Kemunculan PP Perbasi dengan keputusan membekukan Louvre Surabaya dari segala aktivitas basket pada Kamis (23/2), bisa dibilang cukup mengejutkan. Lebih mengejutkan lagi adalah keputusan yang disampaikan setelah PP Perbasi ini dikeluarkan setelah melakukan rapat dengan Louvre kurang lebih dua jam.
Dalam jumpa pers yang digelar dan sudah dijabarkan di artikel "PP Perbasi Bekukan Louvre atas Indikasi Pengaturan Skor", Perbasi pun tak secara gamblang menyampaikan apa sebenarnya masalah Louvre. Bahkan, sebelum ada pertanyaan dari awak media mengenai indikasi pengaturan skor (match fixing), Perbasi menyebut Louvre "melakukan pelanggaran-pelanggaran dalam operasional mereka". Sebuah keterangan yang interpretasinya sangat luas.
Sepanjang sekitar enam tahun terakhir, sudah ada dua kasus pengaturan skor yang dibongkar ke publik oleh Perbasi. Semuanya terjadi di liga profesional nasional Indonesia, IBL.
Pertama terjadi pada 2017 di mana melibatkan sembilan orang, delapan pemain dan satu ofisial dari Siliwangi Bandung. Awalnya, Perbasi senyap dalam melakukan investigasi mereka. Hukuman mereka atas sembilan sosok ini pun baru resmi diumumkan setelah salah satu pemain terhukum bermain di turnamen Jawa Pos-Honda Pro Tournament.
(Baca juga: Akhirnya Surat Itu Keluar (8 Pemain IBL yang Terlibat Pengaturan Skor) )
Yang kedua, terjadi pada 2021, tepatnya pengumuman dari IBL dan Perbasi dibuat sebelum musim 2022 dimulai. Kali ini Pacific Caesar Surabaya yang terlibat dalam situasi match fixing. Total ada lima pemain Pacific yang terlibat dan satu mantan pemain Pacific yang terlibat. Mantan pemain Pacific ini berstatus sebagai pemain Bali United Basketball. Match fixing sendiri terjadi saat IBL menggelar musim mereka di dalam "gelembung" (bubble) di Cisarua Bogor pada musim 2021. Serupa dengan pengumuman yang pertama, baik IBL ataupun Perbasi datang memberikan pengumuman setelah investigasi mereka rampung dan komplet. Bahkan, semua pelaku sudah mengakui keterlibatan mereka.
(Baca juga: Kronologi Terbongkarnya Kasus Pengaturan Skor di Pacific)
Di sini perbedaan terbesar terjadi pada Louvre. Perbasi melalui Sekretaris Jenderal mereka, Nirmala Dewi, mengumumkan bahwa mereka masih dalam tahap investigasi, namun Louvre sudah dibekukan dari segala aktivitasnya.
Hal ini semakin diperkuat oleh Louvre melalui pernyataan resmi mereka di media sosial. Bahwa Perbasi memanggil dan membekukan mereka tanpa ada kepastian apa sebenarnya yang sedang terjadi. Louvre bahkan merasa mereka sudah dinyatakan bersalah meski belum ada hasil akhir dari investigasi oleh Perbasi.
Ini jadi kali pertama Perbasi melakukan manuver yang seperti ini dan akhirnya menimbulkan spekulasi yang beragam. Perbasi dan Louvre memang sudah berjanji akan bertemu kembali pada Senin (27/2). Agendanya adalah Louvre akan melakukan klarifikasi atas beberapa pelanggaran yang dituduhkan ke mereka.
Dalam sejarah pembongkaran pengaturan skor sebelumnya, seperti yang terjadi di Pacific, kecurigaan sebenarnya sudah ada sejak musim berlangsung. Namun, Perbasi dan IBL baru angkat suara setelah semua investigasi mereka rampung dilakukan. Bahkan, isu pengaturan skor sudah mulai terdengar sejak Juni 2021 dan baru diumumkan pada Desember 2021.
Di kancah internasional pun, hukuman baru dilakukan setelah investigasi benar-benar rampung. Ambil contoh Juventus dan Manchester City terkait pelanggaran-pelanggaran mereka dalam operasional tim mereka. Ancaman hukuman sudah terpampang jelas, tapi hukuman belum diberikan sampai investigasi dinyatakan selesai.
Ini akan jadi sebuah pertaruhan besar oleh Perbasi. Jika investigasi tak berujung Louvre benar-benar bermasalah, maka reputasi Perbasi yang ada di ujung tanduk. Sebaliknya, jika Louvre memang bersalah, harapannya Perbasi juga bisa membuat standar dalan menjatuhkan hukuman-hukuman atau keputusan mereka ke depannya. (DRMK)
Foto: Louvre Surabaya