FIBA Asia Cup sudah digelar sejak 12 Juli 2022 lalu. Bertempat di Istora GBK, Senayan, Jakarta, sebanyak 16 tim yang dibagi dalam empat grup bertarung untuk menjadi yang terbaik di Asia. Gelaran tahun ini adalah gelaran ke-30 FIBA Asia Cup sejak pertama kali digelar pada 1962.
Dari 30 gelaran tersebut, Cina jadi pengumpul trofi juara terbanyak dengan 16 kali. Filipina menyusul dengan 5 kali juara, Iran 3 kali, Korea dan Jepag masing-masing 2 kali, dan Australia langsung juara di keikutsertaan pertama mereka pada 2017 lalu.
Untuk saya pribadi, ini adalah gelaran FIBA Asia Cup pertama saya. Lebih lagi, ini adalah turnamen internasional pertama yang kembali saya hadiri setelah pandemi menyerang.
Ini adalah kali pertama lagi dalam dua tahun ke belakang saya dan senangnya seluruh warga Indonesia, utamanya Jakarta bisa melihat basket dengan level yang cukup tinggi.
Ya, basket level tinggi memang sulit diterjemahkan, lebih bisa dirasakan. Akurasi memang bisa dijadikan salah satu indikator untuk menentukan level permainan, namun lebih dari itu, menyaksikan bagaimana tim-tim ini memainkan basket sudah sangat jauh berbeda dari apa yang kita lihat secara domestik. Mereka bermain jauh lebih cepat, fisikal, dan efisien.
Oh iya, tentu saja Indonesia tampil di level yang jauh lebih tinggi dari apa yang kita lihat dalam lima tahun terakhir. Bahkan, menurut saya Indonesia sudah berbeda level dari yang kita lihat di SEA Games serta uji coba Australia lalu. Akan tetapi, yang membuat saya sangat takjub adalah permainan tim seperti Australia, Jepang, Yordania, Korea, Iran, Selandia Baru, dan Lebanon.
Bukan perkara karena mereka menang di gim-gim yang mereka lalui. Cara mereka memainkan basket membuat saya cukup kagum. Australia sebagai peringkat tiga dunia menunjukkan bahwa mereka ada di level yang berbeda dari semua peserta. Bahkan, meski yang turun di sini adalah tim lapis ketiga atau bahkan keempat, logika bermain yang mereka tunjukkan sudah sangat berbeda.
Jepang di bawah asuhan Tom Hovasse pun sangat berbeda ketimbang di Olimpiade 2020 Tokyo lalu. Mereka bermain jauh lebih cepat, jauh lebih fisikal.
Tom pun melengkapi skuad Jepang dengan lebih banyak penembak jarak jauh yang membuat Jepang terkadang bermain dengan pola five out atau semua pemain ada di luar garis tripoin.
Dua tim di atas memiliki pemain yang masih bersinggungan dengan NBA, Thon Maker dan Yuta Watanabe. Keduanya pun bisa dibilang belum menunjukkan penampilan 100 persen. Untuk saya pribadi, mungkin keduanya hanya bersenang-senang sepanjang babak grup ini.
Namun, melihat cara mereka melantun bola (dribble), menembak, bahkan melakukan cutting saat sedag menyerang sudah sangat jauh berbeda dengan pemain-pemain lain. Ya kurang lebih serupa dengan Marques Bolden namun lebih versatile Thon dan Yuta.
Yordania dan Iran adalah dua tim yang sangat fisikal. Mereka tak pernah ragu untuk bertarung tubuh, bertabrakan, tapi tetap dalam kontrol yang baik. Satu lagi, keduanya adalah tim yang sangat cerdik dalam bermain. Yordania menunjukkan itu saat mematikan Bolden dalam laga lawan Indonesia. Jangankan menembak, dapat bola saja adalah hal yang sangat sulit untuk Bolden. Hal yang menunjukkan preparasi yang matang dari Yordania.
Selandia Baru dan Korea adalah dua tim yang fokus pada kecepatan serangan. Hampir serupa dengan Jepang namun di mata saya, Jepang jauh lebih efektif serta cerdik dalam mencari peluang.
Selandia Baru dan Korea sedikit banyak menunjukkan bagaimana kekuatan fisik yang seharusnya dimiliki oleh sebuah tim untuk bersaing di level ini. Berlari 40 menit tampaknya bukanlah hal yang berat untuk mereka.
Terakhir ada Lebanon yang muncul sebagai salah satu kejutan. Lebanon memang tercatat tiga kali meraih medali perak FIBA Asia Cup, namun semuanya terjadi sebelum 2010.
Lebanon yang sekarang adalah Lebanon yang berbeda. Jad El Hajj yang didapuk sebagai kepala pelatih pada Februari lalu membawa nuansa baru pada Lebanon. Saya bisa bilang, Lebanon yang mengalahkan Indonesia pada November lalu adalah Lebanon yang berbeda dengan FIBA Asia Cup ini.
Kala itu, saya mendeskripsikan Lebanon sebagai tim yang sporadis, kini mereka adalah tim yang sistematis dan efektif. Wael Arakji adalah fokus utama serangan Lebanon, ia adalah konduktor, metronom. Arakji adalah nyawa dari Lebanon dan jika ada penghargaan untuk pemain terbaik di babak grup, Arakji mungkin adalah yang paling terdepan. Ia mendominasi Lebanon pun juga lawan-lawannya.
Melihat tim-tim ini bermain adalah privilese besar untuk seluruh insan basket Indonesia sekarang. Oh tentu saja saya berharap harga tiketnya bisa lebih murah lagi, agar bisa menjangkau lebih banyak lagi orang. Pun demikian, jika Anda masih punya waktu untuk menonton secara daring, tonton semua gim yang ada, utamanya tim-tim yang saya sebut di atas.
Ini belum tentu 20 tahun sekali terjadi di Indonesia. Manfaatkan ini untuk menggali ilmu sebanyak-banyaknya agar basket kita juga semakin membaik. Perhatikan detail-detail permainan baik secara tim ataupun personal pemain itu. Lihat cara mereka membawa bola, menembak, dan segalanya. Bahkan jika Anda bisa datang langsung, lihat sebelum gim dimulai. Perhatikan persiapan mereka dan saya yakin Anda tidak akan rugi. Selamat menyaksikan sisa gim FIBA Asia Cup dan mari belajar bersama!
Foto: FIBA