"In Indonesia I have yet to see a practice that details the boxout or the correct way to set and use/read a screen! People screen air here and guards don't wait for screens or read them. Same for the bigs. Everything taught here is superficial but the instruction and attention to detail/fundamentals is lacking. Euro steps (and) step backs are taught, but not straight line drives to the rim and midrange pull-ups aren't. Those (euro and stepback) should be emergency moves not primary ones. Since no one is held accountable and reprimanded (disciplined) for doing these bad habits in practice it carryovers in games. When you are already smaller, less skilled/athletic than other teams, that's when the fundamentals come in into play. In the (United) States you see un-athletic/unskilled teams beat bigger better teams because they are well coached. Do the fundamentals! Execute and they do not beat themselves! Indonesia needs to do these things in the meantime to compete in international play. Until their skill/size/coaching catch up with the rest of the world!" Itu adalah komentar Dior Lowhorn di salah satu unggahan di @yoibreebasket (@dlow33 sudah izinkan kami). Sering kami berpikir di Mainbasket, bahwa basket profesional kita mungkin butuh sebuah panitia kecil yang tugasnya melihat setiap detail setiap gim di IBL. Mereka menandai kesalahan-kesalahan fundamental yang kerap terjadi. Temukan solusinya. Harus ada yang mulai mengingatkan bahwa -seperti kata Dior- hampir semua screen di kita adalah screen angin. Gak ada gunanya. Garda juga terlihat gak paham kapan ia harus bergerak saat proses screen. Hal lain lagi misalnya, seperti kata Dior di atas, bagaimana saat penetrasi, seorang pemain harusnya lurus ke arah ring, bukan melewati jalur melengkung apalagi sudah dari awal berpikir untuk melakukan eurostep. Dan lain sebagainya. Menurut kami, hal ini perlu dipikirkan bersama. Agar ujungnya, di setiap kekalahan timnas, kita gak lagi mengatakan "kalah postur" atau "kalah tinggi badan". Kita itu kalah kemampuan main basket. Kalau kata Anthony Garbelotto, Kepala Pelatih NSH Mountain Gold Timika, kalau hanya pemain tinggi, di Indonesia buanyak.
…
Paragraf panjang di atas berasal dari takarir (caption) instagram @mainbasket tanggal 13 Maret. Gw unggah pagi-pagi. Sebelumnya, pada malam harinya, 12 Maret, gw iseng buka Direct Message (DM) instagram @mainbasket. Yup, gw jarang buka DM di sana. Ada satu pesan yang mengarahkan gw untuk lihat komentar Dior Lowhorn seperti takarir di atas. Setelah baca komentar Dior, gw makin yakin bahwa Mainbasket tidak sendiri dalam keyakinannya tentang penyebab belum majunya basket Indonesia. Ini masalah kemampuan bermain basket yang tidak jua meningkat setelah sekian puluh tahun. Bukan masalah tinggi badan seperti yang kerap muncul sebagai alasan ketika tim nasional kena hajar lawan-lawannya di ajang internasional. Dior Lowhorn tampak sepaham dengan kami. Ia menyoroti perhatian yang sangat kurang tentang detail-detail saat latihan. Karena seperti kata Anthony Garbelotto di salah satu konferensi pers setelah laga NSH melawan Indonesia Patriots, kalau hanya pemain tinggi, di Indonesia banyak. “Ini bangsa besar,” katanya. “Talenta tinggi banyak.”
Pada hari yang sama dengan unggahan instagram tentang komentar Dior Lowhorn, malamnya, pertandingan antara Prawira Bandung melawan Bali United berakhir dengan skor mencolok. Prawira menang telak 70-38. Angka 38 yang dicetak Bali tentu saja menarik perhatian. Rendah sekali. Tetapi Bali United tidak sendiri. Akun Mainbasket kemudian mengeluarkan unggahan dengan kalimat awal “Selamat datang di Klub IBL U-40!”
Hingga malam itu, sudah ada lima gim di IBL 2022 di mana sebuah tim mencetak poin di bawah 40 (Klub IBL U-40). Bahkan di bawah atau sama dengan 38. Mereka adalah RANS PIK Basketball (32-64, kalah lawan Satria Muda Pertamina Jakarta), DNA Bima Perkasa Yogyakarta (32-51, kalah lawan Evos Thunder Bogor), Evos Thunder Bogor (38-56, kalah lawan Bali United Basketball), Tangerang Hawks Basketball (37-78, kalah lawan NSH Mountain Gold Timika), dan Bali United Basketball (38-70, kalah lawan Prawira Bandung).
Muncul kemudian pertanyaan, berapa sih sebaiknya sebuah tim IBL mencetak poin dalam satu gim?
Gw gak tahu. Namun pertanyaan ini menggelitik. Jangan-jangan ini bisa dijadikan titik tolak untuk meningkatkan kualitas basket Indonesia. Setiap tim harus berlatih keras dan benar untuk mengejar standar poin terendah dalam sebuah gim di IBL. Balik lagi, yup, berapa sebaiknya skor terendah di IBL?
Barangkali memang harus ada panitia kecil yang dibentuk oleh Perbasi untuk menentukan atau menemukan jawaban atas pertanyaan tersebut. Berbagai faktor diperhitungkan. Untuk menemukan angka rata-rata poin yang sebaiknya dikejar oleh setiap tim di IBL.
Dalam salah satu laporan FIBA tahun 2021 gw menemukan rata-rata poin yang dicetak oleh satu tim di beberapa liga basket di beberapa negara. Bisa di lihat daftarnya pada gambar di bawah ini.
Rata-rata poin liga basket lokal di 16 negara yang tercantum di atas adalah 81,9 poin. Perhatikan detailnya dari negara-negara yang dirangkum, tak ada yang rata-ratanya menyentuh angka 90. Paling tinggi Liga Basket Tiongkok dengan rata-rata 86,7 poin per gim.
Nah, bagaimana kalau kita gunakan standar berdasarkan data FIBA ini saja? Sebut saja setiap tim IBL sebaiknya mengejar 80 poin per gimnya.
Selanjutnya, setiap tim harusnya akan memilah, menyusun strategi, bagaimana agar angka tersebut tercapai. Misalnya, dengan menentukan berapa sih jumlah rata-rata penguasaan bola (possession) mereka per pertandingan? Dari jumlah penguasaan bola, atau dari 100 penguasaan bola, berapa sebaiknya poin yang diraih? Yup, dalam bahasa statistiknya adalah menentukan offensive rating-nya.
Bila tim-tim IBL belum mampu mengejar itu, di sanalah tim pelatih dan manajemen mulai bekerja. Mencari apa penyebab mengapa angka tersebut sulit terkejar. Jumlah usaha tembakan (attempts) yang terlalu sedikitkah? Akurasi tembakan keseluruhan (eFG) yang rendahkah? Jumlah turnover tinggi sehingga mengurangi peluang mencetak angka per-penguasaan bolakah? Rebound-kah? Atau yang lainnya?
Setelah jawabannya ketemu, barulah kemudian dicanangkan bentuk latihan seperti apa yang mampu memompa kemampuan para pemain dan tim untuk mencapai target poin minimum per gim di atas. Menurut gw, ujung-ujungnya sih akan ketemu salah satu sumber masalahnya (mungkin yang paling utama) yang adalah di kemampuan teknik bermain yang masih sangat kurang baik. Yup, akhirnya kembali lagi seperti apa yang dikeluhkan Dior Lowhorn di atas. Sepengamatan Dior, belum ada yang benar-benar memperhatikan detail bermain basket secara benar.(*)
Foto: Ariya Kurniawan