguk takzim seraya mengiyakan, kemudian saya lanjutkan membaca. Saya menemukan kalimat menarik lainnya saat itu.
Pada salah satunya esainya yang berjudul “Mental Swasta (Bukan Judul-Judulan)”, Bung Emha melanjutkan, katanya, tidak heran kalau manusia selalu melawan sesuatu dari luar dirinya. Kalau bukan dengan tangan (perwujudan, sistemisasi, aplikasi), ia melawan dengan mulutnya (informasi, dakwah, pendidikan, sosialisasi ide). Kalau tidak dengan mulut, ya melawan dengan pikiran atau instingnya. Jiwa manusia selalu mengadakan perlawanan meskipun hal itu tak diketahui akal pikirannya.
Manusia dalam pandangan saya juga demikian, mereka memang harus melawan. Apalagi jika memiliki nasib yang tidak dikehendakinya. Manusia perlu bergerak untuk mengubah sesuatu dalam hidupnya, sebab hidup tidak selamanya mulus. Ada saja ruam dalam hidup seseorang yang perihnya bahkan tiada kira. Namun, percayalah Tuhan menyimpan segala kebaikan pada tempat dan waktu yang tepat. Selama mau berusaha, pepatah mengatakan: ada banyak jalan menuju Roma.
Pasti ada saja satu-dua bab kehidupan justru menjadi kejutan untuk seseorang. Patrick Patterson tidak akan menjadi dirinya yang sekarang kalau ia tidak menapaki jalan hidupnya sendiri. Ia adalah bukti nyata dari sebuah perlawanan terhadap nasibnya yang kurang beruntung.
Alkisah pada suatu hari, Patterson yang seorang atlet bola basket profesional mendapati dirinya menjadi korban bisnis industri basket. Houston Rockets—tim yang ia bela saat itu—menukarnya ke Sacramento Kings. Tiada hal yang lebih menyakitkan ketimbang menemukan dirinya telah “dibuang” oleh timnya. Padahal ia merasa betah bermain di Houston.
Dengan berat hati, ia terpaksa terbang ke Sacramento untuk bermain bersama Kings. Namun, itu pun tidak berlangsung lama sampai akhirnya ia “dibuang” ke Toronto Raptors. Lagi-lagi ia mengalami nasib buruk karena Raptors, menurutnya saat itu, bukan tempat yang bagus. Akan tetapi, begitulah industri NBA memperlakukannya dan ia harus siap dengan konsekuensi dari apa yang telah ia pilih. Toh, ia sendiri yang memilih masuk ke sana.
Kabar baiknya, tanpa sadar ia terus melawan nasib yang tak dikehendaki itu. Ia tetap pergi ke sana dan berlatih sepanjang hari. Ia mengikuti pertandingan dan tidak berhenti bermain di liga kasta tertinggi Amerika Serikat hanya karena nasibnya yang buruk. Sampai akhirnya, musim 2015-2016 lalu Raptors bermain bagus. Patterson berada di salah satu tim terbaik NBA yang pertandingannya hampir mustahil orang lewatkan.
“Anda tidak akan segera mencintai segala sesuatu tentang pekerjaan baru. Namun, Anda masih harus pergi bekerja setiap hari dan melakukan yang terbaik,” ujar Patterson di The Players' Tribune.
Dalam tulisan lain di situs yang sama, Patterson mengajarkan bahwa masuk ke NBA itu bukan persoalan yang perlu dipikirkan. Justru kesulitan yang paling sulit adalah bagaimana bertahan di sana. Sama halnya dengan kehidupan, bukan hanya persoalan bagaimana manusia lahir, tapi bagaimana ia bisa bertahan dari kehidupan yang kadang lebih kejam dari ibu tiri Cinderella.
Masalahnya, tidak semua orang punya kemampuan yang sama untuk menyelesaikan problematika yang ia hadapi. Akan tetapi, saya rasa semua orang punya kesempatan yang sama untuk melawan itu. Demi menjawab persoalannya, ada sebuah kisah yang tidak kalah penting yang ingin saya ceritakan juga.
Ini cerita tentang seorang pemain yang kakinya hampir diamputasi.
Shaun Livingston, begitulah namanya. Ia merupakan seorang pemain basket yang kini bermain bersama Golden State Warriors, sebuah tim kelas atas yang punya kans juara. Namun, sebelum berada di sana ia justru memiliki kehidupan yang unik, alih-alih menyebutnya tragis.
Livingston pertama kali bermain untuk L.A Clippers pada 2004 silam. Pada sebuah pertandingan tiga tahun setelahnya, ia harus mengalami cedera serius pada bagian lutut. Kalau dijabarkan, setidaknya ia mengalami kerusakan pada anterior cruciate ligament (ACL), posterios cruciate ligament (PCL), medial collateral ligament (MCL), meniscus lateral, patella, dan tibio-fibular joint. Dalam bahasa yang sederhana, semestinya dokter mengamputasi kakinya.
Keajaiban malah terjadi pada 2008. Saat ia punya kesempatan berhenti, ia malah kembali ke lapangan dan bermain basket lagi. Sejak saat itu ia jadi rajin berpindah dari satu tim ke tim lain akibat kakinya yang payah itu. Kalau dihitung, setidaknya ada 11 tim yang sudah ia bela sampai sekarang.
Namun, sejak saat itu pula ia terus melawan nasib yang tak dikehendakinya. Ia tetap berusaha dengan tidak melewatkan rehabilitasi. Ia terus berkarir dengan kakinya yang rusak itu sampai akhirnya menjadi seorang juara. Pada musim 2014-2015, ia sempat mengangkat trofi dan mendapat cincin juara NBA untuk pertama kali. Begitu pula pada 2017 lalu, ia dapat mengangkat trofi untuk kedua kalinya. Ia punya kesempatan untuk mengulangi itu musim ini.
“Saya tidak bisa mengembalikan permainan. Saya bukan seorang ahli bedah atau ahli terapi fisik,” ujar Livingston dalam tulisannya berjudul “Rehab Diaries: Shaun Livingston” di The Players' Tribune. “Tapi, saya bisa menguatkan mental.”
Dari kutipan di atas, setidaknya orang bisa melakukan sesuatu pada nasibnya. Selama ia mau berusaha, sebetulnya selalu ada harapan. Sesuatu bisa berubah karena seseorang ikut mengubahnya. Seseorang—seperti saya sebutkan di muka—punya kesempatan yang sama untuk melawan dan berjuang mengubah hidupnya.
Oleh karena itu, ayolah, jika kehidupan ini terasa melelahkan, setidaknya jadilah bagian dari orang-orang yang percaya kalau kita bisa! Selalu ada titik balik yang bagus untuk kembali kepada kehidupan yang menyenangkan, atau malah mendapatkan kehidupan lain yang lebih menakjubkan. Meski pun kedengarannya memaksa, ini perlu dibuktikan daripada sekadar menggugat dengan cara mengeluh dan merasa ditertawakan.
Semoga cerita ini menjadi pencerah.
Foto: Getty Images