Piala Dunia FIFA 2022 Qatar telah usai. Argentina menjadi juara lagi setelah 36 tahun melalui kemenangan 3-2 di babak adu penalti. Di babak normal 90 menit, kedua tim imbang 2-2. Lanjut ke tambahan waktu (extra time), masing-masing menambah satu gol. Gim ini diyakini sebagai gim final terbaik sepanjang sejarah Piala Dunia FIFA.
Saya tak ingin mengulas tentang partai final, sudah banyak di luar sana. Saya sendiri ingin mengulas mengenai betapa hebatnya performa beberapa pemain muda yang sungguh luar biasa di Piala Dunia ini. Hal ini tentunya berkaitan dengan edisi terbaru Mainbasket Podcast #106 yang berjudul "Tantangan Menciptakan Atlet Remaja Istimewa Indonesia".
Usia muda di sini diberikan batas di mana pemain yang layak masuk nominasi maksimal berusia 21 tahun. Enzo Fernandez, gelandang Argentina asal Benfica memenangkan gelar ini di akhir turnamen tepat di usianya yang 22 tahun.
Keberhasilan Argentina meraih juara jelas menjadi pengaruh besar mengapa Enzo berhasil meraih gelar ini. Di lain sisi, ia memang memiliki performa yang luar biasa dan cenderung mengejutkan sepanjang Piala Dunia 2022 Qatar ini.
Mengapa saya menyebutnya mengejutkan? Karena Enzo memang bukan pilihan utama Lionel Scaloni di awal turnamen. Di dua gim pertama, Enzo masuk sebagai pemain pengganti. Enzo masuk di menit ke-59 pada gim perdana di mana Argentina kalah 2-1 atas Arab Saudi.
Di gim kedua melawan Meksiko, Enzo masuk pada menit 57. Pada dasarnya, Scaloni memang tidak memiliki pilihan tetap di posisi gelandang selain Rodrigo De Paul yang bermain di semua gim.
Pun demikian, Enzo saya yakini bahkan bukan di pilihan kempat di posisi gelandang. Ada nama Angel Di Maria, Guido Rodriguez, Leandro Paredes, dan Alejandro "Papu" Gomez. Nama-nama di atas memiliki jumlah penampilan yang lebih banyak dari Enzo.
Gim lawan Arab Saudi adalah gim ketiga Enzo di level internasional senior. Oleh sebab itu, melihat Enzo pulang dengan gelar pemain muda terbaik adalah sebuah kejutan tapi bisa dibilang kejutan yang sangat layak.
Pilihan saya pribadi untuk gelar ini adalah Josko Gvardiol. Meski namanya tidak masuk dalam nominasi resmi yang diluncurkan oleh Olympics.com, di mata saya Josko menunjukkan kapasitas luar biasa dalam menjadi bek tengah. Untuk pemain kelahiran 2002, Josko tampil cukup tenang sepanjang turnamen.
Di tiga gim babak grup, Kroasia hanya kebobolan sekali. Jepang dan Brasil pun hanya mampu membobol gawang Kroasia masing-masing sekali. Tercatat hanya Messi dan Argentina yang mampu memporakporandakan Kroasia dengan tiga gol.
Ada tujuh pemain lain di luar Enzo yang masuk nominasi penghargaan pemain muda terbaik ini. Nama-nama tersebut adalah Goncalo Ramos (Portugal), Bukayo Saka (Inggris), Aurelien Tchouameni (Prancis), Jamal Musiala (Jerman), Vinicius Jr. (Brasil), Jude Bellingham (Inggris), dan Gavi (Spanyol). Sekali lagi, seluruh pemain ini maksimal lahir di tahun 2000.
Ini yang menjadi pertanyaan di kepala saya. Bagaimana pemuda-pemuda belia ini, bahkan masih ada yang masuk usia remaja (teen), bisa berada di level setinggi ini di usia sedini ini? Bagaimana mereka bisa tampil di panggung terbesar olahraga yang mereka geluti hampir sempurna? Untuk saya, bahkan Josko sudah sangat sempurna sepanjang turnamen ini. Menghadapi Messi ia kecolongan dan saya rasa ini adalah hal yang sangat lumrah.
Berkaca ke NBA, ada segelintir pemain yang memiliki cerita serupa. LeBron James dan mendiang Kobe Bryant tentu dua contoh utama. Keduanya tak pernah mengenyam bangku kuliah, langsung dari SMA ke NBA. Bagaimana mereka bisa menyentuh level NBA itu di usia yang masih sangat belia, 17,18 tahun? Apakah mereka melakukan percepatan pengetahuan dan pengemabangan ketangkasan (skill)? Seberapa banyak tingkatan yang mereka percepat?
Banyak sekali pertanyaan yang muncul di kepala saya dalam situasi ini. Young excellence, apakah ada formula pasti untuk membuat sosok ini? Atau ini ada peran besar "bakat" yang tidak selalu dimiliki banyak orang?
Saya sempat berpikir bahwa ini adalah perkara negara maju, negara yang sudah makmur. Namun, melihat sosok seperti Neymar yang hadir di panggung sepak bola dunia di usia yang sangat muda dan asal Brasil yang bukan negara maju, maka variabel ini tidak pasti.
Di basket pun demikian, Luka Doncic yang berasal dari Slovenia, negara perang pun bisa mengembangkan dirinya dengan baik. Jika Anda bilang Luka menjadi seperti sekarang karena faktor tumbuh di Spanyol, Anda harus tahu juga Luka mulai merantau sejak usia 14. Artinya, Luka memang sudah cukup hebat di usia semuda itu.
Pertanyaan ini mungkin sulit ditemukan jawaban kongkretnya. Akan tetapi, kita mungkin bisa melihat siapa sosok-sosok di belakang nama-nama hebat di atas untuk menggali formula membuat sosok-sosok di atas. Mengapa kita perlu melakukannya? Karena sampai sekarang kita tidak tahu caranya. Tidak ada pemain hebat yang kita hasilkan di usia yang sangat dini. "Tapi ada pemain A yang main di IBL sejak usia belasan tahun?" Ya ceiling kita terlalu rendah. Sekali lagi, nama-nama di atas berkarier dan beraksi di panggung tertinggi sepak bola serta basket, jadi jelas berbeda. (DRMK)
Foto: FIFA/NBA