Oh bunda ada dan tiada dirimu
Kan selalu ada di dalam hatiku
Ingatan tentang ibu bagi Melly Goeslaw mungkin terdengar indah lewat penggalan lagu Bunda di atas. Ketika ia buka album biru, walau penuh debu dan usang, pikirnya melayang teringat kisah dahulu yang penuh kasih. Akan tetapi, sayangnya tidak semua orang punya ingatan bagus yang sama tentang ibu. Bagi Jimmy Butler, small forward Minnesota Timberwolves, bayangan ibu sama dengan mimpi buruk yang nyata.
Usia Butler saat itu baru 13 tahun. Tanpa sanak keluarga, tanpa rumah, dan tanpa uang. Ketika anak seusianya pergi ke sekolah, bermain, ikut ekstrakulikuler olahraga, atau mulai mengenal cinta monyet, ia malah harus tinggal di jalanan.
“Aku tidak suka tampangmu. Kamu harus pergi!”
Itulah kalimat terakhir ibunya yang dia ingat. Ia tahu betul bagaimana ibunya sendiri mengusirnya ke jalan. Ingatan itu membuatnya terdiam sebentar dalam sebuah wawancara dengan Chad Ford, penulis senior ESPN. Ia tidak cukup yakin untuk mau menceritakan kisah yang lama terpendam. Ia takut orang merasa kasihan padanya.
“Tolonglah, saya tahu kamu akan menulis sesuatu. Saya hanya memintamu, jangan menulisnya sampai orang-orang merasa kasihan kepada saya,” pinta Butler kepada Ford, seperti ditulis di ESPN. “Saya benci itu. Tidak ada yang perlu dikasihani. Saya mencintai apa yang terjadi kepada saya. Hal itu membentuk siapa saya sekarang. Saya bersyukur pada setiap tantangan yang saya hadapi. Tolonglah, jangan buat mereka mengasihani saya.”
Sejak saat itu—ketika ibunya mengusirnya dari rumah—Butler tinggal dari rumah teman ke rumah teman lainnya. Sampai suatu hari, ia berjumpa Jordan Leslie yang menantangnya kontes menembak tripoin. Jordan sendiri adalah kakak kelasnya di Tomball High School. Setelah itu mereka pun jadi berteman dan Jordan mulai mengundangnya ke rumah.
Kehidupan Butler berubah sejak itu.
Awalnya, orangtua Jordan hanya mengizinkan Butler tinggal beberapa hari. Namun, anak-anak ingin ia tinggal lebih lama. Tanpa terasa, ia telah jadi bagian dari keluarga.
Sebagai gambaran, orangtua Jordan memiliki tujuh anak. Michel Lambert, ibu Jordan, melahirkan empat anak dari suami pertamanya, sementara suaminya sekarang punya tiga anak. Kedatangan Butler tentu menjadikan rumah itu lebih ramai.
Berkat dukungan keluarga barunya itu, Butler berusaha keras menjadi orang yang lebih baik lagi. Ia menjelma menjadi pemain andalan sekolahnya. Di akhir masa sekolah, sebagai kapten tim, ia rata-rata mencetak 19,9 poin dan 8,7 rebound per pertandingan.
Seiring berjalan waktu, tumbuh menjadi pemain terbaik di Tomball tentu tidak serta merta membuat Butler bersinar di mata pencari bakat. Ia gagal masuk Amateur Athletic Union (AAU), sebuah organisasi olahraga amatir yang memiliki program mengembangkan atlet berbakat di Amerika Serikat, sehingga ia tidak terdeteksi oleh perguruan tinggi yang ingin ia masuki. Tanpa adanya pilihan lain, lantas ia melanjutkan sekolah ke Tyler Junior College pada 2007.
Butler berusaha sangat keras bermain di tim basket Tyler Junior College. Sebagai orang baru, kiprahnya cukup mentereng dengan memimpin perolehan poin dan masuk ke dalam jajaran juco All-American. Bakatnya itu lantas mulai terendus pencari bakat. Ia pun mendapat tawaran dari Marquette, Kentucky, Clemson, Mississippi State, dan Iowa State.
Keluarga Lambert mengusulkan Butler mengambil tawaran Marquette dengan pertimbangan akademik. Karena bagi mereka karir basket tidak akan berlangsung lama, Butler membutuhkan pendidikan yang cukup untuk masa depannya. Maka Butler pun memutuskan sekolah di Marquette pada 2008.
Lagi-lagi ujian. Tidak ada hal yang mudah untuk seorang Jimmy Butler. Sejak ditendang ke jalan oleh ibunya sendiri, hidupnya tidak pernah tanpa kesulitan. Kali ini ia frustasi bermain di Marquette. Ia merasa terlalu lama duduk di bangku cadangan dan hanya menonton pertandingan dari sisi lapangan.
Buzz Williams, pelatih sekaligus orang yang merekrut Butler saat itu, memang terlampau keras padanya. Ia merasa harus melakukan itu karena sadar Butler akan menjadi seseorang atau sesuatu di masa depan. Ia percaya anak asuhnya itu, jika dididik keras, akan menjadi seorang bintang.
Butler terus berusaha keras untuk bisa bermain. Ia ingin menjadi pemain yang lebih hebat daripada sekadar pendulang angka. Ketika orang lain meragukannya, ia ingin bisa melakukan segalanya. Ia ingin menjadi pemimpin, ia ingin berguna untuk timnya, karena baginya jago saja tidak cukup.
Pada akhirnya, kesulitan selalu menjadi tantangan yang berhasil ia taklukan. Seperti apa yang ia bilang, kesulitan membuatnya kuat. Hal itu membentuk dirinya hingga menjadi ia yang sekarang. Kerja keras membawanya ke NBA. Karena di tahun terakhirnya di Marquette, bakatnya menarik minat klub-klub liga paling tersohor di dunia itu.
Tahun 2011 menjadi awal karir profesional Butler di NBA. Chicago Bulls memilihnya di urutan ke-30 NBA Draft. Ia menandatangani kontrak pertamanya pada 9 Desember 2011. Sebagai rookie, ia tampil di 42 pertandingan dari total 66 pertandingan (karena pada musim itu NBA mengalami lockout yang menyebabkan terlambatnya gelaran NBA dan dipangkasnya jumlah pertandingan) dari bangku cadangan.
Musim 2012-2013, Butler masih bersama Bulls. Di tahun itu ia mulai dipercaya untuk menjadi pemain utama menggantikan Luol Deng yang cedera. Dari total 82 pertandingan, ia bermain sebagai pemain utama 20 kali. Menit bermainnya meningkat sampai 26 menit per pertandingan. Semusim kemudian, Butler yang terus berkembang berhasil masuk jajaran NBA All-Defensive Second Team.
Akhir tahun 2014, Butler melakukan sebuah pertaruhan. Ia menolak perpanjangan kontrak Bulls lantaran merasa timnya itu belum maksimal memberikan tawaran. Hal itu membuatnya berstatus restricted free agent (klub selain Bulls boleh menawarkan kontrak).
Pertaruhan itu membuat Butler harus melakukan sesuatu. Ia menyewa sebuah tempat tinggal bersama teman-temannya. Rumah itu sederhana: tanpa televisi kabel berlangganan dan internet.
Satu-satunya hiburan yang bisa ia lakukan adalah pergi ke gym dan berlatih basket. Usahanya itu pun membuahkan hasil positif kepada permainannya. Setelah sukses mengantongi kontrak bersama Bulls, di musim itu cetakan poinnya naik hingga 20 poin per pertandingan dengan tambahan 5,8 rebound. Atas performanya sepanjang musim itu, ia diganjar penghargaan NBA Most Improved Player (MIP) dan masuk ke jajaran NBA All-Star.
Sejak saat itu Butler menjadi andalan Bulls untuk memenangkan pertandingan. Ia tumbuh menjadi pemain yang patut diperhitungkan. Penghargaan MIP, dua kali All-Star, tiga kali masuk jajaran NBA All-Defensive Second Team, ditambah medali emas bersama timnas AS di Olimpiade 2016 di Rio de Janeiro, Brasil, adalah wujud nyata usahanya melewati segala tantangan.
Di awal musim 2017, setelah merasa cukup dengan Bulls, Butler pun hijrah ke tempat lain. Ia mencoba peruntungan di Minnesota Timberwolves yang cukup banyak memiliki pemain muda. Di sana ia pun menjadi salah satu pemain veteran yang dirasa mampu membuat tim ini tumbuh.
Kini Butler tengah menuliskan kisahnya sendiri dalam lembaran baru di tempat yang baru. Jika melihat kembali ke belakang, rasanya tidak pernah ada yang menyangka, anak yang diusir ibunya itu kini ada di tempat terbaik yang diinginkannya. Ia telah menaruh ingatan-ingatan baik, yang menimbun kenangan buruk bersama ibunya, pada sebuah album biru.
Kubuka album biru
Penuh debu dan usang
Ku pandangi semua gambar diri
Kecil bersih belum ternoda
Pikirkupun melayang
Dahulu penuh kasih
Teringat semua cerita orang
Tentang riwayatku
Dua bait lagu di atas menjadi memori menarik dari sebuah cerita unik tentang Butler. Bukan, lagu itu bukan tentang ibunya, dua bait lagu itu tentang dirinya dan orang-orang yang bersamanya di saat susah dan senang. Album biru dalam lagu itu diubah isinya menjadi catatan penting perjalanan hidupnya.
Kepada keluarga Lambert, pelatih-pelatihnya, teman-temannya, ia telah membuktikan bahwa kesulitan membuatnya menjadi sehebat sekarang. Atas dukungan mereka, ketidakmungkinan berubah mungkin. Palang melintang bisa ia lewati.
Foto: MPR News