Manusia bisa berada di tempat yang sama dalam waktu yang berbeda, tetapi tidak bisa sebaliknya. Belum pernah—dalam sejarahnya—manusia berada di tempat berbeda di waktu yang sama. Maka, perlulah manusia membagi waktu untuk menjalankan hidupnya.
Itulah yang juga dilakukan Surliyadin, forward Garuda Bandung, yang kebetulan di tahun 2017 ini dianugerahi seorang putri bernama Aranka Raifa. Ia mengaku sangat senang memiliki anak. Akan tetapi, dengan kehadiran buah hatinya itu, peran Surliyadin ternyata menjadi lebih banyak dari biasanya. Karena selain menjadi pemain bola basket profesional, ia juga harus menjadi seorang pelajar yang sekaligus seorang ayah.
Menurut Surliyadin, itu memang menjadi hal yang melelahkan. Akan tetapi, kehadiran Aranka justru penting karena membuatnya terpacu untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Sebagai seorang ayah ia ingin memberikan yang terbaik untuk keluarganya. Oleh karena itu, Mainbasket kemudian menemui Surliyadin di mess Garuda di Arcamanik, Bandung, Jawa Barat, 6 September 2017, untuk melakukan wawancara tentang peran barunya itu.
Dalam wawancara itu, Surliyadin menceritakan tentang banyak hal, terutama bagaimana ia merencanakan masa depan anaknya. Tidak luput, ia juga menceritakan bagaimana mungkin ia membagi waktu antara basket, kuliah, dan menjadi seorang ayah. Karena, katanya, membagi waktu itu penting. Sepenting apa? Simak wawancaranya di bawah ini!
Kebanyakan orang sepakat kalau menjadi pemain profesional itu tidak memiliki umur yang panjang dalam karirnya. Lantas apa yang Surliyadin siapkan untuk keluarga setelah itu?
Saya persiapkan, pertama, diri sendiri dulu. Kayak ijazah itu. Ilmunya harus terpakai. Kebetulan sekarang mengambil (S2) manajemen. Ujung-ujungnya tujuannya ada di bisnis juga sebenarnya. Tapi, umur saya sekarang, kan, masih...mau 28 tahun. Ya kalau masuk ke dunia kerja—seandainya saya berhenti basket—ya masih ada kesempatan. Apalagi kalau untuk PNS, kan. Cuma, mungkin, itu opsilah karena saya lebih tertarik di bisnis. Jadi, sekarang sambil jalani bisnis pelan-pelan.
Bisnis apa itu?
Sekarang retailer di Aceh. Kayak (produk) sport gitu. Cuma saya masih retail, ambil barang dari siapa dijual saja. Selain itu, ada rumah kost di Bandung. Rumah kost sudah mulai jalan, sih. Cuma ada 10 kamar, tadinya 14. Cuma karena saya pikir buat keluarga, jadi empat kamar itu dipisahkan. Dua kamar dijadikan satu, jadi empat kamar itu jadi dua kamar. Sisanya yang 10 kamar disewakan.
Mengapa bikin usaha rumah kost? Apakah karena peluangnya besar?
Ya jelas, apalagi di daerah situ kampusnya ada Poltekpos (Politeknik Pos), di Gegerkalong ada Telkom, ke atas lagi ada STPB (Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung) sama UPI (Universitas Pendidikan Indonesia), ke bawahnya ada Maranatha.
Mungkin rumah kost modal awalnya berat, tapi kalau menjalankannya tinggal maintenance (menyesuaikan). Sekarang saya juga sedang mencoba supaya listrik itu menjadi tanggung jawab penyewa. Cuma itu belum kejadian, jadi sekarang masih kebobolan soal listrik.
Omong-omong, sudah berapa lama berkarir sebagai pemain profesional?
Lima tahun lebih. Sejak musim 2012-2013.
Hal apa saja yang sudah didapat selama itu?
Banyak banget. Pengalaman, tahu bagaimana cara kerja manajemen beberapa tim. Banyak link (kenalan) jadinya. Paling banyak itu link. Kalau di basket banyak ketemu lawan yang sepadan, di bawah, sampai pemain asing. Di luarnya itu lebih banyak lagi, sampai kalau habis kontrak itu pasti ada yang menawarkan kerja di perusahaan. Tapi, kalau dipikir-pikir, karena masih sanggup dan masih dibutuhkan tim, ya masih main. Namanya hobi yang dibayar itu enak banget.
Menjadi pemain profesional kan menguras waktu, jauh dari keluarga, apalagi kalau sedang bertanding keluar kota. Apakah itu juga terasa oleh Surliyadin?
Kalau dibilang menguras waktu, sih, menguras waktu banget. Apalagi keluarga saya di Bekasi. Kebetulan istri masih menjalani pendidikan di UI (Universitas Indonesia). Keluarga saya di Bekasi, jadi anak saya dititipkan di tempat neneknya. Saya di Bandung.
Cuma harga matinya adalah Sabtu-Minggu saya bersama mereka. Jadi, di akhir pekan itu saya menghabiskan waktu sama mereka. Harus itu. Apalagi di Garuda latihannya Sabtu-Minggu libur. Jadi, Jumat malam pasti sudah sampai di sana.
Kalau liga sedang bergulir biasanya pertandingan digelar Sabtu-Minggu. Bagaimana dengan itu?
Nah, kalau liga lagi jalan biasanya kami dikasih libur sehari setelahnya. Hari Senin atau Selasanya. Nah, pasti pas libur itu saya sama keluarga. Kayak gitu. Intinya saya selalu punya waktu buat Si Bayi. Pokoknya kalau saya ada di rumah, itu urusan semuanya saya yang kerjakan.
Memang bagaimana pembagian tugas mengurus anaknya itu?
Semua saya jalani, kecuali menyusui. Kalau menyusui saya gak bisa. Jadi, kayak ganti popok itu saya yang ganti. Ganti popok itu paling PR, tapi saya kan belajar. Saya pertama kali belajar dari istri, karena istri saya mengerti banget.
Waktu kapan belajar hal-hal itu?
Waktu dia belum sebulan saya sudah belajar. Soalnya memang dilatih sama istri. Dia sudah kebayang nanti bakal bagaimana, menghabiskan waktunya bagaimana, soalnya dia tahu suaminya itu atlet, pasti di akhir pekan saja ada waktu buat keluarga. Jadi, belajar memandikan, cara ganti bajunya, sampai ganti popok. Wah, seru pokoknya.
Pasti di awal mengalami kesulitan, ya? Namanya bayi, kan, nangis terus.
Benar. Pokoknya sebulan pertama itu kami begadang setiap malam. Soalnya dia belum teratur jadwal tidurnya. Cuma syukurnya itu waktu dia lahir masih off season, jadi saya masih libur. Ya sudah, berdua saja mengurus anak, sisanya dibantu orangtua.
Apa komentar Surliyadin soal orangtua kalian yang ikut mengurus bayi?
Yang urus ada Si Bibi di rumah sama nenek dan kakeknya. Kebetulan karena ada cucu, Nenek pensiun. Memang sudah diniatkan, pas lagi hamil tahun depan akan pensiun. Kebetulan waktunya sudah boleh. Dan, kakeknya Aranka memang sudah pensiun duluan. Mereka lebih senang Aranka di Bekasi saja—di rumah. Biar ada teman main.
Lalu, apa yang Surliyadin dan istri persiapkan untuk masa depan Aranka?
Dari awal, sih, masuk ke sekolah yang gurunya itu bisa mendidik dia masalah agama.
Di manapun? Atau ada sekolah khusus yang jadi target?
Kalau rencana ke depan kami inginnya di Bandung, tapi kalau untuk waktu dekat ya di Bekasi. Kebetulan kenal dekat dengan Ustad Adi Hidayat. Jadi, di situ ada sekolah—pondok gitu. Biar sekolah di situ supaya dia bisa jadi hafizah (penghafal Al-Quran dalam Islam). Biar ada yang mendoakan saya kalau saya sudah meninggal. Itu yang penting.
Kalau soal karir, ingin mengarahkan anak ke mana?
Kalau karir itu dia yang pilih, tapi kalau ibunya itu lebih memilih softball. Kalau soal olahraga itu senangnya softball, bulutangkis, tenis. Kalau bapaknya kan basket, voli, futsal. Bahkan kami sempat berpikir ingin Aranka jadi atlet senam kayak si Biles (Simone Biles, atlet senam Amerika Serikat yang meraih medali emas di Olimpiade 2016).
Senam, ya? Iya, senam itu.
Itu kalau bidang olahraga. Kalau akademisnya malah ibunya gak mau anaknya jadi dokter juga kayak dia. Capek, katanya. Kasihan. Paling benar memang jadi hafizah saja, terus mengajar dan sharing ilmu sama orang lain.
Maka untuk menanamkan dasar-dasarnya itu harus sejak kapan mulainya?
Dari usia empat bulan ini sudah ditanamkan. Sebenarnya dari sekarang sudah diajari mendengarkan murottal (bacaan Al-Quran). Nanti diajari hijaiyah (huruf dan aksara arab) dulu kalau sudah agak besar. Inginnya begitu.
Lantas, setelah menjadi seorang ayah, apa yang Surliyadin rasakan?
Setiap pekerjaan jadi lebih terpikirkan. Jadi, tanggung jawabnya lebih besar. Motivasinya lebih besar. Motivasinya ingat karena ada Si Bayi. Harus semangat. Kayak sekarang sambil basket sambil melanjutkan pendidikan.
Memangnya apa arti penting kehadiran seorang ayah dalam keluarga menurut Surliyadin?
Kalau buat saya, ayah itu sosok yang paling intim. Meski pun ibunya bisa lebih dekat karena dia yang melahirnya dan menyusui. Itu yang tidak bisa dilakukan bapaknya. Ibu ini perannya besar, tapi bapak sama besarnya karena bisa jadi panutan seorang anak. Karena dia yang bisa mengajarkan segala hal. Bapaknya itu punya pengalaman yang lebih banyak tentang lingkungan.
Artinya apa yang bisa dibagikan oleh seorang ayah, terutama ketika anak beranjak remaja?
Pengalaman. Pengalaman itu banyak. Apalagi saya dari Aceh. Tahu bagaimana bedanya budaya di sana sama di sini. Aku sudah—walaupun umur masih segini—banyak membaca perbedaan budaya. Rencananya, sih, kalau nanti kami sudah bisa mengobrol, saya ingin banyak cerita tentang pengalaman hidup. Nanti kan dia pasti banyak tanya.
Terus, Surliyadin sendiri belajar mengurus anak ini dari buku-buku tidak?
Gak di buku, sih. Lebih ke internet. Saya dan istri juga sharing satu sama lain. Sampai nanti di boleh pegang gadget juga saya dan istri harus belajar menentukan kapan anak boleh pegang gadget. Kami juga harus belajar cara memblok internet supaya cocok untuk anak-anak. Pokoknya kami tidak boleh kalah gaptek sama anak-anak.
Sekarang ini, ketika anaknya belum bisa bicara atau jalan, apa yang ingin Surliyadin lakukan untuk menikmati kebersamaan?
Waktu bermain, sih. Weekend harus pulang supaya dia gak lupa sama bapaknya. Kalau gak gitu nanti tiba-tiba pulang dipanggil oom. Sekarang saja suka dibercandai, dipanggil oom karena lama gak ketemu. Intinya ketemu itu supaya dia tahu siapa bapaknya. Supaya dia ingat. Jangan salah orang.
Itu kan perlu pembagian waktu yang benar. Bagaimana Surliyadin menyikapi semua kegiatan supaya tidak ada satu pun yang terbengkalai?
Kalau basket, kan, sudah rutin. Latihan itu biasanya pagi sama sore atau sekali saja. Logikanya pagi-sore, makanya kuliahnya ambil malam. Jadwalnya itu ambil yang jam tujuh malam. Terus, kenapa kuliahnya ambil weekdays, itu supaya Sabtu-Minggu bisa pulang ketemu keluarga. Sabtu-Minggu gak bisa diganggu.
Itu pasti melelahkan, tapi bagaimana Surliyadin menjalankan itu?
Capek itu pasti, tapi kalau ingat sama keluarga jadi motivasi tersendiri itu. Apalagi istri saya juga mengalami itu. Dia kan sekolah. Dia lagi ambil spesialis. Kalau dia sudah mengerjakan paper itu terpacu ingin cepat selesai karena ingat sama Si Bayi. Walaupun lagi gak bisa ketemu, biasanya video call. Teknologi membantu banget sekarang ini. Meski pun Si Bayi belum bisa ngomong, tapi setidaknya bisa lihat wajahnya.
Foto: Hariyanto, dok. pribadi Surliyadin