Skill atau size?” Pertanyaan terakhir gw kepada Maddie Garrick saat berbicara dengannya di Kuta, Bali bulan April lalu.

Waktu itu, Maddie mengikuti ABL 3x3 International Champions Cup 2022. Ia tergabung di tim Louvre Indonesia bersama dua pemain Indonesia dan satu pemain Australia lain. Walau lolos ke final, tim Louvre kalah melawan Vietnam Red and Gold.

Sebagai pemain basket profesional, Maddie dua kali meraih gelar juara WNBL Australia. Mewakili Australia di ajang internasional, ia pernah meraih perak di FIBA Asia Cup 2017, serta medali emas di FIBA 3x3 Asia Cup 2019 dan medali emas FIBA 3x3 Women’s Series 2019.

Skill.” Jawabnya singkat.

Jawaban tersebut mengafirmasi pandangan gw yang akhirnya mengkristal beberapa waktu terakhir. Gw percaya bahwa “skill” alias ketangkasan jauh lebih penting daripada “size” alias ukuran postur tubuh. Baik tinggi maupun besarnya.

Pandangan ini, seperti yang sudah kita ketahui bersama, menuai kontroversi. Pastinya di kolom komentar instagram @mainbasket dan mungkin mulai menyebar ke akun-akun lain. Gw ngotot mempertahankannya. Komentator (beberapa followers) ngotot membantahnya. Sepertinya akan terus jadi minyak ketemu air. Walau tidak semuanya. Tidak sedikit pula yang mulai memahami pandangan gw. Mereka, beberapa dari mereka, tidak sedikit yang sepakat.

Maddie punya tinggi badan 180 cm. Lumayan jangkung. Posisinya sebagai garda. Kemampuannya atau ketangkasannya di atas rata-rata. Jadi, untuk kasus Maddie, ia memiliki baik size maupun skill.

Maddie lebih tinggi daripada Prastawa. Andakara Prastawa, garda tim nasional kita yang kini juga bermain di Pelita Jaya Bakrie Jakarta di IBL. Dengan tinggi 173 cm, rasanya aman untuk mengatakan bahwa Prastawa terbilang pendek di antara para pemain basket profesional lainnya atau umumnya. Yup, pada beberapa level kompetisi tinggi, rata-rata tinggi pemain basket bisa berkisar di angka 190 cm ke atas atau mendekati itu.

Sejak kemunculannya di dunia basket Indonesia (NBL Indonesia) pada tahun 2013, Prastawa sudah menarik perhatian gw dan para penggemar basket Indonesia. Pemberani. Ada nekatnya. Tetapi jitu. Prastawa langsung menegaskan diri bahwa ia adalah salah satu penembak jitu jarak jauh terbaik di Indonesia. Gelar pemain debutan terbaik (Rookie of the Year) direbutnya. Musim itu pula dan satu musim berikutnya, bersama Aspac Jakarta, ia menjadi juara NBL Indonesia.

Tahun yang sama pula, Prastawa memulai sepak terjangnya di tim nasional Indonesia. Singkat cerita, namanya langganan skuad timnas. Dua prestasi tertingginya (sebelum emas SEA Games 2022) adalah perak SEA Games 2015 dan 2017. Lalu kemudian, yaa, emas SEA Games beberapa hari lalu. Sejarah.

Sebelum sampai ke emas SEA Games 2022, bahkan beberapa hari sebelumnya, banyak yang meragukan kemampuan Prastawa. Sejujurnya, gw pun merasa Prastawa seolah sudah habis. Tembakan-tembakannya tidak sejitu sebelum-sebelumnya. Para pemain lawan juga terlihat mudah melewatinya. “Prastawa gak jago lagi,” begitu pikir gw.

Rupanya gw tidak sendiri. Netizen pun tidak sedikit yang berpikiran serupa. Pikiran-pikiran tersebut tertuang dalam komentar-komentar di instagram @mainbasket. Bentuk ekspresinya macam-macam. Ada kritikan biasa, sampai ke yang cenderung mengejek. Berat memang menjadi pemain nasional di masa kini. Di era media sosial di mana setiap orang seolah punya hak untuk langsung “mengatai” para pemain nasional. Terserah apakah komentarnya bermutu atau tidak, lalu kemudian terserah apakah komentar tersebut memiliki potensi memberi dampak serius bagi yang dikomentari. Baik positif maupun negatif.

Gw sendiri mencoba obyektif. Entahlah, ini bisa disebut obyektif atau tidak. Gw membuka lagi catatan-catatan pertandingan internasional Prastawa beberapa waktu sebelum SEA Games Vietnam ini. Gw membuka catatan pertandingan Kualifikasi FiBA Asia Cup 2021 dan Putaran Pertama Kualifikasi FIBA World Cup Zona Asia 2022.

Pada Kualifikasi FiBA Asia Cup 2021, Prastawa bermain sebanyak enam kali. Selama bermain, ia paling tidak ada di lapangan selama 21 menit (melawan Korea). Itu yang paling sedikit. Paling lama adalah 34 menit melawan Filipina. Performa Prastawa di Kualifikasi FiBA Asia Cup 2021 terbilang mantap. Melawan Filipina, ia mencetak 28 poin dan 6 rebound. Hanya satu kali saat melawan Korea ia tidak mencetak poin sama sekali. Nol. Pada laga lain juga melawan Korea, Prastawa mencetak 14 angka. Prastawa rata-rata mencetak 14 poin, 3,5 rebound, dan 2,8 asis di 6 gim Kualifikasi FiBA Asia Cup 2021. Effektivitasnya cukup tinggi. Kecuali saat melawan Korea di mana ia tidak mencetak angka. Efektivitas Prastawa minus lima.

Performa Prastawa menurun di Putaran Pertama Kualifikasi FIBA World Cup 2023 Zona Asia. Asumsi gw sederhana. Berdasarkan pengamatan, nonton langsung, lawan-lawan kita di sana berat-berat. Kita kalah semua. Lawan Yordania dua kali, Arab Saudi, dan Lebanon. Poin terbanyak yang dibuat Prastawa adalah 11 poin saat melawan Lebanon. Dalam empat gim, Prastawa rata-rata mencetak 6,5 poin, 1,8 rebound, dan 2,3 asis per gim. Semua angkanya menurun dibanding turnamen atau laga-laga sebelumnya. Kritikan pun mulai mengalir ke arahnya. Via kolom komentar instagram @mainbasket. Setidaknya dari sana tempat gw memantau.

Benarkah performa Prastawa menurun saat itu? Bisa jadi. Kelihatannya begitu. Hal yang menarik adalah pada saat Abraham Damar Grahita, rekannya di timnas pun mengatakan hal tersebut di Mainbasket Podcast beberapa waktu lalu. Namun setelah itu, Prastawa bangkit. SEA Games di Vietnam lalu adalah ajangnya kembali.

Prastawa mencetak 10 poin dan 7 asis saat melawan Malaysia. Poin terbanyaknya adalah saat kita mengalahkan Singapura. Di sana Prastawa mencetak 20 poin, 3 asis, 2 steal. Terakhir, di laga melawan Filipina, Prastawa mencetak 8 poin, 4 rebound, dan 7 asis. Aksinya di lapangan selaras dengan kebutuhan akan momentum-momentum penting. Prastawa adalah salah satu dari 12 pemain Indonesia yang mencetak sejarah. Memberikan emas pertama bagi Indonesia di cabang bola basket sejak olahraga ini bergabung di SEA Games pada tahun 1977. Hal yang lebih membanggakan dan menggembirakan lagi, Indonesia merebut mahkota Asia Tenggara dari Filipina yang sudah sangat dominan selama 30 tahun lebih.

Terlepas dari performanya yang bisa naik-turun, bagi gw, Prastawa adalah sampel penting atas tesis gw dan Mainbasket bahwa basket adalah masalah ketangkasan dan kemampuan (skill). Performa Prastawa di lapangan bisa naik-turun, namun hal tersebut bagi gw, tak pernah terkait dengan tinggi badannya yang berkisar 173 cm itu. Bagi gw, bila ia bermain jelek, maka itu karena ia tidak melakukan hal-hal yang seharusnya ia lakukan. Atau, pemain lawan memang lebih jago daripada dia. Jika bermain bagus, kita sudah tahu, bahwa begitulah seharusnya Prastawa. Naluri menembak yang tinggi, khususnya dari jarak jauh, dan punya cukup kemampuan untuk melakukan penetrasi sebelum memberi umpan kepada kawan-kawannya. Hanya dengan tinggi badan yang segitu, Prastawa seolah tak tergeser di timnas.

Tak adakah pemain lain di Indonesia yang seposisi dengannya tetapi lebih tinggi posturnya? Jelas ada. Banyak. Adakah yang lebih tinggi dan lebih jago daripada Prastawa di Indonesia? Bisa jadi ada. Bisa diperdebatkan. Kenyataannya, dengan segala “keterbatasannya”, Prastawa selalu menjadi pilihan pelatih. Alternatif-alternatif yang tersedia di Indonesia tidak mampu mengalahkan Prastawa. Setidaknya begitulah yang gw tangkap karena itulah pula pilihan para pelatih timnas kita. Prastawa masih yang terbaik di antara yang lainnya.

Tulisan ini adalah apresiasi gw untuk Andakara Prastawa. Ketika permainannya menurun kita mengkritisinya. Sekarang, dengan apa yang sudah ia buktikan dan persembahkan, maka ia pun pantas menuai segala pujian dan apresiasi. Terima kasih banyak Andakara Prastawa. (dan)

Foto: Ariya Kurniawan

Komentar