Pada 12 Februari 2022 menjadi hari yang bersejarah bagi Liz Mills. Ia resmi diperkenalkan sebagai pelatih kepala AS Sale, sebuah klub divisi teratas liga bola basket profesional Maroko. Menjadi pelatih AS Sale itu memperpanjang catatan Mills sebagai “Yang Pertama” dari berbagai hal.
Perempuan asal Australia itu menjadi perempuan pertama yang menjadi kepala pelatih timnas putra di turnamen besar FIBA, Basketball Africa League (BAL), dan negara-negara Arab lainnya.
Mills menjadi pelatih kepala timnas putra Kenya menjelang Kualifikasi AfroBasket 2021. Ia membawa Kenya untuk pertama kalinya lolos ke putaran final AfroBasket sejak 1993. Kenya nyaris lolos ke perempat final AfroBasket 2021. Saat itu Kenya hanya kalah dua poin dari Sudah Selatan. Ini menjadi prestasi kedua terbaik Kenya dalam turnamen tersebut.
Penampilan Mills identik dengan sepatu bot hak tinggi bahkan ketika memimpin pertandingan timnya. Dilansir melalui laman CNN Sport, Mills mengatakan bahwa ia sempat dipandang remeh karena penampilannya.
“Ketika saya datang ke Mozambik, mereka berkata bahwa saya tidak bisa memakai sepatu bot. Mereka juga bilang bahwa saya harus melepasnya karena membuat saya terlihat terlalu feminim,” kata perempuan asal Sydney itu.
Namun, Mills menolak hanya dipandang dari segi penampilan fisik. “Saya sangat bangga menjadi seorang perempuan. Jangan lupakan itu. Tapi saya di sini untuk melatih. Itulah yang ingin saya bicarakan. Soal kemampuan untuk melatih,” tegasnya.
Sebagai perempuan yang tumbuh di Australia, Mills memang akrab dengan WNBL, liga profesional putri Australia. Tetapi yang memberi inspirasi Mills bukanlah pemain. Melainkan para pelatih di pinggir lapangan.
Itulah yang membuatnya merantau ke Afrika pada 2011 lalu. Mills menjadi sukarelawan ke Zambia untuk melihat klub basket lokal. Ia menawarkan diri memimpin satu sesi latihan di salah satu klub. Hingga akhirnya menjadi pelatih Heroes Play United.
Satu dekade berikutnya Mills melatih beberapa klub di Zambia dan Rwanda. Lalu menjadi asisten pelatih timnas putra Zambia dan Kamerun pada 2017-2018. Hingga ia mengantar timnas Kenya meraih prestasi terbaiknya setelah 28 tahun.
“Sebuah ide muncul di kepala saya. Saya memang tidak akan menjadi pemain yang hebat. Tetapi saya bisa menjadi pelatih yang hebat. Saya melihat perempuan kuat, sukses, dan cerdas ini memenangkan liga. Jika mereka bisa melakukannya, saya juga bisa melakukannya,” ujarnya.
Mills terinspirasi dari Carrie Graf, yang dua kali menjadi pelatih terbaik WNBL. Selain itu juga Jan Stirling yang membawa timnas putri Australia dua kali menjadi finalis Olimpiade dan sekali menjadi juara dunia.
Perjalanan karier Mills memang tidak mudah. Dalam dunia olahraga yang didominasi para laki-laki itu, kadang Mills mendapat cemoohan yang berbau seksis. “Mereka seperti bilang apa yang dilakukan gadis pembawa air itu di pinggir lapangan. Mereka tidak memahami bahwa ada pelatih perempuan,” kata Mills.
Ia juga pernah ditanya hal-hal yang tidak sepatutnya. Seperti apa yang dilakukan para pemain di kamar mandi atau ruang ganti. “Rekan-rekan saya (para pelatih pria) sama sekali tidak akan mengkhawatirkan hal semacam itu. Mereka bisa melatih dengan tenang,” imbuhnya.
Mills tidak ingin capaian ini berhenti pada dirinya. Untuk itu ia dan saudarinya, Vic, mendirikan Global Women in Basketball Coaching Network pada Agustus lalu. Tidak hanya membangun jaringan bagi pelatih perempuan di seluruh dunia. Jaringan tersebut juga memberikan ruang aman bagi para pelatih untuk saling mendukung dalam industri yang seksis ini. (rag)
Foto: FIBA, Instagram Liz Mills