Belakangan dunia pop Korea Selatan sedang dirundung duka akibat meninggalnya salah satu pegiat mereka. Kim Jonghyun, penyanyi utama grup musik SHINee, meninggal di rumah sakit Seoul setelah tak sadarkan diri di apartemennya. Konfirmasi pihak berwenang seperti yang beredar di media-media massa maupun sosial mengabarkan bahwa Jonghyun pingsan akibat bunuh diri. Ia diduga meracuni dirinya dengan gas monoksida dari briket batubara.
Tidak lama sejak itu, beredar sebuah surat yang ditulis Jonghyun. Dalam surat itu, ia menceritakan betapa hancur dirinya. “Depresi yang perlahan menggerogoti akhirnya menghancurkan saya, dan saya tak bisa melawannya,” tulis Jonghyun, seperti dikutip viva.co.id, Selasa 19 Desember 2017.
Kabar itu tentu sangat mengejutkan. Tidak jarang para Shawol—sebutan penggemar SHINee—di Indonesia merasakan kesedihan itu, bahkan ada yang mencoba bunuh diri juga.
Orang-orang pun mununjukkan keheranan mereka kepada kasus itu, termasuk tentang Shawol yang mencoba bunuh diri. Tidak sedikit warganet malah murka karena tidak percaya atas apa yang terjadi. Warganet pun merundung korban sedemikian rupa lewat media-media sosial yang bisa mereka manfaatkan. Padahal masalahnya tidak sesederhana itu jika berbicara tentang depresi dan bunuh diri.
Dari sekian banyak kasus bunuh diri, kisah Jonghyun tentu bukan satu-satunya yang menggemparkan masyarakat dunia. Pada Juli 2017 lalu, publik sempat gempar lantaran Chester Bennington, vokalis Linkin Park, membunuh dirinya sendiri di hari ulang tahun Chris Cornell, vokalis Audioslave yang lebih dulu meninggal dua bulan sebelumnya. Kedua sahabat ini meninggal dengan cara yang sama: gantung diri. Sekilas dua kasus bunuh diri ini seolah berkaitan.
Jauh sebelum ketiga kasus di atas, pada 1994 publik telah lebih dulu kehilangan musisi ternama—Kurt Cobain. Vokalis Nirvana itu bunuh diri dengan menembakkan senjata api ke kepalanya akibat depresi. Sebuah surat perpisahan ditemukan di saku jaketnya.
Berikut sepenggal isi surat itu mengarahkan orang yang membacanya kepada dugaan bunuh diri:
“Thank you all from the pit of my burning, nauseous stomach for your letters and concern during the past years. I'm too much of an erratic, moody baby! I don't have the passion anymore, and so remember, it's better to burn out than to fade away.”
Bunuh diri Cobain lagi-lagi bukan satu-satunya. Dalam riwayat keluarga besar Cobain, ada dua kerabatnya yang bunuh diri, juga menggunakan senjata api. Seolah-olah hal itu semakin menunjukkan bahwa kasus-kasus bunuh diri memberikan inspirasi kepada yang lain untuk melakukan tindakan serupa.
Apakah benar begitu?
Aditya Widya Putri menulis sebuah artikel di tirto.id yang menjawab pertanyaan di atas. Dalam artikel itu, ia memaparkan sebuah penelitian yang dilakukan Soo Ah Jang dkk. tentang kemungkinan kasus bunuh diri selebritas Korea menginspirasi kasus bunuh diri lainnya, terutama pada orang-orang terdekat yang berada dalam satu lingkaran. Maka, tidak heran jika kasus-kasus Jonghyun-Shawol, Bennington-Cornell, dan Cobain-famili terlihat saling berkaitan dalam menginspirasi tindakan bunuh diri masing-masing.
Penelitian lain membuktikan fakta keterlibatan media dalam menginspirasi tindakan-tindakan bunuh diri. Menurut laporan penelitian Lee J. dkk. pada 2014, peliputan media tentang bunuh diri para selebritas Korea mempengaruhi kasus bunuh diri lainnya. Setelah selebritas melakukan bunuh diri, jumlah artikel terkait hal itu melonjak 80 kali lipat dalam seminggu.
Penelitian itu juga memaparkan, sebesar 37,1 persen artikel-artikel terkait bunuh diri ternyata melanggar pedoman pelaporan. Salah satunya dengan memaparkan metode bunuh diri secara terperinci. Padahal hal itu cukup berbahaya mengingat kasus-kasus bunuh diri menginspirasi kasus lainnya.
Lalu, apa yang mesti dilakukan?
Dalam beberapa kasus depresi, memang tidak semua orang yang mengalami hal itu berakhir dengan kematian. Beberapa justru selamat dari upaya bunuh dan hidup dari pengalaman-pengalaman menyedihkan itu. Salah satu kasus penderita depresi itu melibatkan Daniel Hiram Gibson Sr., seorang bekas pemain bola basket profesional.
Boobie—sapaan akrab Gibson—sempat bermain untuk Cleveland Cavaliers pada 2006-2013. Ia memang bukan pemain yang prestisius, tapi perannya disebut-sebut cukup instrumental di era itu. Megabintang Cavaliers, LeBron James, sendiri yang memilihnya secara pribadi melalui NBA Draft 2006 di ronde kedua urutan ke-42. Boobie dipercaya memiliki potensi sebagai guard yang dapat melesatkan tembakan tripoin untuk membantu Cavaliers melewati musim di NBA. Hanya saja kemampuannya itu tidak membawanya ke mana-mana. Tidak pula cincin juara.
Boobie bermain selama tujuh musim bersama Cavaliers sebelum hilang dari sorotan. Ia pun memutuskan pensiun pada 2015 lantaran mengalami cedera berkepanjangan. Namanya hampir tidak pernah terdengar lagi, tapi tidak lama setelah menghilang dari lapangan itu ia justru muncul dalam sebuah acara radio bertajuk “The Breakfast Club” milik radio Power 105.1 FM.
“Aku akan melepas karir NBA dan mulai nge-rap,” ujar Gibson dalam siaran itu seperti dilansir cleveland.com.
Keputusan Boobie mengakhiri karirnya untuk terjun ke dunia musik itu tentu mencuri perhatian dari banyak orang, terutama warganet di Twitter. Tidak jarang mereka mengomentari keputusan itu dengan remeh. Beberapa orang bahkan menganggapnya telah mengambil keputusan bodoh.
Suatu hari, wawancara Boobie dengan Dime Magazine pada Mei 2017 lalu mengungkap semuanya. Ia mengatakan, keputusan yang ia ambil saat itu merupakan bagian dari upaya menyelamatkan diri dari depresi. Ia menganggap, orang-orang telah melihatnya dengan konsepsi yang salah.
Di tahun terakhirnya bermain, Boobie mengalami cedera ankle yang diperparah oleh luka di tendon (jaringan serat kuat yang menghubungkan otot dengan tulang) di kakinya. Ia pun harus melakukan operasi untuk memulihkan cederanya, belum lagi harus melalui masa pemulihan yang tidak sebentar.
Boobie mengaku cukup depresi ketika menghadapi cederanya. Namun, itu bukan satu-satunya alasan yang membuatnya murung. Selain harus mengahadapi cedera, ternyata ia pun mesti menghadapi sidang perceraian dengan istrinya kala itu.
Operasi. Perceraian. Secara mental tentu menguras pikiran Boobie bahkan merusak fisiknya secara perlahan. Ia kesulitan untuk menjalani hidup normal. Ia tidak bisa bermain basket, padahal ia biasa memainkannya setiap hari dengan normal. Kala itu segalanya terasa berjalan tidak biasa. Namun, kemudian menulis lagu dan nge-rap menjadi penunjuk jalan yang menyelamatkannya dari depresi. Ia pun jadi lebih dekat dengan anaknya. Anak yang bersamanya ketika senang dan susah sehingga ia terhindar dari bunuh diri.
“Aku mulai menulis apa yang aku rasakan,” jelas Boobie lebih lanjut. “Apa yang ingin aku rasakan, apa yang ingin aku capai, dan itu semua membuatku terus berjalan. Hal itu—dengan keberadaan anakku—pada dasarnya menyelamatkanku.”
Berbeda dengan Boobie yang terselamatkan dari depresi oleh rap dan anaknya, Frederic Weis, bekas pemain tim nasional Perancis, berupaya bunuh diri karena masalah pribadi.
Pada 2002, tiga tahun setelah ia terpilih dalam NBA Draft tapi tidak sempat bermain di sana, anak laki-laki lahir. Weis sejak lama menantikan kelahiran Enzo, anaknya itu, tetapi untung tak bisa diraih dan malang tak bisa ditolak, anak itu tumbuh dengan kelainan. Dokter mengatakan, ia mengidap autisme. Gejala itu terlihat ketika usianya menginjak satu tahun.
Saat itu Weis sedang bermain di Spanyol. Dengan mengetahui anaknya yang mengalami kelainan, ia jadi sering pulang telat, hadir di bar-bar di sekitar Bilbao, menghabiskan waktu sampai pagi dengan minum-minum. Ketika ia dan istrinya—yang sekaligus membawa Enzo kembali ke Perancis—berpisah pada 2004, kehidupan malamnya semakin parah.
Weis berusaha untuk mengunjungi istri dan anaknya sebisa mungkin. Akan tetapi, ia sulit menyembunyikan kekecewaannya tentang Enzo. Weis tidak stabil secara emosi. Hal itu mempengaruhi kehidupannya, baik di dalam maupun di luar lapangan. Sampai pada 2008, suatu hari ia menghentikan mobilnya di rest area di Biarritz, Perancis, dan menelan pil tidur terlalu banyak.
Sepuluh jam kemudian, Weis bangun dari tidurnya yang cukup panjang. Dalam beberapa menit, ia merasa bingung dengan apa yang baru saja terjadi. Ia melihat botol kosong tergeletak di dekatnya. Ia gagal bunuh diri. Namun, kemudian ia bersyukur karena gagal bunuh diri. Apalagi ketika ia mengingat istri dan anaknya di rumah.
“Itu keberuntungan terbesar dalam hidup saya,” kenang Weis, seperti dikutip New York Times, Juli 2015 silam.
Sama seperti Weis yang kemudian mensyukuri kegagalannya, Jay Williams, bekas pemain Chicago Bulls, memiliki cerita sendiri tentang bunuh diri. Setelah mengalami kecelakaan sepeda motor yang membuat karirnya hancur pada 2003, ia berusaha memutus nadi di tangannya.
“Saya ingat sedang berbaring di kasur,” cerita Williams kepada New York Times pada 2013 silam. “Dan saya lelah berada di sini. Saya tidak ingin ada di sini lagi. Saya takut bertemu orang lain. Dan saya benar-benar tidak tahu siapa saya. Dan saya benar-benar tidak ingin orang lain melihat saya. Dan saya tidak ingin berbicara kepada siapa pun. Saya tidak ingin membicarakan (kecelakaan) itu.”
Untungnya, ketika Williams hendak membunuh diri sendiri, ibunya memergoki. Ia pun mengurungkan niatnya dan terhindar dari malapetaka yang lebih sesat.
“Saya masuk. Saya melihat (upaya bunuh diri) itu. Saya tidur di kamarnya setiap hari setelah itu,” ujar Ibu Williams.
Dalam sebuah tayangan video di Goal Cast, Williams menunjukkan tato di lengan yang pernah ia ingin potong. Katanya, tato itu mengingatnya pada upaya bunuh diri. Tato itu mengingatkannya pada pesan Ibu tentang: jika kamu tidak mempercayai dirimu sendiri, lantas siapa yang akan percaya kepadamu? Ia pun bersyukur memiliki seorang ibu yang setia menemaninya dalam waktu-waktu sulit. Kalau bukan karenanya, mungkin ia sudah tidak ada di dunia ini untuk memperbaiki hidupnya yang hancur.
Dengan kesempatan hidup kedua itu, Williams kini hidup lebih baik. Ia sempat kembali bermain basket pada 2006, tetapi tidak berlangsung lama karena cedera mengganggunya. Ia pun menjadi analis basket kampus bersama ESPN dan CBS Sports. Pada 2016, ia meluncurkan autobiografi berjudul "Life Is Not an Accident: A Memoir of Reinvention".
Kesempatan hidup yang lebih baik!
Ya, itulah yang didapat dari mereka yang selamat dari bunuh diri. Namun di sisi lain, ada satu hal yang—secara garis besar—tergambar dalam ketiga cerita pebasket di atas tentang bagaimana mereka bisa selamat.
Satu hal itu adalah teman.
Boobie dengan rap dan anaknya yang setia menemani hari-harinya. Weis memiliki istri dan anak yang membuatnya bersyukur selamat dari upaya bunuh diri. Williams yang selamat karena terpergok ibunya, yang kemudian tidur setiap hari menemaninya. Mereka adalah teman bagi para korban depresi yang ingin bunuh diri. Mereka hampir tidak kesepian karena ada orang-orang yang peduli.
Sayangnya, dalam kasus-kasus bunuh diri yang tidak selamat, beberapa korban justru merasa kesepian. Jonghyun, misalnya, menulis surat perpisahan dengan mencantumkan perasaan sepinya di dalam sana. “Jika aku tidak bisa bernapas, sebaiknya aku berhenti bernapas sama sekali. Aku bertanya pada diriku siapa yang bertanggung jawab untukku. Hanya aku. Aku benar-benar sendirian,” tulisnya.
Perasaan sepi memang mengacaukan hampir segalanya. Maka dari itu, sebaik-baiknya seorang teman adalah mereka yang mencoba peduli. Karena dengan adanya sedikit pelajaran di atas, maka cukupkah bagi kita berpikir bahwa merundung para korban yang hendak atau sudah bunuh diri adalah hal tidak berguna? Cukupkah ketidakpedulian menjadi hal yang tidak bijaksana dan membuat orang merasa hidup asing di lingkungannya sendiri? Cukupkah kasus-kasus bunuh diri menunjukkan kepada masyarakat luas bahwa depresi itu nyata dan mengancam kehidupan di sekitar kita?
Bukankah itu cukup? Lalu, tunggu apa lagi?
Informasi tambahan:
Jika teman Anda memperlihatkan tendensi untuk melakukan bunuh diri, atau justru Anda sendiri merasakannya, amat disarankan untuk berdiskusi dengan ahlinya. Selain itu, Anda juga dapat menghubungi beberapa tempat berikut untuk mendapat rujukan ke profesional terdekat.
Direktorat Bina Pelayanan Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Situs web: www.sehat-jiwa.kemkes.go.id
LSM Jangan Bunuh Diri
Telepon: 021 9696 9293
Surel: janganbunuhdiri@yahoo.com
Into the Light
Surel: intothelight.email.@gmail.com, pendampingan.itl@gmail.com
LSM Lintas Imaji (Inti Mata Jiwa)
Telepon/Fax: (+62274) 2840227
Surel: mail@imaji.or.id
Foto: US Weekly