Satria Muda Pertamina Jakarta adalah juara Indonesian Basketball League (IBL) 2022. Lebih hebat lagi, mereka berhasil menyapu bersih seluruh laga playoff yang digelar di GOR C-Tra Arena ini. Enam kali bermain, enam kali menang. 

Tepat saat kita semua mengetahui final akan mempertemukan Satria Muda dan Pelita Jaya Bakrie Jakarta, banyak komentar muncul di akun Instagram @mainbasket dan menyatakan keresahan mereka. Secara garis besar, mereka menyuarakan kebosanan mereka melihat dua tim ini terus digdaya di IBL. 

Omongan itu pun sampai ke telinga kedua tim. Di jumpa wartawan sebelum final, pelatih Pelita Jaya, Fictor Roring dan kapten Satria Muda, Arki Dikania Wisnu mengatakan hal yang serupa. Kedua tim ini adalah tim terbaik di Indonesia dari segala aspek, jadi pun layak mereka ada di final. 

Saya pun sejujurnya sama dengan kebanyakan masyarakat pecinta basket di luar sana, atau mungkin masyarakat secara garis besar. "We all love underdog's story." Seperti yang pernah saya tulis di artikel "Kita Sebenarnya Tidak Benci Harden, Kita Mungkin Benci Dominasinya".  

Ya, dominasi adalah hal yang menjemukan, membosankan, untuk kita yang tidak berjuang di dalamnya. Untuk yang berada di bagian dominan, kemenangan tak ubahnya sebuah candu yang terus menyenangkan jika terulang kembali. 

Di balik itu pula, untuk mencapai sebuah dominasi, ada hal-hal yang harus dilakukan atau bahkan beberapa orang melihat ini sebagai pengorbanan. Hal-hal ini pun tidak boleh dilakukan hanya sekali dua kali, lebih dari itu, harus dilakukan berkala serta konsisten. 

Usai gim, Coach Ito (sapaan Fictor Roring) menjawab sebuah pertanyaan dari rekan media dengan mantap. Pertanyaannya adalah "Apa yang membuat Satria Muda bisa konsisten berprestasi sejak zaman ia menangani Satria Muda itu sendiri?" 

 

"Mereka punya Erick Thohir," jawabnya dengan mudah. 

 

Ya, Coach Ito dan Coach Youbel adalah saksi nyata di mana Satria Muda membangun dominasi mereka di milenium baru. Di waktu yang bersamaan pula, Erick Thohir— Pak Menteri BUMN sekarang— ikut jadi bagian pemilik Satria Muda. 

Dari sana, ia konsisten memberikan dukungan kepada Satria Muda baik secara materi ataupun dukungan moral. Perkara finansial memang adalah salah satu kunci utama bagaimana Satria Muda bisa konsisten. Hal ini kurang lebihnya sudah kami bahas di #BisnisBasket di Instagram @mainbasket. 

Ini pula rasanya yang jadi jawaban utama mengapa ada enam pemain di skuad Satria Muda sekarang yang belum pernah pindah tim sejak mereka masuk ke IBL. Mereka adalah Arki, Avan Seputra, Kevin Yonas, Sandy Ibrahim, Laurentius Steven Oei, dan Juan Laurent Kokodiputra.  

Lalu ada juga nama Hardianus Lakudu dan Rizal Falconi yang sudah lebih dari lima musim bersama Satria Muda. Keduanya memang tidak bersama Satria Muda sejak awal karier, namun jika melihat keduanya kini, rasanya kita semua sepakat bahwa mereka sudah "SM Banget!". 

Jika kita melihat liga secara luas, maka hanya ada segelintir pemain saja yang belum pernah pindah tim sejak awal menginjakkan kaki di IBL (minimal lima tahun di IBL). Di daftar kami, hanya ada Diftha Pratama, Yanuar Dwi Priasmoro, Restu Dwi Purnomo, Ali Mustofa, Amaluddin Ragol, Stevan Neno, dan Andre Rorimpandey. 

Pun demikian, janganlah seolah berpikir bahwa begitu finansial terselesaikan, semuanya otomatis jadi juara. Acap kali, orang terlena dengan kenikmatan materi, finansial, dan akhirnya lupa atas tujuan utama. 

Di sinilah kredit selayaknya kita sematkan kepada kultur basket yang dibangun oleh Satria Muda. Sejak ia masuk sebagai pemain yang pindah dari Indonesia Muda (IM), Youbel kepada kami mendaku bahwa kultur untuk menjadi juara adalah hal yang utama di sana. 

Setiap musimnya, target mereka adalah juara. Dari sini saja, mungkin 80 persen tim IBL tak pernah memimpikan ini. Setelahnya, setiap pemain dituntut untuk menjalani "seleksi alam".

Beradu untuk menjadi lebih kuat, lebih tangkas, setiap harinya. Jika tak mencapai standar tersebut, jangan harap dapat menit bermain. Ujungnya, mereka yang gagal bersaing bisa didepak keluar dari tim dalam beberapa musim selanjutnya. 

Antoni Erga mungkin adalah bukti terbaru betapa mengerikannya kultur basket Satria Muda. Menjalani musim debutnya, Erga mengalami peningkatan yang luar biasa. Mungkin, secara angka, ia jelas tidak sedominan saat masih di Satya Wacana karena ia belum jadi pilihan utama. Namun, dari caranya bermain, gestur Erga sekarang, jauh sekali berbeda dengan ia tahun lalu. 

"Makasih Mas, tapi saya tadi main jelek banget setelah halftime. Kesel banget saya, harusnya bisa lebih baik dari first half."

Itu adalah kalimat pertama yang muncul dari Erga saat saya menghampirinya di perayaan juara. Ya, Erga, juara pertama kali, bukan semata senang, ia masih memikirkan bahwa seharusnya ia masih bisa lebih baik lagi di Gim 2, gim yang ia dan timnya menangkan. 

Hal yang sama berlaku di Kelvin Sanjaya. Tidak bermain sama sekali, hal yang pertama ia ucapkan adalah," Juara sih, tapi saya belom main Mas. Musim depan (juara) lagi, saya main".

Mungkin banyak dari Anda yang berpikir ini adalah hal sepele. Ucapan ini pun sangat mungkin hanya terucap di mulut saja. Namun, untuk saya, ini adalah modal awal yang baik untuk seorang pemain, utamanya yang masih di awal kariernya, untuk terus menjadi lebih baik. 

Dari sisi permainan, Satria Muda pun jelas sangat siap menghadapi playoff kali ini. Selalu jadi tim dengan frekuensi dan akurasi tripoin yang tidak tinggi, mereka mengubah narasi tersebut dalam enam gim playoff ini. 

Tercatat hanya sekali Satria Muda membukukan akurasi tripoin di bawah 40 persen. Bahkan, dalam final Gim 1, akurasi mereka mencapai 55 persen. Kepala pelatih Prawira, David Singleton dan Coach Ito pun sepakat bahwa tripoin gila Satria Muda ini adalah penyebab kekalahan mereka. 

Juan mengaku kepada kami bahwa para pemain Satria Muda memang berlatih serius meningkatkan akurasi tripoin mereka sepanjang jeda empat bulan dari musim reguler ke playoff.  

Satria Muda juga sangat adaptif. Di Gim 2, Pelita Jaya melakukan adjustment luar biasa di awal gim. Alih-alih coba mengalirkan bola ke Dior Lowhorn di bawah ring, mereka menarik Dior lebih keluar dan coba mencari celah di paint area Satria Muda melalui terobosan-terobosan para pemain sayap. 

Dengan Dior bergerak di luar, Elijah Foster pun harus keluar untuk mengantisipasi tripoin Dior yang tak bisa dibilang buruk-buruk amat. Dari sana, ada ruang besar di paint area Satria Muda yang bisa dieksploitasi. 

Setelah unggul 11 poin melalui pola ini, Satria Muda beradaptasi dengan turun menggunakan Brachon Griffin dan Erga. Brachon lebih aktif dalam memberikan bantuan saat ada pemain Pelita Jaya mendapatkan bola hasil dari cutting yang mereka lakukan. 

Kombinasi hal-hal di atas adalah jawaban dari dominasi yang dimiliki Satria Muda sejauh ini. Saya maklumi jika Anda tidak senang, bosan, atau semacamnya dalam memandang Satria Muda atau bahkan mungkin Pelita Jaya. Namun, coba lihat dari sisi lain. 

Dominasi bukan hal yang mudah untuk dilakukan dan selayaknya kita semua memberi apresiasi atas hal ini. Jika tidak ada tim yang siap melakukan hal-hal di atas, maka dominasi ini belum akan terhenti. Selamat untuk gelar juara ke-12 Satria Muda Pertamina Jakarta!

Foto: Kelvin, Hariyanto

Komentar