Lebih dari dua dekade lalu, Badai Hugo menerpa Amerika Serikat dan Kanada, membuat pemukiman di sejumlah tempat hancur lebur. Ratusan ribu orang kehilangan tempat tinggal, puluhan orang lainnya harus meregang nyawa. Sebuah bencana alam yang menjadi tragedi kelam bagi banyak orang, salah satunya Timothy Teodore Duncan.
Tim Duncan, begitulah orang kemudian mengenalnya, lahir di Saint Croix, Virgin Island, Amerika Serikat pada 25 April 1976. Sebelum badai besar itu menerpa rumahnya, ia bukanlah seorang pemain bola basket melainkan seorang perenang yang berprestasi. Duncan adalah salah satu perenang muda terbaik di Amerika Serikat. Ia bahkan bercita-cita ingin mewakili Amerika Serikat di Olimpiade 1992. Akan tetapi, bencana alam ternyata mengubah segalanya.
Sejak Badai Hugo menerpa kotanya, Duncan kehilangan tempat latihan. Satu-satunya kolam renang berstandar Olimpiade di kotanya rusak, sehingga ia terpaksa berenang di laut. Namun, upaya itu justru tak membuatnya semakin menyenangi olahraga renang. Ketakutannya terhadap ikan hiu membuatnya kehilangan antusiasme.
Setelah mengalami tragedi kelam itu, Duncan lagi-lagi harus menghadapi kenyataan pahit. Ia harus kehilangan ibunya yang menderita kanker payudara sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-14. Di hari terakhirnya, Sang Ibu berpesan kepada anak-anaknya supaya tidak meninggalkan kuliah. Ia meminta Duncan dan kakak-kakaknya menyelesaikan kuliah dengan mendapatkan gelar.
“Beliau membuat saya dan kakak saya berjanji untuk pergi kuliah,” kenang Duncan tentang ibunya, seperti dikutip slamduncan.com, “Hal itu membuat saya memutuskan untuk mengikuti kompetisi tingkat mahasiswa selama empat tahun sebelum pergi ke NBA.”
“Beliau selalu suportif dan dedikatif, dan saya merasa beliaulah yang sangat mempengaruhi hidup saya,” tambah Duncan. Setelah itu, Duncan tidak pernah mengikuti kejuaraan renang apapun sampai ia terinspirasi oleh kakak iparnya untuk bermain basket. Ia pun mencoba peruntungan di dunia basket.
Saat bermain basket, Duncan kesulitan beradaptasi dengan olahraga barunya. Kevin Kernan bahkan mengutip pendapat Nancy Promroy, direktur atletik St. Croix Country Day School, tentang Duncan dalam bukunya “Slam Duncan”. Menurut Promroy, saat pertama kali bermain basket, mantan forward Spurs itu terlihat besar dan tinggi, tetapi sangat kikuk di lapangan. Namun, ia berhasil mempelajari basket dengan cepat.
Selama SMA, Duncan berubah menjadi salah satu pemain yang menonjol. Setidaknya, ia membukukan rata-rata 25 poin per pertandingan di tahun terakhirnya. Sehingga hal itu membuat sejumlah universitas meliriknya. Salahnya satu di antaranya adalah Wake Forest University.
Dave Odom, kepala pelatih Wake Forest Demon Deacons, saat itu tertarik pada bakat Duncan setelah melihatnya melawan Alonzo Mourning (yang kemudian menjadi bintang NBA) dalam pertandingan lima lawan lima. Saat itu ia membutuhkan pemain tinggi yang dapat mencetak angka di dekat ring. Odom melihat hal tersebut dalam diri Duncan.
Meski mendapat tawaran beasiswa dari Hartford University, Delaware University, dan Providence College, Duncan menetapkan Wake Forest sebagai tempat kuliahnya. Sehingga ia pun bergabung dengan tim asuhan Dave Odom itu. Apalagi di tahun itu, Demon Deacons baru saja ditinggal Rodney Rogers yang mengikuti NBA Draft 1993.
Awalnya, Dave Odom memutuskan untuk menunda debut Tim Duncan di kompetisi tingkat mahasiswa. Akan tetapi, kehilangan Makhtar N’Diaye membuatnya harus cepat-cepat mengeluarkan calon bintang NBA itu di pertandingan. Sayangnya, Duncan kesulitan beradaptasi dengan transisi tim dan tampil tanpa mencetak poin satu pun di awal karirnya, tetapi proses ternyata membuahkan hasil, ia kemudian menjelma menjadi pemain bintang dan sukses bermain bersama tim basket Wake Forest selama empat tahun. Ia berusaha memegang janji kepada mendiang ibunya untuk menyelesaikan kuliah. Setelah itu, barulah ia boleh menapak jejak di NBA.
Pada akhirnya, Duncan pun berhasil masuk ke NBA pada 1997. San Antonio Spurs memilihnya di urutan pertama. Sisa ceritanya kemudian menjadi sejarah sendiri bagi liga basket terbesar di dunia itu. Bukan hanya karena Duncan bergemilang prestasi, tetapi kehadirannya juga cukup menginspirasi dan memotivasi banyak kehidupan di luar itu. Jika mengingat soal Badai Hugo, ia telah mengubah bencana menjadi kisah lain yang patut diacungi jempol.
Foto: Associated Press