DBL Indonesia telah eksis selama hampir 20 tahun. DBL menjalankan bisnis olahraga yang membuat liga basket pelajar bertahan selama dua dekade dan menjadi yang terbesar di tanah air. Konsep tersebut dipaparkan oleh Founder DBL Indonesia Azrul Ananda di podcast Jadi Beginu: Azrul Ananda, Privilege, dan Bisnis Olahraga di DBL.
“Filosofi saya bikin DBL itu filsafatnya prestasi adalah cost, partisipasi adalah income. Semakin banyak partisipasi, maka lama kelamaan partisipasi akan membiayai prestasi,” jelas Azrul.
Sejak awal terbentuknya DBL, mereka harus menjadi bisnis yang berkelanjutan (sustainable). Azrul menjelaskan DBL tidak boleh bergantung ke sponsor saja. Untuk itu dibuatkan model bisnis. Disinilah pentingnya peran penonton dan penggemar dalam sebuah liga.
“Penonton diajarkan beli tiket, merchandise, duit itu akan diputar untuk membesarkan olahraganya. Jangan terbiasa meminta sponsor. Sponsor penting tapi benefitnya juga harus clear dan profesional, bukan minta tolong. Nggak sehat kalau yang subsidi berhenti,” lanjutnya.
Berkaca dari NBA sebagai industri bola basket terbesar di dunia, pendapatan terbesar mereka bukan dari sponsor. Melainkan dari penjualan tiket dan merchandise lalu hak siar televisi.
Menurut Azrul, penontonlah yang membuat DBL bisa mencetak sejarah sebagai liga pelajar yang bisa menggelar pertandingan di Indonesia Arena, Jakarta. Final Honda DBL with Kopi Good Day DKI Jakarta Series pada 17 November 2023 lalu menjadi event olahraga pertama di venue tersebut sejak Piala Dunia FIBA 2023.
“DBL bisa di Indonesia Arena bukan karena DBL. Tetapi karena yang beli tiket ini. Kami didorong oleh sponsor untuk kesini dan ditarik oleh penonton untuk bisa lebih tinggi. Semua yang duduk di kursi penonton yang membuat DBL bisa di Indonesia Arena. Itu yang namanya industri olahraga,” kata alumnus California State University Sacramento itu.
Dalam Final DBL Jakarta itu, menampilkan pertandingan SMA Jubilee vs SMA Bukit Sion (putra) dan SMA Jubilee vs SMAN 17 Jakarta (putri). Sebanyak 12 ribu tiket sold out. Bahkan tiket sudah ludes terjual H-1.
“Kalau nggak sold out, itu nggak sustainable. Saya bisa mengeluarkan uang tapi untuk apa? Nggak sehat. Nggak bikin industri ini maju,” tuturnya.
Tidak hanya meningkatkan basis penggemar. DBL juga mengembankan model bisnis yang lain yang saling berkaitkan. Sehingga terciptalah ekosistem yang menguntungkan untuk berbagai pihak.
Mulai dari pengadaan bola basket sendiri. Ini untuk memenuhi kebutuhan liga lebih dari seribu bola per musim. Kemudian sepatu basket lokal yang terjangkau oleh semua kalangan hingga apparel basket lainnya.
“Masa depan depan DBL nggak ada endingnya. Karena yang menjaga ya alumnusnya sendiri yang pernah disitu,” kata Azrul yang menyebut alumnus DBL sudah lebih dari 40 ribu orang. (*)
Foto: DBL Indonesia