Gw hampir selalu mengikuti DBL Camp sejak sekitar tahun 2009. Waktu itu namanya belum DBL Camp. Masih Indonesia Development Camp 2009. Waktu pertama kali gw ikut, para pelatih kamp berasal dari NBA. Ada para pelatih NBA yang terdiri atas Neal Meyer (saat itu Asisten Pelatih LA Clippers) dan Joe Prunty (saat itu Asisten Pelatih Portland Trail Blazers). Bersama mereka, hadir bintang Sacramento Kings waktu itu, Kevin Martin.
Tahun 2010, nama Indonesia Development Camp berubah menjadi DBL World Camp 2010. Setelah beberapa tahun sebelumnya bekerjasama dengan NBA, kamp untuk para pemain terbaik dari kota-kota penyelenggaraan DBL ini mulai dilatih oleh pelatih-pelatih dari Australia. Corey Williams, MVP NBL Australia 2010, datang dan turut serta melatih. Kini, Corey Williams adalah komentator top NBL Australia. Nama lain yang cukup mentereng adalah Adam Caporn, Asisten Pelatih Timnas Junior Australia saat itu.
Nama Andrew Vlahov mulai muncul di tahun 2011. Salah satu legenda basket Australia ini mulai ikut melatih DBL Camp 2011 bersama beberapa rekannya yang juga mantan pemain nasional Australia. Sejak itu, DBL Camp selalu ditangani oleh Andrew Vlahov dan kawan-kawannya.
Perjalanan mengikuti DBL Camp yang nyaris tidak pernah putus membuat gw cukup sering berbincang-bincang dengan Vlahov dan beberapa pelatih yang berasal dari Australia. Banyak ilmu baru, banyak pula yang sudah menguap. Hahaha. Ada beberapa yang berkesan, bahkan ada yang sangat berkesan. Salah satu yang paling sangat berkesan adalah Vlahov pernah bilang ke gw bahwa yang nomor satu dalam hidup ini adalah keluarga. Kemudian ada hal-hal berkesan atau di bawah yang sangat berkesan. Salah satu yang berkesan adalah, di sela-sela kamp, kadang-kadang Vlahov bilang, “Pemain yang itu bisa main di Australia.”
Dulu, kata-kata, “Pemain yang itu bisa main di Australia” seolah hanya numpang lewat saja di telinga. Sekarang, sejujurnya, bila ketemu Vlahov lagi, gw ingin mendengar lagi kalimat tersebut terlontar darinya.
Entah apa makna sebenarnya dari kalimat “Pemain yang itu bisa main di Australia” itu. Setelah gw pikir-pikir, bagi gw, kalimat tersebut bisa berarti, “Pemain itu punya bakat dan potensi untuk bermain atau bersaing dengan pemain-pemain di Australia, jika dia pergi berlatih dan berkompetisi di Australia. Dari sana, ia punya potensi berkembang menjadi pemain yang lebih hebat lagi.”
…
Sejak musim 2018-2019, liga basket tertinggi Australia, NBL Australia membangun program yang bernama “NBL Next Stars”. Program ini bertujuan mengontrak calon bintang-bintang basket dunia untuk bermain di NBL Australia dalam rangka mempersiapkan mereka main di NBA.
NBL Australia percaya diri meluncurkan program ini setelah berhasil meloloskan Terrance Ferguson ke NBA tahun 2017. Sebelumnya, Terrance Ferguson memilih bermain di Adelaide 36ers, salah satu tim di NBL Australia, alih-alih memasuki basket level kampus NCAA sebagai batu loncatan ke NBA. Bermain sebanyak 30 kali di 36ers, Terrance sebenarnya hanya mencetak rata-rata 4,6 poin dan 1,2 rebound per gim. Namun angka-angka tersebut sudah cukup untuk meyakinkan Oklahoma City Thunder untuk merekrut Terrance di urutan 21 NBA Draft 2017.
Pemain berikutnya yang memanfaatkan “jasa” NBL Australia adalah R.J. Hampton dan La Melo Ball. Kali ini benar-benar lewat program NBL Next Stars. Kedua pemain di atas menghabiskan satu tahun di NBL Australia. Setelah itu, Hampton masuk NBA diambil oleh Milwaukee Bucks pada urutan ke-24 dan LaMelo urutan ketiga diambil oleh Charlotte Hornets. Keduanya di NBA Draft 2020.
Tidak sembarang pemain bisa ikut program Next Stars. Mereka yang masuk program ini sudah harus memiliki potensi yang cukup besar untuk masuk NBA. NBL Australia sepertinya hanya menguatkan dan mengukuhkan fondasi para pemain tersebut. Ketika seorang pemain terpilih masuk program Next Stars, ia langsung masuk ke salah satu tim NBL Australia dan berlaga di sana. Si pemain memiliki kesempatan menyicipi kerasnya liga basket tertinggi Australia sebelum masuk ke NBA.
Nama lain yang populer berkat Next Stars adalah Josh Giddey. Lewat Next Stars, Giddey bermain di Adelaide 36ers. Semusim kemudian, Giddey dipilih pada urutan keenam oleh Oklahoma City Thunder di NBA Draft 2021. Giddey bahkan langsung menjelma menjadi andalan Thunder di tahun pertamanya.
NBL Australia sebagai batu loncatan untuk ke NBA tak melulu lewat program Next Stars. Kai Sotto, bintang muda Filipina yang saat ini berusia 19 tahun kini juga bermain di Adelaide 36ers. Tujuannya sama, segera dilirik pencari bakat NBA. Kai Sotto tidak masuk program Next Stars. Namun ia mendapat kemudahan lewat aturan Special Restricted Player di mana seorang pemain dari Asia dianggap sebagai pemain lokal oleh NBL Australia.
Terbaru, sekitar dua hari lalu, 9 Maret, komentator Corey Williams (yang juga pernah melatih di DBL Camp) melontarkan topik agar Bronny James (LeBron Raymone James Jr.), putra sulung LeBron James agar bermain di NBL Australia. Tim rujukannya adalah Sidney Kings. Dalam dua tahun terakhir, Kings sudah mengirim dua didikannya ke NBA. Jae’Sean Tate ke Houston Rockets dan Didi Louzada yang kini main di Portland Trail Blazers. Bila Bronny James benar memilih NBL Australia sebagai batu loncatan sebagai pemenuhan syarat sebelum masuk NBA, maka boleh jadi program Next Stars akan semakin populer.
…
“Pemain yang itu bisa main di Australia.”
Kembali lagi ke kalimat Andrew Vlahov di atas, kemudian cerita-cerita tentang program Next Stars di NBL Australia, gw jadi berpikir, jangan-jangan pintu kecil untuk menuju atau mendapatkan pemain Indonesia yang berkualitas terbaik sebenarnya sangat dekat sekali. Ia ada di Surabaya bernama DBL Camp. Dari DBL Camp, si pemain yang “beruntung” (karena talenta dan berbagai faktor pendukung lainnya) bisa meneruskan ke Australia, dan dari sana potensi berkembangnya bisa terus ada dan diasah dengan benar. Hingga bahkan mungkin bisa ke NBA.
Jalur lewat Australia ini telah disadari oleh banyak pihak. Bahkan Filipina dengan Kai Sotto-nya sudah menyadarinya. Alih-alih mengadu nasib lewat NBA G-League, Kai Sotto (dan tim suksesnya) memilih NBL Australia.
Jalur lewat Australia ini pun disadari oleh NBA yang kemudian menjadikan Australia sebagai salah satu dari empat negara tempat mereka mengembangkan NBA Academy. Tiga negara lainnya adalah India, Meksiko, dan Senegal.
NBA Academy adalah program pengembangan pemain potensial selama setahun penuh. Pesertanya adalah para atlet-pelajar dari luar Amerika Serikat. Mereka terjaring lewat pencarian bakat melalui beberapa program NBA lainnya seperti Jr. NBA, NBA Basketball Without Borders, dan NBA Basketball School. Kita beruntung, ada siswa dari Indonesia yang tengah belajar di NBA Academy. Namanya Derrick Michael. Rasanya kita semua sudah banyak yang tahu.
Yang belum gw ketahui adalah apakah untuk masuk dan mengikuti program NBA Academy ini apakah dibutuhkan biaya tertentu yang harus dibayarkan ke NBA atau tidak. Kalaupun bayar, gw rasa wajar. Karena memang untuk berada di jalur menuju pemain NBA, investasi yang dibutuhkan tidak sedikit. Baik waktu ataupun uang. Kalau gratis, ya alhamdulillaah. Pernah suatu hari gw mencari di google dan mengunggah pertanyaan di instagram tentang siapa saja yang mensponsori Kai Sotto dalam prosesnya menuju NBA. Jawabannya cukup banyak pihak. Beberapa di antaranya adalah perusahaan besar di Filipina.
Bila saja suatu saat nanti gw mendengar lagi Andrew Vlahov mengatakan, “Pemain yang itu bisa main di Australia.” barangkali gw akan menulis tentang pemain itu. Dan yang terpenting, bagaimana caranya agar ada yang mau membantunya ke sana. Khususnya dana. Syukur-syukur bila ternyata keluarga si pemain itu sendiri mampu dan mau menjalankannya.
Sedikit sebelum tulisan ini gw akhiri, pernah gw berbicara dengan Yayuk Basuki. Beliau adalah mantan petenis putri nomor 1 Indonesia dan pernah berada di ranking 19 dunia versi WTA (Oktober 1997). Untuk melewati proses berada di puncak karirnya saat itu, Yayuk Basuki bercerita bahwa memang ada pihak yang mensponsorinya. Karena memang, untuk menjadi atlet olahraga top dunia itu tidaklah murah.
Jadi, lewat manakah jalur alternatif untuk ke NBA yang cukup dekat dengan kita dan “relatif” mudah? Gw rasa kita sudah tahu jawabanya. Barangkali "lewat" DBL. Tapi jelas gak mudah. Harus kerja keras. Ada mata-mata yang selalu memantau bakat-bakat terpendam anak-anak Indonesia, yang sayangnya, mungkin lebih banyak tidak dimanfaatkan dengan baik.(*)
Foto: Forbes, NBL Australia, NBA, IBL.