Suatu hari, saya pulang dari kantor larut malam. Sekitar pukul 23.00 WIB kalau saya tidak salah ingat. Pikiran saya agak kacau karena ada banyak hal merecok di dalamnya, terutama soal politik negeri ini yang tampak selalu gamang. Ini belum lagi ditambah isu-isu sosial di lingkungan sendiri yang mudah panas karena masalah sentimen agama.

Masalah mayoritas tampak sombong di hadapan minoritas, sementara minoritas merasa kerdil di hadapan mayoritas, menjadi masalah yang paling merecok belakangan ini. Saya tidak pernah habis pikir soal ini lantaran merasa heran dengan kondisi demikian. Jika meminjam kalimat Ray Allen ketika menanggapi kasus-kasus pembantaian massal di Auschwitz, maka pertanyaan pentingnya merujuk pada satu hal: mengapa manusia bisa melakukan hal itu kepada manusia lainnya?

Pikiran itu tentu menggantung semalaman. Tidak ada jawaban yang dapat memastikan, sehingga saya merasa ingin menyingkirkannya. Ini terlalu memusingkan. Saya berusaha tidak peduli dengan kondisi sosial masyarakat Indonesia. Saya berusaha untuk tidak peduli urusan-urusan politik di negeri ini.

Pada tahap itu, mungkin saya merasakan perasaan orang-orang yang menolak berpolitik. Saya merasakan perasaan orang-orang yang berkomentar di media sosial Mainbasket perihal politik mencampuri urusan bola basket. Mereka menolak keduanya dicampuradukan karena jengah pada politik yang hampir selalu tampil tak menyenangkan.

Namun di sisi lain, jika saya berpikir lebih dalam soal itu, menolak politik ternyata juga sebuah pilihan politik. Orang tidak bisa dengan mudah melepas diri dari politik, sebab ia sudah masuk ke dalam sendi-sendi kehidupan manusia. Sulit terpungkiri.

Oleh karena itu, daripada saya menolak politik, saya pikir lebih baik mencari tahu cara terbaik menggunakannya. Hal paling mudah adalah belajar dari apa yang saya sukai terlebih dahulu, yaitu bola basket, karena ternyata ranah itu pun tidak bebas politik. Tidak percaya? Mari buktikan!

 

Senin, 15 Januari 2018, center Minnesota Timberwolves, Karl-Anthony Towns, mengenakan sepatu Nike Hyperdunk  2016 dengan siluet khusus ketika menghadapi Portland Trail Blazers. Ia memakai sepatu khusus itu dalam memperingati Martin Luther King Jr. Day (MLK Day) demi mengenang perjuangan pejuang kesetaraan ras tersebut.

Towns sendiri sebenarnya merupakan sosok yang cukup vokal menyuarakan isu-isu sejenis ini. Dalam tulisannya berjudul “There Are More of Us Than There Are More of Them” di situs The Players’ Tribune pada Agustus 2017 lalu, ia dengan jelas menulis keresahannya mengenai rasisme yang merajalela. Menurutnya, rasisme adalah kejahatan yang kerap tumbuh meski telah melewati perjuangan untuk meruntuhkannya selama bertahun-tahun.

“Ya, saya kecewa tetapi tidak terkejut. Ini tidak mengejutkan bagi saya bahwa rasisme masih hidup dan menyerang di 2017.”

Tidak hanya persoalan rasisme, Towns juga menaruh perhatian pada isu-isu hak perempuan. Hal itu ia tunjukkan dalam sebuah tayangan video di situs yang sama. Menurutnya, perempuan memiliki hak serupa dengan laki-laki yang seharusnya membuat mereka setara dengan siapa pun.

Towns mungkin menjadi salah satu contoh betapa pemain NBA ternyata memiliki pandangan politik yang membuat mereka berpolitik di segala lini kehidupan. Ia memilih itu lantaran melihat ada ketidakadilan di tengah kebijakan-kebijakan pemerintahnya yang tidak cukup merespon perubahan, bahwa kesetaraan menjadi salah satu hak yang perlu diperjuangkan.

Ini tentu bukan saja meruntuhkan argumentasi tentang politik yang tidak boleh mencampuri urusan olahraga, tetapi juga sekaligus membuka mata orang untuk mengetahui cara menggunakannya. Apalagi Towns bukan satu-satunya yang melakukan hal itu. Karena masih banyak pemain yang memiliki pilihan-pilihan politik demi merespon kebijakan pemerintah.

 

Pada 17 Desember 2017 lalu, LeBron James tampak mengenakan sepatu berbeda warna ketika melawat ke Washington D.C. guna menghadapi Wizards. Ia memakai sepatu berwarna putih di kaki kanannya, sementara kaki kiri memakai warna hitam. Pada sepatu itu, terpampang deretan aksara latin bertuliskan “EQUALITY” (kesetaraan).

Pada kesempatan itu, James ingin menunjukkan perlawanannya terhadap kebijakan-kebijakan Presiden Donald Trump yang membikin warganya, termasuk dunia, merasa jengah. Lewat sepatunya itu ia ingin mengatakan bahwa ia mendukung kesetaraan setiap orang apapun warna kulitnya.

“Kami sebagai orang Amerika, tidak peduli warna kulitnya, tidak peduli rasnya, tidak peduli siapa Anda, saya pikir kita semua harus mengerti bahwa kita memiliki hak yang sama dan mampu membela sesuatu dan berbicara untuk sesuatu dan terus membicarakannya,” ujar James, seperti dilansir Sports Illustrated.

Baca juga: LeBron James Sampaikan Pesan Lewat Sepatu

Selain James, legenda NBA Kareem Abdul-Jabbar sudah lama berjuang di lahan yang sama. Ia bahkan pernah menulis ketidaksetujuannya pada kebijakan Trump tentang larangan pengungsi masuk ke negaranya. Ia mengatakan sikap Presiden AS itu sebagai “kejahatan yang murni” (pure evil) karena telah menggores nilai-nilai kemanusiaan.

Saat muda, Abdul-Jabbar bahkan pernah menolak tampil di Olimpiade lantaran merasa tidak perlu membela Amerika Serikat dalam ajang itu. Upaya itu ia lakukan menyusul protes terhadap ketidakadilan pemerintah AS saat itu dalam memperlakukan orang-orang kulit hitam. Ia lebih memilih untuk bekerja di rumah atau membantu mengembangkan komunitasnya sambil mengurus kuliahnya. “Saya terlalu sibuk,” katanya. 

Baca juga: Aktif Bersuara dan Menulis Demi Kemanusiaan (Kisah Kareem Abdul-Jabbar (4/4))

Dengan mengetahui cerita di atas, apakah masih tidak boleh politik dicampuradukan dengan basket atau olahraga lain?

Jika memang tidak boleh, lalu bagaimana mau mematuhinya kalau salah satu panutan di dunia olahraga ternyata mengomodifikasikannya? Nike, misalnya, sering mengangkat Black History Month (BHM) menjadi salah satu tema tahunan. Gagasan BHM diangkat untuk mengenang peristiwa-peristiwa bersejarah yang melibatkan persoalan personal atau komunitas yang memiliki garis keturunan Afrika.

 

Sepatu-sepatu Nike dengan tema BHM di 2018 ini bahkan lebih jauh mengeksplorasi desain dengan mengambil tiga warna penting dalam paduan warnanya: hijau, hitam, dan merah. Ini adalah tiga warna bendera Pan-African, sebuah gerakan yang bertujuan menyemangati dan menguatkan ikatan solidaritas antarmasyarakat keturunan Afrika.

Tidak hanya itu, merek-merek terkenal lain pun ikut memperingatinya setiap Februari di Amerika Serikat maupun Kanada dan Oktober di Eropa. Liga paling tersohor seperti NBA saja ikut memperingatinya. Mereka memperingati bulan paling bersejarah yang dapat mempersatukan orang-orang keturunan Afrika yang berdiaspora di seluruh belahan dunia.

Bila mereka tak sungkan berpolitik, bahkan merayakannya, kenapa kita justru perlu menghindarinya? "Penalti yang akan dihadapi oleh orang-orang yang tidak terlibat dalam politik adalah diatur (governed) oleh orang-orang yang lebih inferior daripada mereka," kata Plato. Bagaimana?

Oh ya, selamat memperingati Hari Martin Luther King!

Foto: Slam

Komentar