Digelarnya Liga Mahasiswa (LIMA) Basketball 2021 membuat keyakinan saya semakin besar mengenai masa depan basket Indonesia, utamanya di sektor putri. Keyakinan bahwa sebaiknya Indonesia mulai berpikir untuk mengembangkan basket putri lebih lagi atau bahkan menjadikan mereka prioritas untuk ke depannya, ketimbang sektor putra (jika tak bisa bersamaan).

Keyakinan ini sendiri mulai masuk ke diri saya sejak penampilan Tim Nasional (timnas) di SEA Games 2019, Filipina. Hadir langsung di tempat, saya bisa melihat bahwa tim di Asia Tenggara, bahkan Filipina yang secara kultur “lebih basket banget” ketimbang kita masih tidak jauh jaraknya dengan timnas. Bahkan, saya bisa bilang andai kala itu timnas berhasil melegalkan Kimberley Pierre-Louis untuk bermain, kita jelas akan mendapatkan medali emas.

Lantas, apa hubunganya dengan LIMA?

Jika Anda menyimak LIMA Basketball 2021 sejak awal, maka Anda akan melihat banyak sekali pemain putri potensial yang secara paket ketangkasan bahkan jauh lebih menakutkan ketimbang tim putra. Di nomor putri, stigma mengembangkan pemain berdasarkan tinggi badannya tampak tidak terlalu dalam seperti tim putra.

Paling mudah, kita bisa berkaca pada pemain terbaik putri (MVP), Sophia Rebecca Adevnta. Catatan 17,4 poin, 12,4 rebound, 6,2 asis, 2,4 steal, dan 2,8 blok per gim menunjukkan bahwa ia adalah sosok pemain serbabisa. Beberapa dari Anda mungkin akan menyanggah bahwa statistik demikian terjadi karena ia “menggendong” timnya. Namun, jika Anda sadari lagi makna “carry the team” sekali lagi, hanya sedikit yang menorehkan statistik sama baiknya di dua sisi permainan, menyerang dan bertahan. Sophia di gim terakhir Universitas Indonesia bahkan membukukan tripel-dobel.

Memiliki tinggi badan di kisaran 173 sentimeter, maka kita bisa bilang Sophia sudah lebih tinggi dari mayoritas garda yang kita punya. Ini juga sekali lagi menjelaskan bahwa pemain putri tak berkutat di tinggi badan untuk mengembangkan kemampuan mereka. Sophia mampu melantun bola (dribble) dengan baik dan sangat kuat dalam melakukan serangan satu lawan satu, utamanya di area perimeter.

Tak berhenti di Sophia, dari barisan pemain LIMA Basketball 2021 saja, kita rasanya sudah bisa membuat simulasi pemain timnas yang bisa disiapkan untuk berlaga di gelaran internasional lainnya. Untuk saya sendiri, pesaing sepada Sophia untuk gelar MVP di LIMA Basketball 2021 adalah Faizzatus Shoimah, dari Universitas Airlangga.

Pemain yang akrab disapa Ais ini juga memiliki karakter yang serupa dengan Sophia, all around player. Aiz bahkan tercatat memiliki tinggi badan di kisaran 175 namun serupa dengan Sophia, ia memiliki kemampuan melantun bola dengan baik, terlalu baik bahkan untuk pemain-pemain seumurannya. Di Unair pun, Ais jadi tumpuan utama yang membuat ia bisa dibilang melakukan segalanya untuk urusan menyerang. Ais menorehkan rataan 15,7 poin, 10,0 rebound, 3,3 asis, 2,3 steal, dan 1,7 blok per gim.

Satu lagi pemain dengan tipikal all around yang kita punya adalah Adelaide Callista Wongsohardjo. Pemain yang lebih dikenal dengan panggilan Ledi ini harusnya sudah tidak asing untuk Anda yang benar-benar mengikuti basket Indonesia. Ledi sudah tampil di berbagai macam gelaran basket untuk timnas, mulai dari kelompok umur hingga senior.

Ledi mulai menarik perhatian ketika ia lolos sebagai bagian skuat Asian Games 2018 Jakarta – Palembang. Kala itu, ia masih berusia 17 tahun dan bahkan sudah menjadi barisan pemain utama (starter). Ledi juga masuk timnas senior untuk SEA Games 2021. Berbeda dengan dua rekannya di atas, Ledi adalah tipikal garda pass first, yang lebih senang menjadi fasilitator untuk timnya.

Dalam tujuh gim (termasuk semifinal dan final), Ledi memimpin LIMA Basketbal 2021 untuk rataan asis per gim dengan 7,4 per gim. Ia membuka jarak 1,2 asis per gim dengan Sophia di peringkat dua (bermain lima gim). Ledi membuktikan kemampuan menjadi fasilitator di gim final dengan kemasan 15 asis. Ledi di gim itu juga hanya berjarak tiga poin dari tripel-dobel (7 poin dan 13 rebound). Ledi memiliki tinggi badan serupa dengan Sophia.

Ada dua nama pemain yang juga memiliki gaya bermain all around lainnya di LIMA Basketball 2021. Namun, seharusnya nama mereka sudah cukup familiar di telinga Anda. Mereka adalah Jovita Elisabeth Simon dan Clarita Antonio Senjaya. Keduanya juga secara usia lebih senior daripada tiga nama sebelumnya. Jovita masuk usia 23 tahun sedangkan Clarita 22 tahun. Tiga nama sebelumnya adalah pemain kelahiran minimal tahun 2000.

Jovita mengakhiri LIMA Basketball 2021 sebagai top skor dengan rataan 21,8 poin per gim. Pemain yang akrab disapa Jojo ini juga menambahkan 11,2 rebound per gim. Jojo juga memimpin LIMA Basketball 2021 untuk rataan tripoin masuk dengan 3,8 per gim, unggul hampir satu tripoin dari Nikita Ferliana (Ubaya) dengan 3,0 tripoin per gim.

Clarita sendiri ada di urutan keempat untuk top skor LIMA Basketball 2021. Ia memiliki rataan 12,0 poin dan 5,3 rebound per gim dengan bermain tak sampai 20 menit per laga. Clarita bisa dibilang tak memiliki range untuk jarak tembaknya. Ia bagus di perimeter, paint, bahkan beberapa langkah di belakang tripoin pun ia tak ragu. Secara menyerang, saya rasa Clarita adalah salah satu pemain dengan kemampuan mencetak angka terkomplet di Indonesia sekarang.

Ada juga nama Nathania Claresta Orville atau yang arkab disapa CO (Baca: Ce-O). CO adalah satu-satunya pemain LIMA Basketball 2021 yang turut-serta dalam skuat Indonesia yang  berlaga di FIBA Women’s Asia Cup 2021 Division B di Yordania awal November lalu. CO memiliki statistik yang identik dengan Clarita.

Secara permainan, ada perbedaan besar antara CO dan nama-nama di atas. Meski sama-sama memiliki kemampuan mencetak angka yang hampir komplet, CO adalah tipikal garda yang penuh dengan energi luar biasa. Untuk garda seukurannya, mungkin CO adalah pemain paling kuat dan hampir tidak mungkin dihentikan saat menerobos. Serupa dengan tiga nama yang saya tulis pertama, CO adalah pemain kelahiran milenium baru.

Ada empat nama lain yang menurut saya juga layak mendapatkan konsiderasi untuk pemanggilan timnas di gelaran-gelaran internasional. Mereka adalah Amelia Ryan Ayu Ardhany (Ubaya), Leonita Angela, Jesslyn Angelique Aritonang, dan Felichia Huang Alvira (Universita Pelita Harapan). Dua nama yang saya sebut terakhir bisa dibilang memiliki peran sebagai stretch four untuk UPH. Sedangkan Leonita dan Amelia adalah dua pemain yang secara sistem permainan area operasinya masih konvensional sebagai garda dan senter.

Pun demikian, saya belum pernah melihat pemain di posisi senter yang memiliki kelincahan dan kecepatan seperti Amelia. Ia pun bisa dibilang berkembang dengan pesat dalam beberapa tahun terakhir. Di gim-gim Ubaya, ia tampak percaya diri melepaskan tembakan di area perimeter, utamanya di dekat garis tembakan gratis (free throw) dan baseline.

Saya juga ingin memberi apresiasi kepada Nabila Andini, pemain dari Unika Soegijapranata Semarang. Nabila juga memiliki potensi untuk menjadi garda yang solid ke depannya. Untuk hitungan garda pun, ia memiliki postur yang lebih dari pemain lain. Jika kemampuannya dalam mengambil keputusan (decision making) ditingkatkan, saya yakin Nabila bisa menjadi opsi lain untuk timnas ke depannya.

Jelang Asian Games dan SEA Games 2022, LIMA Basketball 2021 ini bisa jadi ajang untuk Badan Tim Nasional mencari pemain-pemain muda yang bisa menjadi opsi timnas untuk terus membuka kolam seluas-luasnya. Melihat gaya bermain mereka dan membandingkan dengan apa yang saya lihat di SEA Games 2019 lalu, seharusnya emas akan lebiih dekat ke kita.

Ditambah dengan Kim atau bahkan Peyton Witthed yang bisa kita tambahkan dalam skuat, tiket final seharusnya sudah di tangan. Pemain-pemain usia emas seperti Kadek Citta Pratita Dewi, Yuni Anggraeni, Agustin Gradita Retong, Henny Sutjiono, Regita Pramesti, Christine Tjundawan, Annisa Widyarni, juga masih layak bersaing untuk 12 nama terakhir.

Jika cara mengukur perkembangan basket kita adalah prestasi, medali, dan gelar juara, maka seharusnya pengembangan di sektor putri harus semakin digencarkan lagi. Terlalu besar usaha yang kita butuhkan untuk mengejar Filipina di nomor putra. Sebaliknya, kita seolah melupakan jarak yang dekat dengan Filipina di sektor putri. Memang kita seringnya mencari sesuatu yang terlampau jauh jaraknya ketimbang menyadari apa-apa yang sudah kita punya di dekat kita sendiri.

Liga, komeptisi, atau apapun itu macamnya untuk basket putri Indonesia wajib digelar dan diperbanyak. Pengalaman bertanding akan mengasah mereka dalam hal pengambilan keputusan dan menghadapi tekanan. Bayangkan, kita tanpa liga yang benar saja sudah bersaing, apalagi jika para perempuan tangguh ini diberi wadah untuk terus beraksi dari pekan ke pekan, bulan ke bulan, hingga sebuah liga yang konsisten berjalan dari tahun ke tahun. Liga atau turnamen yang konsisten berjalan adalah kendaraan untuk para pemain ini membuka potensi terbaik mereka. Sky is the limit, but we need plane, helicopter, or hot air balloon to get there.

Foto: Alexander Anggriawan

Komentar